Headlines
Loading...
Perceraian Perkara Halal yang Dibenci Allah

Perceraian Perkara Halal yang Dibenci Allah

Oleh. Rini Sulistiawati
(Pemerhati Sosial Keluarga dan Pendidikan Islam)

SSCQMedia.Com—Di antara jutaan pernikahan yang dulu terikat dalam ikrar suci, tak sedikit yang kini luruh di hadapan meja pengadilan agama. Cinta yang pernah hangat berubah menjadi gugatan. Janji setia tinggal narasi. Dan yang paling menyedihkan, perceraian tak lagi menjadi fenomena langka, ia menjelma jadi tren statistik. Seperti kisah nyata yang mengguncang dari Blitar, di mana 20 guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) resmi mengajukan permohonan cerai setelah pengangkatan status kepegawaiannya. Tak hanya angka yang mengejutkan, tetapi ironi yang menyayat, apakah penghasilan tetap justru membuka jalan bagi perpisahan?

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar, Akhmad Fauzin, menyampaikan bahwa dalam kurun enam bulan terakhir, tercatat ada 20 guru PPPK di wilayahnya yang mengajukan permohonan cerai. Dijelaskan media detik com bahwa mayoritas gugatan berasal dari pihak istri yang kini telah berstatus aparatur sipil negara, sementara para suami tak lagi memiliki penghasilan tetap. Faktor ekonomi, beban peran ganda perempuan, serta ketimpangan hubungan dalam keluarga disebut sebagai penyebab utamanya. (Detik.com, 19/7/2025)

Terungkap pula bahwa kebanyakan pasangan tersebut telah menjalani pernikahan selama lebih dari lima tahun sebelum akhirnya memilih berpisah. Ini bukan sekadar konflik rumah tangga biasa, melainkan gejala keretakan struktural akibat sistem ekonomi dan sosial yang tak mampu menjaga ketahanan keluarga. (Beritajatim.com, 19/7/2025)

Jika ditelusuri secara ilmiah dan sosiologis, perceraian yang kian meningkat tak bisa dilepaskan dari akar sistem kapitalisme yang meminggirkan peran keluarga. Dalam sistem ini, setiap individu didorong untuk menjadi penggerak roda ekonomi, termasuk perempuan yang akhirnya terdesak mengambil peran sebagai pencari nafkah utama. Sementara para lelaki, banyak yang terpuruk karena sulitnya mendapat pekerjaan layak. Dalam pusaran ini, suami kehilangan wibawa, istri kehilangan sabar, dan anak-anak kehilangan rumah yang utuh.

Pertanyaannya, apakah mereka yang bercerai sempat memikirkan nasib anak-anaknya? Betapa luka jiwa anak akan menjadi warisan panjang dari perpisahan orang tua. Bukan hanya soal rumah yang terbagi dua, tapi juga hati yang tumbuh dalam keretakan. Apakah negara sadar bahwa membiarkan perceraian karena ekonomi adalah bentuk kegagalan struktural? Bahwa kesejahteraan keluarga tidak bisa diserahkan pada nasib?

Dalam pandangan Islam, perceraian memang halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah. Rasulullah saw. bersabda, "Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak." (HR Abu Dawud).

Islam memandang rumah tangga sebagai institusi agung tempat bertumbuhnya generasi dan penjaga moral masyarakat. Maka, menjaga keutuhan keluarga adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.

Islam menetapkan peran yang jelas dalam rumah tangga. Suami sebagai qawwam, pemimpin dan penanggung jawab nafkah. Istri sebagai pendamping dalam ketaatan dan pengasuhan generasi. Ketika sistem ini dijalankan dalam bingkai iman dan takwa, rumah tangga menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Namun, sistem ini tidak akan tegak sempurna tanpa naungan negara. Dalam Khilafah, negara hadir menjamin kesejahteraan setiap individu. Negara tidak membiarkan rakyatnya kelaparan, apalagi istri menanggung beban yaitu peran ganda karena suami tak berdaya. Negara membuka lapangan kerja, menstabilkan harga kebutuhan pokok, dan mendidik masyarakat tentang peran keluarga dalam Islam.

Pencegahan perceraian bukan hanya soal konseling, tapi pembenahan sistemik. Islam kaffah tidak hanya menyuruh bersabar, tapi memberi solusi konkret agar keluarga tidak runtuh oleh tekanan ekonomi.

Fenomena perceraian yang melibatkan para guru PPPK di Blitar bukan sekadar cerita duka dari ruang sidang pengadilan agama, tetapi ini merupakan isyarat mendalam bahwa rumah tangga hari ini sedang dikepung badai ekonomi, ketimpangan peran, dan lemahnya fondasi spiritual. Perceraian tetap merupakan perbuatan yang halal, namun termasuk hal yang paling dibenci oleh Allah Swt. Maka saatnya kita semua, individu, masyarakat, dan negara berdiri, bukan sekadar menonton.

Setiap muslim, khususnya para suami dan istri, hendaknya menumbuhkan kembali makna cinta dalam rumah tangga dengan landasan iman dan takwa, bukan semata-mata berdasarkan perhitungan materi. Jadilah pribadi yang bersabar saat sulit, dan bertanggung jawab saat diberi amanah. 

Wahai suami, jalankanlah peranmu sebagai qawwam yaitu pemimpin yang bertanggung jawab memberi nafkah dan menjaga keluarganya. Duhai istri, jadilah penolong dalam taat dan keteguhan, bukan hanya dalam masa lapang. Bersamalah kalian dalam menempuh jalan ridha Allah, bukan saling menjauh saat dunia tak memberi cukup. Karena rumah tangga bukan hanya untuk dunia, tapi jalan menuju surga.

Untuk masyarakat, jangan biarkan rumah tangga retak karena terasing dalam kesulitan. Hadirkan budaya saling peduli, gerakkan solidaritas sosial melalui lembaga zakat, infak, dan wakaf yang produktif. Jangan hanya mencibir mereka yang bercerai, tapi peluk dan bantu agar keluarga lain tak menyusul dalam deretan gugatan. Perkuat lingkungan dengan nilai-nilai Islam: adakan majelis taklim keluarga, edukasi tentang peran suami istri, dan pembinaan ketahanan rumah tangga. Jadilah masyarakat yang tak hanya menilai, tapi turut melindungi keluarga dari kehancuran.

Untuk negara, hentikan abai terhadap urusan rumah tangga rakyat. Tanggung jawab negara dalam Islam bukan sebatas pengelolaan birokrasi, tapi penjamin kesejahteraan umat. Sediakan lapangan kerja yang layak dan tetap bagi para suami, lindungi harga kebutuhan pokok dari permainan pasar, dan atur distribusi kekayaan berdasarkan hukum syariah, bukan mekanisme kapitalistik yang menyisakan kelaparan. Hadirkan sistem pendidikan yang menanamkan peran suami istri sebagai ibadah, bukan sekadar fungsi ekonomi. Dan lebih dari itu, tegakkanlah sistem pemerintahan yang tunduk kepada syariat Allah yaitu sebuah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang menjamin hak keluarga, menegakkan keadilan, dan melindungi umat dari kehancuran struktural.

Perceraian tidak akan berhenti hanya dengan seminar atau surat edaran. Ia hanya dapat dicegah dengan perubahan menyeluruh, dimulai dari diri, diperkuat oleh masyarakat, dan disempurnakan oleh negara yang menerapkan Islam kaffah.

Ingatlah, perkara ini bukan hanya soal talak. Ini adalah cermin betapa sistem kehidupan hari ini gagal menjaga rumah-rumah kita. Dan bila rumah tangga sebagai fondasi masyarakat runtuh, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan keruntuhan peradaban.

Jangan sampai kemiskinan mendorong kita memilih perceraian sebagai jalan keluar. Jadikan Islam sebagai jalan panjang menuju keteguhan. Bangkitlah, wahai umat, karena Allah Swt. telah memberi kita petunjuk yang sempurna. Tinggal kita memilih: tetap berjalan di jalan buatan manusia yang rapuh, atau kembali ke jalan Allah yang kokoh. []

Baca juga:

0 Comments: