Headlines
Loading...
Menghormati Orang Tua, Pintu Surga yang Terbuka

Menghormati Orang Tua, Pintu Surga yang Terbuka

Oleh. Maya Rohmah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Tentang pintu surga yang ketiga ini, ingatan saya melayang ke kisah yang diceritakan oleh tetangga saya tentang seorang anak muda yang dulu tinggal di sini. Kini, setelah menikah dengan perempuan dari kota seberang, dia pindah ke sana. Begini kisahnya.

***

Namanya Rizal. Ia adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang sudah sepuh. Ayahnya, Pak Beng, adalah seorang petani yang kini tubuhnya renta dimakan usia. Ibunya, sebut saja Bu Beng, juga tak jauh berbeda, dengan penglihatan yang mulai kabur dan pendengaran yang berkurang. Rizal adalah tulang punggung keluarga. Setiap pagi, ia pergi ke sawah menggantikan ayahnya. Sepulang dari sawah, ia akan merawat kedua orang tuanya dengan penuh kasih sayang.

Rizal tidak pernah mengeluh. Ia tahu, berbakti kepada orang tua adalah salah satu amal yang paling mulia di sisi Allah. Ia teringat pesan Abang Guru, gurunya di musala, "Nak, rida Allah itu ada pada rida orang tua. Kalau kamu ingin sukses dunia dan akhirat, maka bahagiakan orang tuamu."

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sawah, Rizal akan menyiapkan sarapan untuk orang tuanya. Ia akan duduk di samping mereka, menyuapi ibunya yang sering kesulitan makan sendiri. Ia juga akan memijat kaki ayahnya yang pegal setelah seharian di sawah. "Jangan capek-capek Nak, Bapak memang sudah tua," ujar Pak Beng dengan suara serak.

"Tidak apa-apa, Pak. Ini kewajiban saya," jawab Rizal lembut.

Saat ibunya ingin meminum jamu pahit, Rizal akan menemaninya, bahkan terkadang ia akan meminum sedikit duluan untuk meyakinkan ibunya bahwa jamu itu tidak seburuk yang dibayangkan. Ia tidak pernah menunjukkan wajah kesal atau lelah, meskipun sebenarnya ia sangat lelah. Ia selalu mengukir senyum di wajahnya, seolah-olah merawat orang tuanya adalah hal paling membahagiakan di dunia.

Teman-teman Rizal seringkali mengomentari pengorbanannya. "Rizal, kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang lebih mudah di kota? Kamu bisa punya banyak uang dan hidup lebih nyaman," kata teman-temannya.

Rizal hanya menggelengkan kepala. "Uang bukan segalanya, teman-teman. Kebahagiaan orang tua saya lebih berharga dari apa pun. Saya percaya, pintu surga saya ada di bawah telapak kaki ibu saya."

Ia teringat sebuah hadis Nabi Muhammad saw., "Surga itu di bawah telapak kaki ibu." (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad). Hadis ini selalu menjadi pegangan hidupnya.

Suatu malam, Bu Beng demam tinggi. Rizal sangat khawatir. Tanpa pikir panjang, ia segera menggendong ibunya ke puskesmas terdekat, meskipun jaraknya cukup jauh dan hari sudah larut. Ia berjalan kaki di kegelapan malam, hanya ditemani cahaya senter ponselnya. Ia tidak peduli dengan rasa lelah atau dinginnya malam. Yang ada di pikirannya hanyalah kesembuhan ibunya.

Setibanya di puskesmas, dokter segera memeriksa Bu Beng. Dokter terkesan dengan kesabaran dan kasih sayang Rizal dalam merawat ibunya. "Sungguh beruntung Ibu Beng punya anak seperti kamu, Nak," kata dokter.

Setelah Bu Beng pulih, Rizal makin giat dalam merawat kedua orang tuanya. Ia tahu, waktu bersama mereka tidak akan lama. Ia ingin memberikan yang terbaik selagi mereka masih ada. Ia tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik mereka, tetapi juga kebutuhan emosional dan spiritual. Ia sering membacakan Al-Qur'an untuk mereka, menceritakan kisah-kisah nabi, dan mengajak mereka berzikir bersama.

Kebaktian Rizal kepada orang tuanya menjadi teladan bagi seluruh desa. Anak-anak muda mulai meniru perilakunya. Mereka belajar bahwa menghormati dan menyayangi orang tua adalah fondasi utama dalam kehidupan beragama. Para orang tua di desa itu seringkali menjadikan Rizal sebagai contoh bagi anak-anak mereka.

Seiring berjalannya waktu, kesehatan Pak Beng dan Bu Beng makin menurun. Pada suatu hari, Pak Beng meninggal dunia dengan tenang, dalam pelukan Rizal. Tak lama kemudian, Bu Beng pun menyusul. Rizal sangat berduka, tetapi ia juga merasa lapang. Ia tahu, ia telah memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuanya. Ia yakin, mereka kini berada di tempat yang lebih baik, di sisi Allah.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Rizal tidak lantas melupakan mereka. Ia selalu mendoakan mereka setiap hari, bersedekah atas nama mereka, dan mengunjungi makam mereka secara rutin. Ia tetap menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat orang tuanya, sebagai bentuk penghormatan terakhirnya.

Rizal, rahmat Allah untukmu, Nak.

Ia merasakan kedamaian yang mendalam karena telah menunaikan kewajiban dan baktinya kepada orang tua. Ia percaya, setiap tetes keringat yang ia keluarkan, setiap senyuman yang ia berikan, dan setiap doa yang ia panjatkan untuk orang tuanya di adalah tiket emas yang akan membawanya langsung ke surga Allah.

Menghormati orang tua, bagi Rizal, bukanlah beban, melainkan sebuah anugerah. Ia adalah jalan terdekat menuju keridaan Allah, sebuah pintu surga yang selalu terbuka lebar bagi mereka yang mau memasukinya dengan penuh cinta dan penghambaan. Kisah Rizal adalah pengingat bagi kita semua, bahwa berbakti kepada orang tua adalah investasi terbaik untuk kehidupan dunia dan akhirat, sebuah amal yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas nilainya.

Pamekasan, 18 Juli 2015 pukul 24.48 WIB [An]

Baca juga:

0 Comments: