Headlines
Loading...
Penghinaan Nabi, Buah Kebebasan ala Demokrasi

Penghinaan Nabi, Buah Kebebasan ala Demokrasi


Oleh. Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Bagi kaum muslimin, sosok Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia agung, pembawa risalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau adalah manusia pilihan yang mengemban amanah untuk menyampaikan rahmat bagi seluruh alam semesta.

Meskipun telah berabad-abad Rasul meninggalkan umatnya di dunia, syariat yang dibawanya tetap abadi hingga hari akhir. Hal ini membuat siapa pun, di setiap zaman, mencintai dan menghormati beliau. Termasuk di era digital saat ini, hampir tidak ada umat manusia yang tidak mengenal sosok beliau saw.

Namun sangat disayangkan, semakin maju teknologi peradaban manusia, penistaan terhadap agama justru semakin marak. Seperti yang terjadi di Turki. Dalam edisi 26 Juni 2025, majalah satir Leman’s menyinggung konflik Isr4el-Iran dan memuat sebuah gambar yang diperkirakan menggambarkan sosok Nabi Muhammad dan Nabi Musa berjabat tangan di atas kota yang telah menjadi puing-puing (sindonews.com, 1/7/2025).

Ide kebebasan yang hadir tanpa memperhatikan moral dan kehormatan menjadikan manusia mudah melakukan segala sesuatu hanya berdasarkan keuntungan dan kepuasan akal semata. Penistaan yang menyasar kesucian suatu agama pun semakin sering terjadi. Kaum muslimin menjadi salah satu pihak yang kerap mengalaminya. Penistaan terhadap Islam telah terjadi berulang kali.

Konsep kebebasan berpendapat yang dianut dalam sistem demokrasi merupakan konsep yang keliru. Demokrasi menjadikan akal manusia sebagai satu-satunya sumber hukum. Batas kebebasan dalam demokrasi hanya didasarkan pada hak orang lain dan kepentingan umum, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai suci agama atau aturan syariat Islam.

Pada kenyataannya, sistem demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan justru melukai manusia. Kebebasan berpendapat, berekspresi, hingga beragama sering kali melahirkan penyimpangan dan penistaan. Apalagi jika kebebasan itu mendatangkan keuntungan materi, maka akan muncul berbagai hukum buatan yang melegalkan tindakan tersebut.

Inilah wajah asli sistem politik demokrasi dalam naungan kapitalisme yang sekuler dan liberal. Sistem ini sama sekali tidak menciptakan ketenteraman, apalagi menjaga kehormatan manusia.

Berbeda halnya dengan peradaban Islam. Peradaban Islam dibangun di atas akidah yang lurus, yakni akidah Islam. Tujuan utamanya bukanlah meraih keuntungan materi, apalagi memuaskan hawa nafsu atas nama kebebasan. Setiap perbuatan dalam Islam terikat pada aturan yang telah diturunkan oleh Allah—aturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, manusia dan aturannya merupakan satu paket ciptaan Rab-Nya, yang tidak bisa diubah demi kepentingan dan kepuasan akal.

Sistem Islam juga mengatur dengan tegas setiap kasus penistaan agama. Tidak hanya berupa kecaman, tetapi ada sanksi nyata yang diberlakukan di dunia maupun di akhirat. Dalam Islam, penistaan agama tergolong dosa besar. Di dunia, hukuman bagi pelakunya ditetapkan oleh hakim dalam bentuk takzir, disesuaikan dengan berat ringannya tindakan. Dalam beberapa kasus, penistaan agama bahkan tergolong perbuatan murtad. Jika disertai permusuhan terhadap Islam, sanksinya bisa mencapai hukuman mati.

Dengan adanya sanksi yang tegas, serta kesadaran individu atas hubungan dirinya dengan Allah, penistaan terhadap agama akan lebih mudah diberantas.

Namun, penerapan sempurna atas syariat Islam hanya dapat terealisasi dalam naungan Daulah Khilafah Islamiah, bukan melalui sistem kehidupan yang lain. Wallahualam. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: