Headlines
Loading...
Beras Oplosan: Simbol Kecurangan dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme

Beras Oplosan: Simbol Kecurangan dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme

‎Oleh. Novi Ummu Mafa
‎‎(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—‎Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) akhirnya mengeluarkan ultimatum keras kepada sejumlah pengusaha beras yang dinilai nakal. Para pelaku diberi tenggat waktu selama dua minggu untuk memperbaiki kualitas beras yang telah disalurkan dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Pasalnya, berbagai laporan menunjukkan bahwa beras yang beredar tidak sesuai standar seperti berat yang kurang, kualitas yang rendah, dan jenis yang tidak sesuai. (Metrotvnews.com, 29-06-2025).

‎Lebih menyakitkan lagi, pelaku kecurangan tersebut bukan pedagang kecil di pasar tradisional yang serba terbatas. Melainkan justru perusahaan-perusahaan besar dengan akses modal dan teknologi mumpunilah yang menjadi biang kecurangan. Padahal negara telah memiliki regulasi yang seharusnya mampu mencegah dan menindak praktik semacam ini. Namun, realita berkata lain.

‎Kecurangan dalam perdagangan pangan kini seakan menjadi keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari nilai agama. Demi keuntungan materi, batas halal dan haram diterabas, regulasi dilanggar, dan kezaliman dijadikan strategi dagang. Lebih ironis, semua ini dianggap biasa saja dalam sistem kapitalisme sekuler, sebuah sistem yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebenaran, bukan akhlak atau ketakwaan.

‎Kapitalisme: Sistem yang Melegalkan Kecurangan

‎Kecurangan dalam penjualan beras bukanlah peristiwa baru. Ini adalah fenomena berulang yang menandakan bahwa kerusakan telah berurat akar dalam sistem kehidupan kita. Manipulasi timbangan, pemalsuan jenis dan mutu beras, hingga penyusupan kualitas rendah ke dalam program pangan bersubsidi adalah wajah nyata dari kerakusan sistem pasar bebas. Dalam logika kapitalisme, keuntungan adalah segalanya, bahkan jika harus menipu rakyat jelata yang menggantungkan hidup pada sebungkus beras.

‎Kapitalisme membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa saja untuk berbisnis, termasuk dalam sektor kebutuhan dasar rakyat. Negara bukan pengatur, melainkan fasilitator. Maka tak heran jika kecurangan tak pernah usai, sebab sistemnya sendiri yang melanggengkan dan melegalisasi praktik tak bermoral atas nama efisiensi dan kebebasan pasar.

‎Sistem Sekuler Gagal Cetak Manusia Amanah

‎Jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini tidak berhenti pada lemahnya pengawasan atau kurangnya sanksi. Ini adalah hasil dari sistem pendidikan sekuler yang gagal membentuk manusia yang jujur, amanah, dan bertakwa. Generasi hari ini tidak dididik untuk takut kepada Allah, tapi diajarkan untuk mengejar kesuksesan materi dengan berbagai cara.

‎Ketika iman dan akhlak tak lagi menjadi fondasi hidup, maka wajar jika kecurangan menjadi budaya. Apalagi negara pun tak hadir secara penuh untuk mengurusi urusan pangan rakyatnya. Dari hulu ke hilir, rantai pasok pangan dikuasai korporasi. Negara hanya menguasai tak lebih dari 10% pasokan beras sehingga tidak punya bargaining power terhadap korporasi. Hal ini berimbas pada lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi.

‎Solusi Islam

‎Solusi Islam terhadap persoalan kecurangan pangan bukanlah tambal sulam hukum administratif sebagaimana lazim dalam sistem sekuler. Islam memandang penguasa sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab penuh dalam mengurusi urusan rakyat. Dalam sistem Islam, penguasa adalah ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung), yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas amanah kekuasaan yang diemban. Karena itu, amanah dan tanggung jawab mutlak dimiliki oleh pejabat dan penguasa, bukan sekadar jargon moral, tetapi prinsip syar’i yang wajib dilaksanakan secara nyata. Negara tidak boleh sekadar menjadi fasilitator, apalagi berperan sebagai makelar kepentingan korporasi, melainkan sebagai pelayan umat yang mengurusi kebutuhan pokok rakyat secara menyeluruh.

‎Tegaknya keadilan dalam Islam tidak hanya bertumpu pada individu yang baik atau pejabat yang bersih, tetapi harus ditegakkan dengan sistem yang kokoh. Islam menetapkan tiga pilar penopang utama dalam menjaga keadilan. Pertama, ketakwaan individu, yakni menjadikan rasa takut kepada Allah sebagai benteng dari segala bentuk penyimpangan. Kedua, kontrol masyarakat melalui amar makruf nahi munkar yang aktif, terorganisir, dan dilindungi undang-undang. Dan ketiga, negara yang memiliki otoritas penuh dalam menegakkan aturan dan menjatuhkan sanksi yang tegas serta menjerakan terhadap pelaku pelanggaran. Semua ini bersinergi menciptakan sistem sosial yang adil dan bersih dari kezaliman, termasuk dalam sektor pangan.

‎Islam juga membentuk institusi khusus bernama hisbah, dan menugaskan seorang qadhi hisbah yang bertugas memastikan transaksi pasar berjalan sesuai syariah. Qadhi hisbah tidak hanya mengawasi timbangan dan kualitas barang, tetapi juga menindak langsung praktik curang, manipulasi, atau penipuan dalam muamalah. Peran qadhi hisbah ini vital karena ia menjadi pengawal distribusi keadilan di pasar, dan menjadi perpanjangan tangan negara dalam menindak pelanggaran secara cepat dan tepat.

‎Lebih jauh, Islam menetapkan bahwa negara wajib hadir secara utuh dan aktif dalam mengurusi sektor pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara Islam tidak menyerahkan pengelolaan pangan kepada korporasi atau mekanisme pasar bebas, karena pangan adalah kebutuhan hidup rakyat yang harus dijamin pemenuhannya. Negara akan mengatur tata niaga secara adil, mencegah terjadinya penimbunan dan permainan harga, serta menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan hingga ke pelosok negeri. Negara juga akan mengelola cadangan pangan strategis dan menyalurkannya langsung kepada rakyat jika terjadi krisis atau kelangkaan.

‎Islam juga menetapkan negara harus hadir secara utuh untuk mengurusi pangan mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Bukan hanya memastikan pasokan tersedia, namun juga mengurusi rantai tata niaga sehingga tidak terjadi kecurangan seperti ini, serta mengatur konsumsi untuk memastikan pangan benar-benar sampai kepada seluruh rakyat. Dalam sistem Islam, rakyat tidak akan dibiarkan mencari nafkah sendiri dalam situasi pasar yang dikendalikan korporasi, sebab negara akan berdiri di garis depan untuk menjamin hak hidup mereka.

‎Dengan sistem seperti ini, kecurangan dalam sektor pangan bukan hanya bisa dicegah, tetapi dapat dihapuskan dari akar-akarnya. Inilah keunggulan sistem Islam, sistem ilahi yang menjadikan hukum Allah sebagai dasar dan menjadikan pemimpin sebagai pelayan rakyat bukan pelayan oligarki.
‎Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: