Di Bawah Bendera Efisiensi, Nasib Guru Terlupakan
SSCQMedia.Com—Kesejahteraan guru, sebagai pilar fundamental dalam pembangunan suatu bangsa, kerap menjadi isu yang kompleks dan penuh tantangan. Terlebih dalam bingkai sistem ekonomi kapitalis, problematika ini menjadi semakin rumit, terjerat dalam anyaman kebijakan publik, prioritas pasar, serta tuntutan efisiensi biaya yang ketat.
Pemotongan Tunjangan Tugas Tambahan (TUTA) bagi guru di Provinsi Banten pada APBD 2025 telah menimbulkan gelombang protes yang keras. Kebijakan tersebut, yang disahkan oleh Kepala BPKAD Banten, Rina Dewiyanti, berdasarkan regulasi pusat yang menganggap TUTA sebagai duplikasi tunjangan profesi, telah memicu kemarahan Forum Silaturahmi Guru Banten dan bahkan mengancam melahirkan demonstrasi besar-besaran (tangerangnews.co.id, 24/06/2025). Lebih dari sekadar pemangkasan anggaran, kasus ini mengungkap realitas pahit terkait bagaimana mekanisme kapitalis mengabaikan kesejahteraan guru pilar utama dalam pembangunan bangsa.
Sebagai konsekuensi logis dari peristiwa tersebut, perlu dipahami bagaimana slogan efisiensi yang diusung pemerintah kerap menjadi dalih untuk mengesampingkan kebutuhan mendasar para pendidik. Dalam sistem kapitalisme yang berorientasi pada profitabilitas, pendidikan diperlakukan sebagai komoditas belaka, bukan sebagai hak dasar warga negara. Akibatnya, anggaran pendidikan, termasuk honorarium dan tunjangan guru, seringkali terpinggirkan demi sektor-sektor yang dianggap lebih "menguntungkan" secara ekonomi.
Di samping itu, persaingan sengit antara sekolah swasta yang mengejar profit dan sekolah negeri yang menghadapi kekurangan anggaran semakin memperburuk keadaan. Guru terjepit di antara tekanan pasar dan minimnya dukungan pemerintah. Mereka dipaksa memenuhi standar kualitas tanpa jaminan kesejahteraan yang layak dan memadai.
Lebih jauh lagi, sistem keuangan kapitalis yang bergantung pada utang serta pembiayaan eksternal kian mempersempit ruang alokasi anggaran negara. Upah yang pantas bagi guru sering kali dianggap sebagai beban, bukan kewajiban demi kemajuan peradaban. Padahal, guru merupakan fondasi pembangunan sumber daya manusia, dan kesejahteraan mereka seyogianya menjadi prioritas utama, bukannya korban efisiensi semu yang kontraproduktif.
Tidak berhenti pada konteks lokal, kasus pemotongan TUTA ini bukanlah fenomena yang terisolasi. Hal tersebut adalah wujud dari masalah sistemik yang memerlukan perubahan mendasar. Oleh karena itu, pemerintah wajib mengubah paradigma kebijakan, menempatkan kesejahteraan guru sebagai investasi strategis, bukan sekadar pos anggaran yang dapat dipangkas demi efisiensi one-dimensional yang justru merugikan banyak pihak.
Dalam perspektif Islam, yang menjadi landasan nilai dan moral tersendiri, peran guru tidak hanya sebagai penyampai ilmu, melainkan elemen sentral yang memikul tanggung jawab besar dalam membentuk generasi penerus yang berkualitas sekaligus memajukan peradaban manusia. Konsep ini menempatkan guru sebagai pembimbing yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, penghormatan terhadap guru dalam Islam adalah suatu kewajiban yang melekat secara sosial dan kultural, berimplikasi pada perhatian serius negara terhadap status sosial dan ekonomi para pendidik sebagai wujud penghargaan atas kontribusi mereka.
Lebih jauh lagi, dalam kerangka pemerintahan Islam, negara memegang peranan strategis menjamin kesejahteraan guru secara sistematis dan berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui pemberian remunerasi yang memadai, didukung oleh sumber pendapatan negara yang beraneka ragam dan berlimpah.
Mekanisme pengelolaan keuangan yang transparan dan efektif memungkinkan distribusi anggaran yang adil dan merata bagi seluruh tenaga pendidik, yang pada akhirnya memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa secara menyeluruh.
Keberhasilan ini tidak lepas dari prinsip-prinsip ekonomi Islam yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan, di mana sumber daya alam tidak semata menjadi hak milik individu, melainkan harta umum yang harus dikelola negara demi kemaslahatan bersama. Prinsip ini mendorong tata kelola yang bertanggung jawab, sehingga dana yang diperoleh dapat dialokasikan untuk mendukung sektor-sektor vital, termasuk pendidikan.
Dengan pendekatan ini, negara Islam mampu menciptakan model pendanaan pendidikan yang kokoh dan berkelanjutan, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi guru tetapi juga meningkatkan motivasi dan profesionalisme mereka.
Tidak hanya memandang aspek ekonomi dan finansial, penghormatan terhadap guru dalam sistem Islam juga berakar kuat pada landasan moral karena pengabdian dan jasanya yang sangat mulia. Mereka dipercayai membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga beriman kokoh dan berakhlak mulia. Oleh karenanya, status ini menjadikan profesi guru sebagai salah satu profesi terhormat karena kontribusinya dalam mencetak insan beriman dan berpengetahuan, yang kelak menjadi tiang penyangga peradaban. Pengakuan sosial yang tinggi serta apresiasi masyarakat terhadap peran guru secara tidak langsung menciptakan iklim pendidikan yang kondusif sekaligus mendorong terciptanya kualitas pendidikan yang unggul dan kompetitif.
Dengan rangkaian alasan tersebut, dapat ditegaskan bahwa penerapan sistem Islam dalam merumuskan kebijakan pendidikan dan kesejahteraan guru adalah keniscayaan untuk mewujudkan bangsa yang maju dan beradab. Kebijakan yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam menawarkan solusi yang tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga transenden, yakni mencetak generasi penerus yang bermutu, berakhlak tinggi, dan berkomitmen kuat terhadap kemaslahatan umat. Dengan demikian implementasi sistem Islam kaffah tidak semata relevan secara religius, tetapi juga sangat efektif dalam pembangunan sumber daya manusia dan pembentukan masyarakat yang adil serta makmur.
Wallahualam bissawab. []
Baca juga:

0 Comments: