Headlines
Loading...

Oleh. Maya Rohmah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Kisah ini tentang kakak laki-laki saya. Namanya Khidir. Ia hidup di tengah hiruk-pikuk kota besar, dengan jadwal yang padat dan tuntutan pekerjaan yang tinggi. Ia adalah seorang arsitek yang sukses, karyanya diakui, dan penghasilannya sangat lumayan. Namun, di balik kesibukan dan kesuksesannya, ada satu hal yang tak pernah ia tinggalkan: salat lima waktu.

Sejak kecil, ia dirawat oleh nenek dan pamannya. Sang nenek selalu mengajarkan bahwa salat adalah tiang agama. "Nak, sesibuk apa pun kita, jangan pernah tinggalkan salat. Amalan yang paling pertama ditanya nanti di akhirat sama Allah adalah salat!" pesan neneknya kala itu. Pesan itu terpatri kuat di benak Khidir.

Di kantor, ia seringkali menjadi sorotan. Ketika waktu Dzuhur tiba, di tengah deadline yang mencekik dan rekan-rekan yang sibuk di depan layar komputer, Khidir akan berdiri, mengambil wudhu, dan mencari musala kecil di sudut kantor. Terkadang, ada rekan yang menyindir, "Pak Khidir, mantap nih. Rajin banget salat? Nanti aja kalau kerjaan sudah beres."

Lelaki di usia awal empat puluhan itu hanya tersenyum. "Justru karena kerjaan banyak, saya butuh salat. Salat itu bukan buang-buang waktu, tapi investasi waktu. Setelah salat, pikiran jadi lebih jernih dan semangat kerja kembali," jawabnya santai.

Dan memang benar. Setelah salat, Khidir seringkali merasakan ketenangan yang luar biasa. Ide-ide baru bermunculan, kepenatan seolah lenyap, dan ia bisa kembali bekerja dengan fokus yang lebih baik. Bagi Khidir, salat adalah recharge spiritual.

Ia menganggap rekan-rekannya hanya bercanda. Toh atasannya yang seorang Chinese pun tak mempermasalahkan ia salat tepat waktu. Bagi sang atasan, yang penting target pekerjaan selesai dengan kualitas yang excellent sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan.

Suatu hari, ada proyek besar yang harus diselesaikan dalam waktu singkat. Seluruh tim lembur, bahkan hingga larut malam. Khidir merasa sangat tertekan. Matanya sudah terasa berat, otaknya terasa buntu. Saat rekan-rekannya memesan kopi untuk tetap terjaga, Khidir justru menghentikan pekerjaannya. Ia mengambil sajadahnya, menghadap kiblat, dan memulai salat hajat.

Di tengah sujudnya, ia mencurahkan segala kepenatan dan harapannya kepada Allah. Air matanya menetes. Ia merasakan kedekatan yang luar biasa dengan Sang Pencipta. Setelah salat, ia merasa bebannya terangkat. Pikiran menjadi lebih jernih, dan ia menemukan solusi untuk masalah desain yang selama ini menghantuinya. Ia kembali ke meja kerjanya dengan semangat baru, menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik.


Rekan-rekan kerjanya yang melihat apa yang dilakukan Khidir, mulai bertanya-tanya. "Kok bisa Bapak Khidir tetap tenang di tengah tekanan seperti ini?" tanya salah satu dari mereka. Yang lain menjawab setengah berkelakar, "Mungkin karena dia rajin salat."

Tidak hanya di kantor, di rumah pun Khidir menjaga salatnya dengan baik. Ia selalu berusaha salat tepat waktu, bahkan jika ia sedang bepergian. Baginya, salat adalah prioritas utama. Ia tidak pernah merasa terbebani, justru ia merasa bersyukur memiliki kewajiban ini. Ia percaya, salat adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

Guru mengajinya (musyrif) pernah menjelaskan tentang keutamaan salat. "Salat itu seperti jembatan yang menghubungkan kita dengan surga. Barang siapa yang menjaga salatnya, maka ia telah membangun jembatan yang kokoh menuju surga-Nya Allah. Dan barang siapa yang melalaikan shalatnya, maka ia telah merobohkan jembatan itu," ujar sang ustaz kala itu.

Beberapa kali, ia mencoba mengajak rekan-rekan sesama muslim di kantornya untuk salat. Maklumlah ..., kantornya sangat majemuk. Hampir semua agama, ada. Ajakan untuk salatnya ada yang merespon positif, ada pula yang acuh tak acuh. Khidir tidak pernah memaksa. Ia hanya berusaha menjadi contoh yang baik. Ia percaya, hidayah adalah milik Allah.

Di usianya yang makin matang, Khidir menikah dan dikaruniai tiga putri yang salihah. Ia mendidik anak-anaknya dengan dasar agama yang kuat, terutama dalam hal salat. Ia ingin anak-anaknya merasakan kedamaian dan kekuatan yang sama seperti yang ia rasakan melalui salat.

Ia pernah bercerita pada ketiga putrinya saat mereka masih kecil, "Abi melihat sebuah taman yang indah, penuh dengan bunga-bunga harum dan sungai-sungai jernih. Di pintu gerbang taman itu, ada tulisan yang bercahaya: "Ini adalah surga bagi orang-orang yang menjaga salatnya."

Surga Firdaus adalah tingkatan surga tertinggi, dan disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai tempat tinggal bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, termasuk mereka yang menjaga salatnya. 

Khidir dan istrinya selalu melantunkan doa Nabi Ibrahim,

رَبِّ اجْعَÙ„ْÙ†ِÙŠ Ù…ُÙ‚ِيمَ الصَّÙ„َاةِ ÙˆَÙ…ِÙ†ْ ذُرِّÙŠَّتِÙŠ ۚ رَبَّÙ†َا ÙˆَتَÙ‚َبَّÙ„ْ دُعَاءِ

Artinya: "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku." (QS Ibrahim: 40)

Bagi Khidir, salat bukan sekadar ritual. Salat adalah wujud ketaatan, syukur, dan cinta kepada Allah. Salat adalah sumber ketenangan di tengah badai kehidupan, penunjuk arah di tengah kebingungan, dan janji kebahagiaan abadi di surga. Ia adalah bukti nyata bahwa jalan menuju surga tidak selalu rumit, kadang kala ia sesederhana menjaga salat lima waktu, dengan khusyuk dan penuh penghambaan. Salat, bagi Khidir, adalah menjaga jiwa agar tetap terhubung dengan Sang Pencipta, dan dengan begitu, ia menjaga jalannya menuju surga-Nya. [MA]

Pamekasan, 18 Juli 2025 pukul 03.54 WIB

Baca juga:

0 Comments: