Story
Membaca Al-Qur'an, Penerang Jalan Menuju Surga
Oleh. Maya Rohmah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Untuk judul terkait membaca Al-Qur'an ini, sebenarnya banyak bertebaran kisah teman-teman saya di komunitas Sahabat Surga Cinta Qur'an (SSCQ), tetapi saya belum mengetahui cukup banyak kisah pribadi mereka. Jadi, baiklah saya kisahkan tentang tetangga saya saja.
***
Rumah saya posisinya di sebelah barat lapangan sepakbola. Sedangkan tokoh kita kali ini, rumahnya di sebelah selatan lapangan.
Mari berkenalan dengan Mbah Martoyan. Rambutnya sudah memutih, punggungnya sedikit membungkuk, badannya kurus, tetapi beliau masih tampak sehat.
Setiap pagi, sebelum azan Subuh berkumandang, Mbah Martoyan sudah bangun. Ia akan mengambil wudu dengan perlahan, lalu duduk di kursi kesayangannya, membuka mushaf Al-Qur'an yang biasa digunakannya dari dulu. Tampak sudah usang dan berlembar-lembar. Mau diganti sama anak dan menantunya, beliau tidak mau.
"Aneh rasanya. Mana punyaku?" katanya waktu itu, menanyakan Al-Qur'an miliknya yang sengaja disembunyikan anaknya lalu digantinya dengan mushaf Al-Qur'an yang baru. Niat sang anak baik, insyaallah. Namun, sang ayah tidak berkenan. Tidak cocok. Jadi, Al-Qur'an yang lama pun diletakkan lagi ke pangkuannya.
Membaca Al-Quran adalah rutinitas yang tak pernah ia tinggalkan. Sejak muda, Mbah Martoyan telah jatuh cinta pada Al-Quran. Baginya, Al-Qur'an bukan sekadar kumpulan huruf dan kalimat, melainkan kalamullah, firman suci yang membimbing hidupnya.
Kabarnya, dulu ia adalah seorang guru mengaji di kampungnya. Banyak anak-anak yang belajar membaca Al-Qur'an darinya. Kini, meskipun ia sudah renta, ia tak pernah berhenti membaca, merenungi, dan mengamalkan isi Al-Quran. Setiap huruf yang ia baca, ia rasakan getarannya di dalam hati. Ia membaca dengan tartil, perlahan, meresapi setiap maknanya. Terkadang, air mata mengalir membasahi pipinya saat ia menemukan ayat-ayat tentang kebesaran Allah, tentang surga dan neraka, atau tentang kisah-kisah para nabi. Baginya, Al-Qur'an adalah obat penenang jiwa, pelipur lara, dan penunjuk arah hidup.
Istrinya sudah meninggal karena kanker saat awal-awal kepindahan saya ke sini.
Cucunya, seorang gadis remaja bernama Sofi, seringkali melihat kakeknya membaca Al-Qur'an. Sofi teman sekelas anak saya yang pertama. Sofi sendiri, sibuk dengan gawainya, asyik berselancar di media sosial. Ia sering bertanya-tanya, apa yang membuat kakeknya begitu betah berlama-lama dengan kitab suci itu.
"Mbah, kok Mbah betah banget baca Qur'an?" tanya Sofi suatu sore. Saya tahu hal ini karena diceritakan anak saya.
Mbah Martoyan tersenyum. "Al-Quran itu ... setiap hurufnya memiliki pahala. Kalau dibaca rutin, insyaallah bisa mendatangkan keberkahan. Membaca Al-Qur'an itu ... bikin tenang. Kamu harus coba." Sofi hanya mengangguk, tetapi belum sepenuhnya mengerti.
Suatu ketika, Sofi menghadapi ujian sekolah yang sangat sulit. Ia merasa cemas dan tidak fokus belajar. Mbah Martoyan melihat kegelisahan di wajah cucunya. "Baca Al-Qur'an sebentar yuk, terus minta tolong sama Allah," saran Mbah Martoyan.
Sofi mencoba. Meskipun awalnya terasa berat, ia mulai membuka Al-Quran dan membaca beberapa ayat. Ajaib, setelah membaca, ia merasakan hatinya menjadi lebih tenang. Kegelisahan yang tadi menghantuinya perlahan menghilang. Ia bisa kembali fokus belajar, dan ujiannya berjalan lancar. Sejak saat itu, Sofi mulai rutin membaca Al-Quran, meskipun belum serajin kakeknya. Ia merasakan sendiri bagaimana Al-Quran bisa menjadi penenang dan penolong dalam hidupnya.
Mbah Martoyan tidak hanya membaca Al-Qur'an, tetapi juga berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah sosok yang sabar, penyayang, dan selalu berkata jujur. Ia tidak pernah meninggalkan salat berjemaah di masjid, dan ia selalu berusaha membantu tetangga yang kesusahan. Ia percaya, Al-Qur'an bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk diamalkan.
Ia sering menasihati Sofi, "Nak, kelak di hari kiamat, Al-Quran akan datang sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya. Ia akan membela kita di hadapan Allah." Mbah Martoyan selalu teringat hadis Nabi Muhammad saw., "Bacalah Al-Qur'an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya." (HR. Muslim).
Mbah Martoyan juga mengajarkan kepada cucunya untuk tidak hanya membaca, tetapi juga menghafal Al-Quran, meskipun hanya beberapa ayat atau surah pendek. "Setiap hafalanmu, Nak, akan mengangkat derajatmu di surga kelak," ujarnya. Sofi pun mulai serius menghafal surah-surah pendek, meskipun dengan susah payah. Ia melakukannya sebagai bentuk baktinya kepada kakeknya, dan ia mulai merasakan keindahan menghafal kalamullah.
Waktu terus berjalan. Mbah Martoyan semakin tua. Suatu malam, ia jatuh sakit. Sofi sangat sedih. Ia merawat kakeknya dengan penuh kasih sayang. Di ranjangnya, Mbah Martoyan masih berusaha membaca Al-Quran, meskipun suaranya sudah serak dan tangannya gemetar.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, Mbah Martoyan berpesan kepada Sofi, "Jaga Al-Quran, Nak. Ia adalah cahaya di kegelapan, penunjuk jalan menuju surga." Sofi mengangguk sambil terisak.
Setelah kepergian Mbah Martoyan, Sofi merasa sangat kehilangan. Namun, ia juga merasa kuat. Ia masuk pondok pesantren, sama seperti anak saya, tetapi keduanya berada di pondok pesantren yang berbeda.
Saat Sofi dan anak saya libur sekolah dan pondok, keduanya sering menghabiskan waktu bersama.
"Aku seperti merasakan kehadiran Mbah Martoyan di setiap lembar Al-Quran yang aku baca, Umi ...," ujarnya kepada saya.
Ia melanjutkan kebiasaan kakeknya: membaca Al-Qur'an setiap hari. Ia tidak hanya membaca, tetapi juga berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Ia menjadi seorang wanita muda yang saleha, cerdas.
Masyaallah tabarakallah, semoga setiap ayat Al-Qur'an yang dibaca dengan penuh cinta dan diamalkan dengan tulus, akan menjadi penerang jalan menuju surga yang abadi.
Pamekasan, 19 Juli 2025 pukul 04.20 WIB [An]
Baca juga:
0 Comments: