Headlines
Loading...

Oleh. Rini Sulistiawati
(Pemerhati Sosial)

SSCQMedia.Com—Seorang perempuan berjalan gontai di gang sempit, menahan nyeri yang bersarang di perutnya yang buncit. Hamil tua, lelah, lapar, dan hampa. Tidak ada suami di sisi, tidak ada keluarga yang menanti. Hanya tembok kusam dan langit mendung yang menjadi saksi bahwa ia sedang mengandung harapan yang tidak tahu akan dilahirkan untuk hidup atau untuk dijual.

Ia tak menangis, karena air matanya telah habis di malam-malam panjang tanpa nasi, tanpa obat, tanpa kepastian. Ia tak merengek, karena dunia pun telah lama tuli pada jeritan orang miskin. Baginya, rumah sakit hanyalah harapan semu semata sebab ia tak memiliki KTP, tak terdaftar di BPJS, dan tak memiliki biaya.

Lalu datang seseorang dari balik layar ponsel, ramah, sopan, dan menjanjikan. Katanya, ia ingin mengadopsi bayi itu. Katanya, ia akan membantu biaya persalinan. Katanya, ini jalan keluar. Dan sang ibu, yang menggenggam rahim dan rasa bersalah dalam satu tarikan napas, akhirnya mengangguk. Bukan karena tega, tapi karena kejamnya hidup memaksanya menyerah.

Enam ratus ribu rupiah. Itulah harga sebuah persalinan dan sekaligus harga perpisahan dengan darah dagingnya. Bayi itu dibawa pergi. Dijanjikan akan hidup lebih baik. Namun, tak ada surat resmi. Tak ada proses sah. Yang tersisa hanya keheningan dan kekosongan. Dan di tengah lubang luka itu, sang ibu pun sadar, anaknya telah berpindah tangan, bukan sebagai anak angkat. Tapi sebagai barang dagangan.

Sindikat Terbongkar dari Facebook

Grup Facebook bernama Adopsi Harapan Amanah menjadi titik awal terbongkarnya kasus ini. Di grup tersebut, seorang ibu bernama DH, masih muda, 20 tahun, hamil dan tak punya biaya persalinan, menulis komentar yang mengundang pelaku berinisial AF untuk menghubunginya (idntimes, 15/7/2025).

AF datang seperti penyelamat, menawarkan bantuan persalinan. Tetapi di balik senyuman dan uang belasan juta rupiah, tersembunyi niat keji, memperdagangkan bayi DH. Bayi yang belum lahir itu sudah dihargai Rp11 hingga Rp16 juta, tergantung usia dan kondisi. Tak lama setelah melahirkan, bayi tersebut langsung diambil. Identitasnya dipalsukan. Dokumen dibuat seolah-olah ia anak kandung pasangan lain. Setelah itu, mereka dibawa ke luar negeri menuju Singapura melalui jalur yang tampak legal.

Menurut Antara News, sindikat ini telah beroperasi sejak April 2025. Polisi menangkap 13 pelaku, dan masih memburu 3 lainnya. Dokumen-dokumen penting seperti akta lahir, KTP, KK, dan paspor dipalsukan di Pontianak. Semua disiapkan agar bayi bisa ‘sah’ dibawa keluar negeri, seolah itu anak kandung orang tua angkat. Fakta lebih mengerikan, ada ibu yang melahirkan bukan untuk merawat anaknya, tapi untuk menjualnya (antaranews, 18/7/2025).

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Kita tak bisa sekadar menyalahkan DH. Ia adalah korban dari sistem yang membiarkan kemiskinan mendera tanpa solusi. Negara tak hadir saat ia butuh pertolongan. Sistem layanan kesehatan tak menjangkau rahim-rahim yang telantar. Dan pasar bebas yang menjadikan  apa saja bisa dijual selalu mengintai peluang, bahkan dari tubuh perempuan melarat.

Yang menyedihkan, praktik biadab ini dikemas dalam narasi “kemanusiaan”, seolah mereka menolong si ibu, seolah si bayi akan hidup lebih baik. Padahal, ini bukan adopsi, tapi transaksi. Eksploitasi kemiskinan yang dibungkus dalih moral.

Dan negara? Sibuk dengan penangkapan pelaku kecil. Tapi membiarkan sistem dan ideologi kapitalistik yang memungkinkan perdagangan manusia terus berlangsung.

Kehidupan Tak Layak Diperdagangkan

Islam memuliakan manusia sejak dalam kandungan. Setiap anak adalah amanah, bukan komoditas. Allah berfirman:

"Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam .…(QS Al-Isra’: 70)

Islam menjaga kehormatan manusia melalui maqashid syariah, tujuan syariat Islam, yakni menjaga jiwa (hifzhun nafs) dan menjaga keturunan (hifzhun nasl). Bayi bukan barang dagangan. Dan ibu miskin tak boleh dibiarkan menukar darah dagingnya dengan selembar rupiah.

Dalam sistem Islam, negara bukan sekadar penonton penderitaan rakyat, melainkan penjamin kehidupan yang layak bagi setiap individu. Negara wajib menyediakan layanan persalinan yang gratis dan berkualitas, agar tak ada ibu yang harus memilih antara nyawa bayinya dan tagihan rumah sakit. Kesejahteraan ibu dan anak miskin dijamin melalui pengelolaan zakat, baitulmal, serta dana publik yang dikelola amanah demi kemaslahatan umat. 

Negara juga bertanggung jawab menutup setiap celah perdagangan manusia melalui penerapan hukuman yang menjerakan dan sistem pengawasan yang ketat, bukan sekadar reaktif saat kasus mencuat. Perlindungan sejati ini hanya mungkin hadir lewat tegaknya sistem Islam secara menyeluruh.

Khilafah Islam bukan negara dagang, tapi penjaga kehidupan. Ia berdiri bukan untuk mengeruk keuntungan, tapi untuk menjamin keadilan. Di bawah naungan syariat, tidak ada bayi yang berpindah tangan tanpa kehormatan, tidak ada rahim yang dipaksa menjual buahnya demi sesuap nasi.

Manusia kok Dijual? Buka Nurani, Tegakkan Solusi

Kalimat ini bukan hanya ekspresi marah. Ia cambuk bagi nurani kita semua. Di negeri mayoritas muslim ini, mengapa justru manusia diperdagangkan tanpa malu?

Wahai umat Islam, jangan hanya mengutuk pelaku. Kutuk pula sistem rusak yang membuat rahim-rahim lemah menjadi ladang cuan. Berhenti menjadi penonton. Bangkitlah sebagai pejuang perubahan. Tegakkan syariat secara kafah. Bukan tambal sulam hukum, tapi revolusi sistemik.

Karena selama dunia ini tunduk pada uang, akan selalu ada bayi dijual. Dan selama sistem kufur ini berdiri, harga manusia akan lebih murah dari harga seekor anjing ras. Maka tegakkan Khilafah, dan muliakan manusia … sebagaimana Allah memuliakannya. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: