Headlines
Loading...
Gaya Hidup Materialistis di Kalangan Anak Muda

Gaya Hidup Materialistis di Kalangan Anak Muda


Oleh. D’Safira
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Pernah dengar istilah “circle iPhone”? Di kalangan anak muda, khususnya generasi Z, kepemilikan iPhone sering dianggap sebagai simbol status sosial. Tak jarang, demi terlihat keren saat buka puasa bersama, nongkrong, atau sekadar jalan-jalan, seseorang rela meminjam iPhone milik temannya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa begitu banyak orang berlomba-lomba ingin terlihat memiliki iPhone?

Dalam masyarakat modern yang menjadikan popularitas dan pengakuan sosial sebagai tujuan utama, memiliki barang mewah seperti iPhone dianggap penting. Gaya hidup seperti ini lahir dari pola pikir sekuler kapitalis, di mana materi menjadi tolok ukur kesuksesan. Dalam sistem ini, nilai halal dan haram sering kali diabaikan demi keuntungan pribadi dan citra sosial.

Berbeda dengan pandangan Islam, seorang muslim tidak diharuskan memiliki barang tertentu untuk menunjukkan nilai dirinya. Islam mengajarkan bahwa hidup bukan untuk mengejar pujian atau kemewahan, melainkan untuk memperbanyak amal dan mendekatkan diri kepada Allah. Maka, memiliki atau tidak memiliki iPhone seharusnya tidak menjadi masalah bagi seorang muslim yang memahami esensi hidupnya.

Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa gaya hidup hedonis dan materialistis semakin mengakar. Masyarakat saling mendorong untuk mengikuti tren yang didasarkan pada hawa nafsu. Kepuasan instan dan gaya hidup konsumtif menjadi tujuan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap spiritualitas dan akhlak. Lingkungan seperti ini jelas berbahaya, karena dapat mengikis nilai-nilai keimanan dan memperlemah kesadaran akan tanggung jawab hidup.

Dalam masyarakat Islam yang ideal, gaya hidup yang berkembang adalah ketakwaan dan semangat amar ma’ruf nahi munkar. Mereka justru merasa malu jika uang dihamburkan untuk hal yang tidak bermanfaat. Lingkungan yang dibangun atas dasar nilai Islam akan mendorong individu untuk menjauhi maksiat dan hidup sederhana namun bermakna.

Islam mendorong umatnya untuk aktif beribadah dan menjadikan kehidupan sebagai ladang amal. Berbeda dengan sistem sekuler yang membentuk generasi hedonis melalui berbagai instrumen, terutama sistem pendidikan. Pendidikan sekuler jarang mengajarkan cara bersyukur, fokus beribadah, atau memandang hidup dengan perspektif akhirat. Akibatnya, kepribadian Islam sulit terbentuk dalam diri generasi muda.

Negara dalam sistem sekuler juga memperkuat media yang menampilkan gaya hidup mewah dan pamer kekayaan. Flexing menjadi tren, dan konten-konten yang menjerat penonton untuk mengikuti gaya hidup konsumtif terus diproduksi. Hal ini memperparah kondisi spiritual masyarakat dan menjauhkan mereka dari nilai-nilai Islam.

Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, pendidikan Islam diterapkan secara menyeluruh dan merata. Setiap individu memiliki akses terhadap pendidikan yang membentuk akhlak dan kepribadian Islami. Negara juga bertanggung jawab dalam mengontrol media agar tidak menayangkan konten yang merusak akidah dan mendorong gaya hidup hedonis. Media diarahkan untuk mendidik, bukan sekadar menghibur.

Dengan sistem seperti ini, masyarakat akan lebih sadar akan tujuan hidupnya. Mereka tidak akan terjebak dalam perlombaan status sosial, tetapi fokus pada peningkatan kualitas diri dan kontribusi terhadap umat. Kepemilikan barang mewah tidak lagi menjadi tolok ukur keberhasilan, melainkan ketakwaan dan amal saleh. [An]

Baca juga:

0 Comments: