Headlines
Loading...
Ketika Puasa Menjadi Jalan Menuju Ar-Rayyan

Ketika Puasa Menjadi Jalan Menuju Ar-Rayyan


Oleh. Eka Suryati
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Islam adalah agama yang sempurna karena ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, baik urusan dunia maupun akhirat. Ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga membimbing manusia dalam interaksi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hingga tata cara hidup sehari-hari. 

Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. menjadi pedoman yang memberikan petunjuk tentang bagaimana hidup dengan penuh makna, adil, dan bermartabat di dunia, serta meraih keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat. Kesempurnaan Islam tercermin dalam keseimbangannya antara kebutuhan ruhani dan jasmani, individual dan sosial.

Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga membimbing seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal ibadah, ada yang memiliki dampak sosial dan spiritual. Salah satunya adalah puasa. Ibadah puasa tidak hanya melatih kesabaran dan kedisiplinan secara pribadi, tetapi juga menumbuhkan empati sosial dan kepedulian terhadap sesama. 

Puasa mengajarkan pengendalian diri dari hal-hal yang membatalkan, bukan hanya secara fisik seperti makan dan minum, tetapi juga secara batin seperti menahan amarah dan menjaga lisan. Inilah bukti bagaimana Islam menyatukan dimensi dunia dan akhirat dalam satu ibadah. Puasa sebagai sarana untuk memperbaiki diri, memperkuat keimanan, serta membentuk masyarakat yang lebih beradab dan bertakwa.

Namun, aku sering bertanya, termasuk pada diriku sendiri, sudahkah puasa menjadikan diri ini pribadi yang lebih baik seperti yang diinginkan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Lalu apa syaratnya agar puasa bisa menjadikan kita  pribadi yang bertakwa? Karena banyak sekali kita saksikan orang yang berpuasa selama bertahun-tahun namun  belum mampu juga menjadikan dirinya bertakwa. Mungkin kita perlu mencari tahu apa itu takwa dan apa saja syaratnya agar seseorang bisa dikatakan bertakwa pada Allah Swt.

Seseorang dikatakan bertakwa bila ia senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan berhati-hati dalam menjalani hidup, dengan cara:

1.Melaksanakan semua perintah Allah, baik yang wajib maupun sunnah, karena cinta dan takut kepada-Nya.

2.Menjauhi semua larangan-Nya, meski kecil dan tersembunyi, karena sadar bahwa Allah Maha Melihat.

3.Menjaga hati, lisan, dan perbuatan, dari dosa yang tampak maupun yang tersembunyi.

4.Mengisi hidup dengan amal saleh, karena yakin hidup di dunia hanya sementara.

5.Merasa diawasi Allah (muraqabah) dalam setiap langkahnya, sehingga hidupnya selalu terarah.

Dan kenyataannya sering kita saksikan bahwa orang yang berpuasa masih mengumbar amarah, berkata-kata kasar, jorok walaupun sekadar bercanda. Masih sering berkata dusta, bahkan melakukan hal-hal tercela seperti menipu dan melakukan korupsi. Puasa seperti itu tak memberikan dampak yang berarti pada nilai-nilai ketakwaan karena kita belum melaksanakan puasa yang sesungguhnya.

Puasa kita baru sekadar menahan diri dari haus dan lapar. Akhirnya kita menjadi orang-orang yang rugi karena tak menambah pahala ketika berpuasa, bahkan bisa-bisa malah menambah dosa. 

Padahal selain akan membuat keimanan dan ketakwaan kita makin kokoh, puasa juga bisa menjadi jalan kita menuju surganya Allah. Surga Allah yang dijanjikan bagi orang-orang yang khusyuk dalam berpuasa adalah surga melalui pintu Ar-Rayyan. Alangkah nikmatnya puasa yang seperti itu, yang bisa membuat kita makin dekat dengan Allah, makin memiliki rasa sayang dan peduli kepada sesama. Dan itulah tujuan kita berpuasa yang sesungguhnya.

Menyadari puasa bukanlah ibadah yang mudah, jika ingin sampai kepada tingkatan takwa, maka sudah seharusnya diri ini sungguh-sungguh dalam berpuasa, tidak boleh asal-asalan. Sebab jika puasanya tak sesuai aturan yang diberikan Allah, maka yang didapatkan hanya rasa haus dan lapar. Aku ingin meluruskan niat dalam berpuasa. Yaitu semata-mata karena Allah, bukan berharap pujian dari orang lain. Berdoa agar hati terbimbing, sehingga lisan, pandangan dan perilaku dapat terjaga. Yang tak kalah pentingnya adalah ketika berpuasa dapat menahan diri dari hawa nafsu, terutama nafsu amarah yang sering tak terkontrol kala ada hal yang memantik rasa kesal di hati.

Sebagai jalan menuju surga, puasaku tak boleh biasa-biasa saja. Ia harus penuh makna dan bernilai di sisi Allah. Aku tak ingin puasaku hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Aku ingin menjadikannya sebagai madrasah jiwa, sarana untuk menggapai derajat takwa dan rida-Nya.

Agar puasaku berkualitas, harus ada amal saleh yang mengiringinya. Aku ingin menyibukkan diri dengan tilawah Al-Qur’an yang bukan hanya dibaca, tapi juga direnungkan maknanya. Aku ingin meluangkan waktu untuk belajar ilmu agama, agar keimananku makin kokoh dan jalanku makin terang. Aku ingin memperbanyak sedekah, bukan menunggu kaya, tapi karena aku tahu, sedekah adalah bukti cinta dan bentuk syukur kepada Allah Yang Maha Pemurah.

Namun, yang tak kalah penting dari semua itu adalah konsisten setelah Ramadan berakhir. Aku tak ingin menjadi hamba musiman, yang hanya taat saat berpuasa, lalu kembali lalai ketika hari-hari biasa datang. Istikamah  adalah syarat diterimanya amal, dan puasa terutama di bulan Ramadan yang  seharusnya meninggalkan bekas dalam setiap langkah kehidupan setelahnya. Untuk itu jadikan puasa sebagai awal menuju perubahan, bukan akhir dari perjalanan menuju takwa. Semoga pintu Ar-Rayyan terbuka kalau kita ikhlas berpuasa karena Allah semata. Amin. [ry].

Kotabumi, 19 Juli 2025

Baca juga:

0 Comments: