Headlines
Loading...
Korupsi Makin Menjadi, Butuh Solusi Hakiki

Korupsi Makin Menjadi, Butuh Solusi Hakiki

Oleh. Nur Fitriani
(Kontributor SSCQMedia)

SSCQMedia.Com—KPK telah menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT. Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk atau BRI. Kasus tersebut merugikan negara hingga Rp2,1 triliun rupiah (metrotvnews.com, 04-07-2025).

Kasus tersebut menambah panjang daftar kasus korupsi yang menjerat institusi publik dan perbankan milik negara. Ironis, dengan sejumlah kasus besar lainnya yang melibatkan pejabat tinggi maupun elite politik justru masih menggantung di ranah hukum penuh dengan sandiwara dan tarik ulur kepentingan.

Keadilan terasa tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sebuah ironi yang terus berulang dalam hukum yang berada di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi, semua ini terjadi di tengah narasi pemerintah soal efisiensi anggaran. Demi menekan defisit berbagai pemangkasan anggaran dilakukan.

Pihak yang paling terdampak justru sektor-sektor yang menyentuh langsung kepentingan rakyat. Pemerintah menonaktifkan jutaan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional, memotong tunjangan kerja guru, memangkas dana bansos, menunda dana riset dan inovasi, bahkan mengurangi alokasi untuk pertahanan dan keamanan negara. Sektor-sektor strategis yang semestinya diperkuat justru dikorbankan.

Kontradiksi tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas kebijakan negara. Mengapa rakyat harus menanggung beban efisiensi, sementara kebocoran akibat korupsi terus dibiarkan? Bagaimana bisa pemerintah meyakinkan publik untuk hidup hemat dan bersabar,  sementara uang rakyat terus mengalir ke kantong-kantong segelintir elite yang menyalahgunakan kekuasaan. 

Perilaku koruptif yang dipertontonkan penguasa menjadi bukti nyata kegagalan negara dalam membangun tata kelola yang bersih dan berpihak kepada kepentingan umum. Dalam situasi yang seperti ini publik tidak hanya dirugikan secara materiil, tetapi juga secara moral. Kepercayaan kepada lembaga negara terkikis. Sikap ragu terhadap penegakan hukum semakin meluas. Maka persoalan korupsi bukan hanya soal kejahatan ekonomi tetapi juga penghancuran sistemik terhadap pondasi keadilan.

Terlihat jelas bahwa negara dengan paradigma sekular Kapitalisme telah gagal mengurus urusan rakyat dan menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kasus-kasus korupsi yang terus bermunculan hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa sistem sekuler Kapitalistik tidak dapat diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. 

Dengan dalih ingin mengedepankan kepentingan rakyat, sistem Demokrasi yang dijalankan justru menyuburkan praktik politik transaksional. Di mana kekuasaan hanya menjadi alat tukar antara pejabat dan pemilik modal. Amanah kepemimpinan hilang maknanya, tergadai demi kepentingan jangka pendek yang sarat kepentingan pribadi dan golongan.

Dampak lanjutannya adalah suburnya praktik korupsi yang tidak hanya terjadi di tingkat elite tetapi hingga membudaya di berbagai sektor kehidupan ini. Inilah hasil dari sistem yang menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Membiarkan moralitas tercabut dan menjadikan materi sebagai patokan ukuran utama dalam kehidupan.

Berbeda dengan Islam, paradigma kepemimpinan dalam Islam berasal pada akidah Islam yang menjadikan seluruh aspek kehidupan diatur sesuai tuntunan syariat. Kepemimpinan dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai pengatur urusan dunia, tetapi juga sebagai pelindung akidah dan penjaga moral umat. 

Dalam sistem ini, kekuasaan dipahami sebagai amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan manusia dan Allah Swt. Kekuasaan ditujukan untuk menjamin pelaksanaan syariat Islam secara sempurna dalam kehidupan. 

Kehidupan masyarakat pun dibangun di atas syariat Islam dengan praktik amar ma'ruf nahi mungkar sebagai pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Hasilnya adalah terwujudnya masyarakat adil, sejahtera dan bermartabat. Bukan hanya secara material, tetapi juga ruhiyah dan sosial .

Sesungguhnya hanya hukum Allah yang bukan hanya pedoman bagi ruhiyah tetapi juga landasan bagi sistem pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Kepemimpinan dalam Islam tidak dijalankan atas dasar kepentingan golongan atau kekuasaan pribadi, melainkan untuk menegakkan keadilan dan menjaga maslahat seluruh rakyat.

 Islam memiliki perangkat aturan yang komprehensif dan integral jika diterapkan secara kafah atau menyeluruh. Sistem ini mampu meminimalisir terjadinya pelanggaran seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan, memanipulasi  kekuasaan dan bentuk kezaliman lainnya.

 Hal ini karena Islam tidak hanya mengatur sanksi hukum secara tegas tetapi juga menanamkan ketakwaan individu, kontrol sosial melalui amar ma'ruf nahi mungkar dan sistem yang bebas dari kepentingan Kapitalistik. 

Pada saat yang sama sistem Islam juga menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat secara layak. Baik pangan, sadang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Melalui pengelolaan SDA yang adil dan sistem distribusi kekayaan yang tidak timpang.

Dengan jaminan kesejahteraan ini peluang terjadinya pelanggaran hukum karena tekanan ekonomi dapat ditekan secara signifikan . Maka Islam tidak hanya melarang segala bentuk kerusakan tetapi juga menutup celah kerusakan itu sendiri. Wallahu 'alam bishowab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: