Kematian Pasar Gembrong, Bukti Ekonomi Rakyat Tergilas
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Keheningan menyelimuti Pasar Gembrong, pusat mainan dan barang unik di Jakarta Timur. Ini bukan sekadar peristiwa lokal, tetapi gejala sistemik dampak kapitalisme terhadap ekonomi tradisional Indonesia. Pandemi Covid-19 memang memberikan pukulan awal, namun masalah yang lebih mendasar terungkap, yaitu perkembangan pesat e-commerce, melimpahnya barang impor murah, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang berorientasi pada investasi serta pertumbuhan ekonomi makro turut berkontribusi pada kemunduran Pasar Gembrong. Omzet pedagang turun lebih dari 50%, dari jutaan menjadi ratusan ribu rupiah per hari (cnbcindonesia.com/21/6/2025). Ini bukan hanya penurunan angka, tetapi tragedi hilangnya mata pencaharian dan terkikisnya ekonomi lokal.
Fenomena ini merepresentasikan bagaimana sistem kapitalisme, yang mengedepankan akumulasi modal dan efisiensi ekstrem, mengabaikan pedagang tradisional dan pelaku usaha mikro. Kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi cepat dan investasi besar semakin memperkecil ruang gerak negara dalam melindungi kelompok ekonomi lemah. Pasar tradisional seperti Pasar Gembrong mengalami kemerosotan ekonomi yang hampir memusnahkan keberadaannya.
Modernisasi yang berorientasi pasar bebas yang diusung kapitalisme global membawa perubahan besar yang tidak selalu selaras dengan kepentingan masyarakat kecil.
Analisis Dampak Kapitalisme terhadap Pasar Tradisional
Salah satu faktor utama penyebab kemerosotan ini adalah dominasi kapital digital dan kemudahan berbelanja secara online yang telah mengubah perilaku konsumen secara drastis. E-commerce, dengan berbagai fitur kemudahan dan harga yang kompetitif, menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan pasar fisik yang selama ini bergantung pada interaksi langsung dan hubungan personal antara penjual dan pembeli. Kapitalisme digital bergerak dengan kecepatan tinggi, meninggalkan pedagang tradisional yang kurang memiliki modal, kemampuan teknologi, dan jaringan untuk bersaing di ranah daring. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Pasar Gembrong, tetapi juga di banyak pasar tradisional lainnya di Indonesia.
Selain itu, mekanisme pasar bebas yang menjadi ciri kapitalisme global turut mendorong masuknya barang impor murah ke pasar lokal. Memberi tekanan besar terhadap produk buatan dalam negeri. Dalam sistem kapitalisme yang sangat mengutamakan efisiensi dan pencapaian keuntungan maksimal dalam waktu singkat, produk lokal cenderung menjadi korban dan sering kali terpinggirkan. Padahal, produk lokal dan pedagang tradisional merupakan unsur penting dalam menjaga kemandirian ekonomi dan keberlanjutan komunitas lokal.
Dari sisi pembangunan infrastruktur, pemerintah kerap mengutamakan proyek-proyek besar yang lebih menonjolkan kemewahan serta kebanggaan elit daripada mengedepankan kebutuhan rakyat kecil. Banyak dari proyek tersebut justru membawa dampak negatif bagi kelangsungan ekonomi lokal. Contohnya, pembangunan Tol Becakayu yang bertujuan menghubungkan wilayah Jakarta dan Bekasi, dengan harapan meningkatkan konektivitas serta nilai properti di kawasan tersebut. Namun, proses ini mengabaikan kesejahteraan pedagang serta masyarakat sekitar Pasar Gembrong yang sangat bergantung pada aktivitas pasar tersebut untuk menghidupi diri.
Terlebih, penurunan aktivitas dan pendapatan di Pasar Gembrong tidak hanya berdampak langsung pada para pedagang, tetapi juga menimbulkan efek berantai yang merembet ke seluruh komunitas sekitar. Hilangnya sumber penghidupan, meningkatnya tingkat pengangguran, serta penurunan daya beli di kalangan masyarakat lokal menjadi konsekuensi serius dari kondisi ini. Peredaran uang yang dahulu mengalir aktif di pasar tradisional kini beralih ke pasar modern, pusat perbelanjaan megah, dan perusahaan konglomerat besar. Kondisi ini menghambat pertumbuhan ekonomi regional sekaligus memperdalam jurang kesenjangan sosial. Akibatnya, kemiskinan yang menimpa pelaku usaha mikro dan warga sekitar semakin memburuk, sementara keuntungan melimpah justru mengalir deras ke kelompok kapitalis dan pemilik modal besar yang terbatas.
Ironisnya, meskipun proyek infrastruktur seperti tol Becakayu melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), operasionalnya justru dikelola oleh perusahaan swasta besar seperti PT Waskita Toll Road. Kondisi ini secara gamblang menggambarkan bagaimana negara dalam sistem kapitalisme memperkuat oligarki dengan memfasilitasi kegiatan ekonomi skala besar yang malah merugikan kelompok ekonomi kecil dan menengah.
Menghadapi realitas tersebut, kematian Pasar Gembrong seharusnya menjadi peringatan serius bagi semua pihak untuk segera merefleksikan keadaan dan mencari solusi alternatif. Hal ini penting agar ekonomi lokal tidak terus terkikis habis oleh dominasi gelombang kapitalisme yang semakin merajalela.
Sebagai respon atas persoalan tersebut, sistem ekonomi Islam menawarkan sebuah solusi yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Dalam sistem ini, khalifah (pemimpin) berperan sebagai pelindung sekaligus penanggung jawab penuh atas kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, termasuk menjamin kelancaran aktivitas ekonomi, khususnya di pasar-pasar tradisional. Sistem ini menitikberatkan pada keseimbangan dan keadilan melalui distribusi kekayaan yang merata dan proporsional. Negara Islam akan memastikan akses modal usaha yang sesuai dengan kebutuhan riil pelaku usaha kecil serta menerapkan kontrol ketat terhadap impor untuk melindungi produk lokal sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi daerah.
Dalam sistem Islam, pembangunan infrastruktur pun dijalankan dengan prinsip kemaslahatan, yaitu manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat sebagai fokus utama, bukan sekadar proyek besar yang hanya mengejar pertumbuhan properti atau keuntungan Kapitalis. Contoh nyata dapat ditemukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Salah satu karya monumental beliau adalah pembangunan kanal di Mesir, yang bertujuan mempermudah distribusi gandum secara efisien dan membantu masyarakat luas memperoleh bahan pangan, bukan demi kepentingan sempit kelompok elit.
Adapun pendanaan pembangunan pada masa tersebut bersumber dari baitulmal, yaitu kas negara yang dikelola secara mandiri tanpa bergantung pada utang atau investasi swasta. Konsep ini sangat kontras dengan pendekatan Kapitalis saat ini, yang banyak mengandalkan modal luar serta berorientasi pada keuntungan perusahaan swasta yang belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan manajemen keuangan yang sehat dan berkeadilan, pembangunan infrastruktur menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa menimbulkan dampak destruktif terhadap ekonomi kecil dan lokal, seperti yang dialami Pasar Gembrong.
Dengan demikian, hanya dengan kembali kepada nilai-nilai Islam, kita berpeluang membangun sebuah sistem kehidupan yang amanah dan berperikemanusiaan, sekaligus menghapus ketimpangan sosial serta memulihkan kedaulatan ekonomi rakyat. Pasar tradisional, seperti Pasar Gembrong, dapat hidup kembali sebagai pusat produksi dan distribusi yang adil serta menjadi basis kokoh dalam perjuangan membangun ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Wallahu'alam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: