OPINI
Lumbung Padi Berlimpah Tetapi Harga Beras Melambung
Oleh. Dra. Rahma
(Praktisi Pendidikan)
SSCQMedia.Com—Seorang petani baru saja panen raya. Lumbung padinya penuh, bahkan lebih dari cukup untuk kebutuhan satu musim ke depan. Namun, anehnya, setiap kali ia ingin mengambil beras untuk keluarganya, ia justru harus membeli dengan harga yang terus melonjak. Padahal ia tahu, stok berasnya utuh, lumbung tidak kosong, bahkan melimpah. Maka ia pun bertanya-tanya, "Siapa yang menyembunyikan kunci lumbungku?"
Inilah potret aneh yang kini terjadi di negeri agraris bernama Indonesia. Menteri Pertanian Amran Sulaiman seperti petani itu, bingung menghadapi kenyataan bahwa harga beras naik justru saat stok mencapai titik tertinggi dalam 57 tahun terakhir. Bahkan menurut Food and Agriculture Organization (FAO), produksi beras Indonesia menyentuh angka 35,6 juta ton, melampaui target 32 juta ton. Versi USDA pun tak jauh beda: 34,6 juta ton.
Namun, realitas di pasar bagaikan cerita yang tak nyambung dengan fakta panen. Harga tetap melonjak. Pemerintah pun mencium bau tak sedap, ada anomali. Satgas Pangan bersama aparat penegak hukum turun ke 10 provinsi. Hasilnya mencengangkan. Dari 268 sampel 212 merek beras, ditemukan beragam pelanggaran, izin usaha tak lengkap, berat kemasan tak sesuai, mutu jauh dari standar, hingga harga yang melebihi harga eceran tertinggi (HET). Untuk beras premium saja, 85,56 persen tidak sesuai regulasi. Potensi kerugian masyarakat? Rp99,35 triliun.
Sebuah angka yang tidak bisa dianggap enteng (Detik, 26/6/2025). Jika kondisi ini diibaratkan bangunan rumah, maka fondasinya keropos. Pasar yang seharusnya menjadi tempat interaksi adil antara produsen dan konsumen justru berubah menjadi arena tipu-tipu. Yang kuat menindas, yang lemah tak berdaya. Negara hadir, tapi seperti tamu yang datang terlambat, setelah kerusakan terlalu parah dan rakyat sudah merugi.
Anomali harga beras ini bukan sekadar persoalan teknis, seperti lemahnya pengawasan atau tersendatnya distribusi. Ibarat kapal besar yang dibiarkan berlayar tanpa kompas dan nakhoda, sistem ekonomi saat ini membiarkan pasar bergerak semaunya tanpa kendali arah yang jelas. Ketika negara memilih menjadi penonton, bukan pengarah, maka gelombang keserakahan akan mudah menenggelamkan keadilan.
Kapitalisme (dengan prinsip pasar bebasnya) ibarat membuka pintu rumah tanpa kunci, lalu berharap tidak ada pencuri masuk. Maka jangan heran jika para spekulan dan pemilik modal justru berpesta pora, memainkan harga bahkan atas kebutuhan pokok, seperti beras yang seharusnya menjadi hak dasar setiap rakyat. Ini bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan bukti rusaknya fondasi sistem yang tak berpihak pada kepentingan umat. Kondisi ini mengingatkan kita pada sabda Rasulullah saw. yang artinya: "Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa" (HR Muslim, No. 1605).
Dalam Islam, beras sebagai kebutuhan dasar tak boleh dijadikan komoditas spekulatif. Negara harus menjamin tersedianya barang kebutuhan pokok dengan harga yang stabil dan terjangkau. Khalifah Umar bin Khathab pernah menghukum pedagang yang menjual kismis di atas harga wajar karena dianggap menyengsarakan rakyat (Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, [Markaz Buhuts: 2011], jilid XI, halaman 413).
Berbeda dengan sistem hari ini, Islam tak menyerahkan urusan pangan pada mekanisme pasar semata. Negara wajib hadir sebagai pengatur, pengendali, bahkan pelaku langsung dalam distribusi. Tujuannya bukan sekadar efisiensi ekonomi, tapi terwujudnya keadilan.
Maka selama negara masih berfungsi seperti petani yang kehilangan kunci lumbungnya, selama mekanisme pasar tak dikendalikan oleh aturan ilahiah, maka rakyat akan terus menjadi korban. Rantai distribusi panjang yang sarat permainan, pengawasan longgar yang bisa dibobol, serta prinsip "bebas untung asal legal" menjadi biang kerok penderitaan ini.
Sudah saatnya kita tidak hanya sekadar memeriksa pasar, tetapi juga memeriksa sistem. Karena selama sistem yang cacat tetap dipertahankan, anomali akan terus berulang. Dan harga beras, bisa jadi, hanya satu dari sekian banyak harga yang harus dibayar rakyat akibat absennya sistem Islam dalam mengatur kehidupan.[Hz]
Baca juga:

0 Comments: