Headlines
Loading...
Guru Digugu Ditiru, Tetapi Sering Dilupakan

Guru Digugu Ditiru, Tetapi Sering Dilupakan


Oleh. Istiana Ayu S.R
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Di Indonesia, guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi sayangnya, jasa mereka yang besar belum benar-benar dibalas negara dengan perhatian yang layak. Di lapangan, masih banyak guru—khususnya honorer— yang hidup dalam keterbatasan. Gaji kecil, status tidak jelas, beban kerja tinggi. Padahal, mereka adalah fondasi utama pendidikan anak bangsa.

Fakta terbaru menunjukkan betapa mirisnya nasib para guru honorer. Survei yang dilakukan oleh IDEAS dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024 menyebutkan bahwa 74,3% guru honorer di Indonesia digaji di bawah Rp2 juta per bulan, dan 20,5% di antaranya hanya menerima kurang dari Rp500 ribu per bulan (sumber: Katadata). Bahkan, menurut laporan DetikEdu, banyak dari mereka harus berutang hanya untuk kebutuhan sehari-hari, karena 74% guru honorer digaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di tempat mereka mengajar (Detik.com, 2/5/2024). Ini bukan hanya masalah angka, tapi masalah keadilan sosial.

Padahal, dalam Islam, guru adalah sosok yang sangat dimuliakan. Nabi Muhammad ï·º bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Artinya, pengajar ilmu, termasuk guru, punya kedudukan yang agung. Menurut Imam Al-Ghazali, guru bukan hanya pengajar pelajaran, tapi pembentuk akhlak umat. Maka sangat tidak layak jika mereka masih hidup dalam keterbatasan, padahal mereka sedang membangun masa depan bangsa. Ini ditegaskan dalam berbagai kajian pendidikan Islam klasik dan modern, termasuk dalam jurnal “Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam” oleh UIN Alauddin Makassar (Repositori UIN Alauddin).

Kalau ditanya akar masalahnya, jawabannya ada pada sistem. Pemerintah masih memandang guru honorer sebagai tenaga “cadangan”, bukan aset utama bangsa. Gaji mereka sebagian besar bergantung pada dana BOS, yang penggunaannya terbatas dan seringkali tidak mencukupi. Sementara itu, proses seleksi menjadi ASN melalui jalur PPPK masih rumit dan tidak semua guru lolos, meskipun sudah mengabdi bertahun-tahun (sumber: Portal JTV).

Islam punya solusi yang jauh lebih manusiawi. Dalam sejarah peradaban Islam, guru dan ulama digaji layak melalui sistem Baitulmal, yang dananya berasal dari zakat, kharaj, fai’, dan harta kekayaan umum. Mereka tak perlu memikirkan cari kerja sampingan demi makan, karena negara menjamin kehidupannya. Pendidikan dianggap sebagai kebutuhan pokok umat, bukan hanya proyek tahunan. Ini pernah diterapkan di masa Khalifah Umar bin Khattab, di mana para guru diberi upah tetap dari kas negara, sebagaimana dibahas dalam berbagai studi sejarah pendidikan Islam

Sebagai rakyat, kita harus bersuara. Kita dorong agar pemerintah benar-benar serius menyejahterakan guru. Bukan cuma janji di atas panggung atau ucapan saat Hari Guru, tapi dengan kebijakan yang nyata: status diangkat, gaji ditingkatkan, beban kerja diseimbangkan.

Sebagai muslim, kita juga perlu menyadari bahwa solusi menyeluruh hanya bisa diwujudkan jika sistem Islam diterapkan secara kafah –yang menjadikan guru– sebagai aset berharga negara, bukan beban.

Sudah saatnya negara berhenti memperlakukan guru sebagai slogan. Mereka bukan hanya pengajar, tapi pengukir peradaban. Dalam Islam, mereka adalah penerus para nabi. Memuliakan mereka adalah bentuk takwa dan cinta kita pada ilmu. Jangan biarkan mereka tetap hidup dalam keterbatasan, sementara kita menuntut mereka mencerdaskan bangsa.

Kalau dalam Islam, guru adalah pewaris para nabi, maka sudah selayaknya mereka dihargai secara lahir dan batin. Dengan payung kebijakan dan perhatian nyata, insyaallah kita bisa membangun sistem pendidikan yang adil dan berdaya. Guru yang sejahtera bukan hanya amanat bangsa, itu juga cinta kita pada ilmu dan agama. [An]

Baca juga:

0 Comments: