Marak Perundungan Anak, Pentingnya Menanamkan Syahsiah Islamiah
Oleh. Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Dunia anak Indonesia kembali menuai luka. Kasus-kasus perundungan terhadap anak kembali terjadi. Salah satunya dialami oleh seorang anak laki-laki berusia 13 tahun di Kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
Kejadian tersebut bermula saat korban dan temannya berkumpul dengan seorang teman yang lebih dewasa di Kampung Sadangasih. Kemudian terjadi peristiwa pemaksaan terhadap korban untuk menenggak tuak, sampai akhirnya terjadi perundungan yang menyebabkan kepala korban terluka dan berlumuran darah (CNNIndonesia.com, 26/6/2025).
Mirisnya, pelaku terdiri dari beberapa teman sebaya dengan korban, di antaranya berusia 12-13 tahun, dan seorang dewasa berusia 20 tahun. Teman yang semestinya saling merangkul dan bermain bersama, pada zaman ini justru bisa menjadi musuh yang tak segan-segan melukai. Lingkungan tempat tinggal yang seharusnya mewujudkan keamanan dan kenyamanan, hari ini justru menjadi wilayah yang wajib diwaspadai. Tidak ada kenyamanan dan jaminan keamanan dari orang-orang dan lingkungan di sekitar anak-anak kita.
Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus perundungan memang tak tampak gamblang di permukaan, namun nyatanya sangat banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Ditambah dengan adanya perilaku kriminal yang dialami korban, seperti pemukulan, penganiayaan, hingga kasus perundungan di Ciparay yang ternyata mengandung unsur pemaksaan terhadap korban untuk menenggak tuak atau minuman keras.
Ragam perundungan yang terjadi saat ini tentu saja menunjukkan bahwa ada kelemahan dari sisi penegakan sanksi di negara kita. Bahkan bukan hanya itu, kasus-kasus ini rata-rata dilakukan dan dialami oleh anak-anak yang masih sekolah. Hal ini jelas menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Sistem kapitalis sekuler membentuk kepribadian manusia menjadi sosok yang hedonis, materialistis, dan tidak peduli terhadap perilaku yang melanggar norma agama. Kapitalisme membebaskan proses jual beli minuman keras. Minuman haram ini memiliki dampak negatif yang bisa membuat emosi manusia berada di luar kendali akal dan pikiran.
Setali tiga uang dengan paham kapitalisme, sekularisme juga mendorong manusia untuk hidup lepas dari aturan-aturan syariat. Pemahaman ini menyingkirkan aturan Tuhan dari kehidupan sehari-hari, menjadikan manusia tidak takut terhadap hukuman atas perbuatan buruk yang mereka lakukan, termasuk aktivitas perundungan yang tentu saja merugikan dan menyakiti para korban.
Pola sikap manusia yang hari ini sudah sedemikian rusak tentu saja mesti dikembalikan sebagaimana fitrah mereka diciptakan oleh Sang Khaliq. Pola sikap ini tentu dipengaruhi oleh pemikiran yang dibentuk. Oleh karena itu, pembentukan syakhsiah Islamiah atau kepribadian Islam sangat diperlukan. Karena manusia seyogianya harus memahami bahwa setiap apa yang mereka perbuat akan mendapatkan ganjaran pahala atau dosa dari Allah Subhanahu wa taala.
Dalam Islam, kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah sudah tertanam sejak menjelang balig. Sehingga tidak ada kekhawatiran mendalam yang membayangi setiap mereka melakukan aktivitas keseharian. Karena mereka menyadari adanya pertanggungjawaban atas setiap perilaku mereka.
Namun, hal ini tidak bisa hanya dikendalikan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat sekitar tempat tinggal. Pembentukan syakhsiah ini membutuhkan sistem yang juga menjamin terjaganya akidah. Karena kepribadian sesungguhnya terbentuk oleh akidah dan qiyadah fikriyah yang diselenggarakan dan dijamin keberlangsungannya oleh negara.
Karena selain pembentukan kepribadian, negara juga wajib menerapkan sanksi-sanksi yang tegas berdasarkan syariat Allah Subḥanahu wa taala. Hukum atau sanksi yang bersandar pada perintah dan larangan Allah memiliki kemaslahatan dan keridaan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karenanya, sampai kapan pun, kasus perundungan tidak akan berakhir dalam kehidupan yang didasari oleh paham kapitalis sekuler. Karena negara tidak memiliki peran dalam pembentukan syakhsiah Islamiah, dan negara tidak menjadikan aturan Allah sebagai dasar penetapan sanksi bagi para pelaku perundungan.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: