Korupsi Makin Menjadi, Islam Kafah Solusi Hakiki
Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan korupsi besar dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank milik negara. Proyek ini berlangsung dari tahun 2020 hingga 2024 dan bernilai fantastis, mencapai sekitar Rp2,1 triliun. Dugaan kuat bahwa proses pengadaan tidak berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas telah mengarahkan KPK pada serangkaian tindakan penyelidikan intensif.
Dalam upaya mengumpulkan bukti, KPK telah melakukan penggeledahan di dua kantor pusat bank pelat merah. Dari operasi ini, mereka berhasil menyita sejumlah dokumen penting, buku tabungan, bukti elektronik, serta uang tunai senilai Rp5,3 miliar dan deposito sebesar Rp28 miliar. Barang-barang ini diduga berkaitan erat dengan penyimpangan dalam pengadaan EDC.
Sebagai langkah pencegahan, KPK telah melarang 13 individu bepergian ke luar negeri, termasuk pihak dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Salah satu sosok yang sudah dimintai keterangan lebih dari satu kali adalah mantan Wakil Direktur Utama BRI, Catur Budi Harto. Meski hingga kini belum ada penetapan tersangka, KPK menyampaikan bahwa indikasi awal menunjukkan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp700 miliar—sekitar 30% dari total nilai proyek (beritasatu.com, 30/6/2025).
Ramainya pemberitaan media mengenai kasus dugaan korupsi dalam pengadaan mesin EDC senilai Rp2,1 triliun di Bank BRI menambah daftar panjang persoalan hukum yang belum menemukan titik terang dan sarat drama. Mirisnya, skandal semacam ini mencuat saat pemerintah tengah menggalakkan efisiensi anggaran—yang justru berimbas pada penurunan kualitas layanan publik dan pembatasan alokasi bagi sektor-sektor penting seperti Program Bantuan Iuran (PBI), insentif guru, bantuan sosial, penelitian, pertahanan, dan lainnya.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan negara dengan pendekatan sekuler-kapitalistik neoliberal dalam mengelola urusan rakyat dan menyelesaikan persoalan fundamental kehidupan. Sistem tersebut terbukti tidak mampu menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata. Demokrasi yang dijalankan justru melahirkan praktik politik transaksional, di mana jabatan hanya menjadi alat tukar antara pejabat dan pemodal. Akibatnya, budaya korupsi semakin meresap ke berbagai lapisan dan sektor kehidupan masyarakat.
Di sisi lain, Islam menawarkan paradigma kepemimpinan yang berakar pada akidah, mendorong kehidupan yang selaras dengan syariat, menjunjung moral, serta menghidupkan budaya amar makruf nahi mungkar. Hasilnya adalah masyarakat yang adil dan sejahtera.
Islam telah menetapkan seperangkat sistem hukum dan pengaturan yang apabila diterapkan secara menyeluruh (kafah), akan mampu mencegah praktik-praktik penyimpangan seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sambil tetap menjamin kesejahteraan umum dan menutup celah munculnya kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sejarah kejayaan peradaban Islam menjadi bukti nyata bahwa masyarakat yang bebas dari korupsi dan penyimpangan bisa diwujudkan, di mana kesejahteraan hadir tanpa tandingan ketika syariat diterapkan secara total dalam naungan sistem Khilafah Islamiah. [PR]
Baca juga:

0 Comments: