Distribusi Bantuan: Antara Harapan dan Pemusnahan Massal
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Gaza, sebuah wilayah yang padat dihuni oleh lebih dari dua juta warga Palestina, telah lama menjadi episentrum krisis kemanusiaan terparah di dunia. Blokade yang diterapkan oleh Israel selama bertahun-tahun telah mengakibatkan kekurangan akut bahan pangan, obat-obatan, listrik, dan air bersih di sana. Kondisi ini memperburuk kesehatan masyarakat, meningkatkan angka kematian bayi, serta membatasi akses terhadap layanan medis yang sangat krusial.
Terlebih pasca penutupan total pasokan selama beberapa bulan terakhir, ancaman kelaparan massal yang menghantui jutaan penduduk Gaza makin menggetarkan nurani dunia. Bantuan kemanusiaan, yang sejatinya menjadi penyelamat nyawa, ironisnya berubah menjadi latar belakang tragedi kematian massal, sebuah paradoks menyayat hati yang menodai kemanusiaan global. Dalam empat minggu terakhir, 549 warga Palestina warga Palestina meninggal dunia dan 4.066 lainnya terluka oleh pasukan Israel saat berusaha mengakses pasokan kemanusiaan di sekitar distribusi bantuan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) (international.sindonews.com, 26/6/2025). Angka ini bukan sekadar statistik kering, melainkan saksi bisu dari kejahatan terencana dan sistematis terhadap warga sipil yang secara jelas dilindungi oleh hukum internasional. Kejahatan ini tidak hanya melanggar norma hukum, melainkan juga merupakan serangan brutal terhadap hak asasi kemanusiaan itu sendiri.
Blokade yang menjadikan kelaparan sistematis sebagai senjata, ditambah dengan serangan dan intimidasi kekerasan di pusat-pusat bantuan kemanusiaan, menggambarkan kebiadaban yang kejam dan tanpa belas kasihan. Ketika nyawa warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan, dijadikan taruhan, bangsa dunia harus segera tergerak untuk bertindak.
Organisasi internasional yang mengklaim sebagai penjaga hak asasi manusia, terutama PBB, hendaknya tidak hanya berhenti pada kecaman semata, melainkan membuka investigasi menyeluruh dan menuntut pertanggungjawaban penuh para pelaku kejahatan ini. Lebih jauh, PBB wajib mengerahkan tekanan politik dan ekonomi yang signifikan kepada Israel agar penjajahan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan ini segera diakhiri.
Namun ironisnya, harapan dunia kepada PBB yang dalam praktiknya berada di bawah pengaruh Amerika Serikat seringkali pupus akibat politisasi dan negosiasi yang sarat dengan rekayasa. Hal ini membuat PBB terjebak dalam retorika tanpa aksi konkret, sanksi tegas, atau intervensi substansial sehingga penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia berlangsung tanpa hukuman yang tegas, dan penderitaan rakyat Palestina terus berlanjut.
Selain itu, kolaborasi antara Zionisme dan kekuatan imperialisme global hanya memperburuk situasi. Berbagai kepentingan politik dan ekonomi negara-negara besar terus mempertahankan status quo penjajahan, sehingga inisiatif perdamaian yang didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutunya lebih menguntungkan penjajah dan mengabaikan hak-hak rakyat Palestina. Seperti solusi dua negara yang notabene adalah cara menekan warga Palestina agar secara sukarela membagi wilayahnya kepada para penjajah.
Melihat fakta yang kompleks tersebut, jelas bahwa kejahatan Zionis maupun sekutunya terhadap Palestina tidak dapat dibalas dengan sekadar kecaman, kutukan formal, atau belasungkawa yang hampa makna. Respons seperti itu sama sekali tidak akan mampu menghentikan berbagai tindakan brutal yang dilakukan Israel.
Solusi yang sesungguhnya dibutuhkan oleh Palestina haruslah radikal dan revolusioner, bukan sekadar solusi parsial yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga internasional yang seringkali bias dan tidak independen, yaitu dengan melakukan pengiriman pasukan militer gabungan dari berbagai negara-negara Muslim.
Sayangnya, solusi ini menghadapi kendala utama, yaitu nasionalisme sempit yang telah mengakar kuat di kalangan umat Muslim sendiri. Nasionalisme yang kerap menjadikan persoalan Palestina seolah-olah menjadi urusan eksklusif negara tertentu, bukan tanggung jawab kolektif seluruh umat Islam, sekaligus menjadi penghambat utama dalam membangun solidaritas dan aksi nyata untuk membela Palestina.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal ini, umat Islam di seluruh dunia harus bersatu di bawah satu kepemimpinan yang kokoh dan terorganisir, yakni Khilafah, yang melampaui batas-batas geopolitik dan perbedaan sektarian. Hanya dengan kepemimpinan yang terpusat, strategi yang terkoordinasi dapat dijalankan secara terpadu dan efektif untuk menghadapi penjajahan serta intervensi kekuatan besar dunia. Kehadiran tentara-tentara Muslim yang tangguh akan memberikan efek jera dan menciptakan ketakutan yang cukup bagi Israel untuk menghentikan kekejaman mereka serta meninggalkan bumi Palestina.
Namun demikian, kebangkitan dan persatuan umat Muslim di bawah Khilafah bukanlah anugerah yang tiba begitu saja. Ini adalah tugas kolektif yang menuntut komitmen, pengorbanan, serta kesungguhan seluruh individu dan kelompok dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Umat perlu membuktikan kepada Allah Swt. dan diri sendiri bahwa kita pantas menerima amanah itu.
Namun, apabila umat Islam terus terpecah-belah dan dikoyak perselisihan internal, maka kelemahan akan terus menghantui dan mempermudah musuh untuk merajalela. Kondisi ini juga yang membuat Allah mencabut rasa takut yang ada dalam hati musuh-musuh Islam, sehingga mereka berani bertindak semena-mena, sebagaimana yang kita saksikan hari ini di Palestina dan wilayah lain.
Perjuangan ini tidak ringan dan akan menghadapi tekanan serta rintangan dari kekuatan geopolitik dunia yang punya kepentingan di balik konflik ini. Para kekuatan besar tersebut akan terus mengawasi setiap langkah pembebasan wilayah tersebut dengan strategi licik dan rumit. Oleh karena itu, umat Islam harus meningkatkan kesadaran kolektifnya, memperkuat solidaritas sesama saudara muslim, dan mengasah kekuatan intelektual serta strategis agar mampu menghadapi tantangan berat ini secara efektif dan menyeluruh.
Sudah saatnya kita bangkit bersama, saling menguatkan, dan menyemangati langkah demi langkah menuju pembebasan Palestina.
Hadis dari Abu Sa’id Al Khudri menjelaskan bahwa melawan kemungkaran adalah kewajiban setiap muslim. Jika tak mampu secara fisik, lawanlah dengan lisan; jika tak mampu juga, lawanlah dengan hati. Ini merupakan bentuk iman, walau selemah-lemahnya. Sehingga dalam perjuangan ini, semangat persatuan serta keimanan harus menjadi modal utama yang tak boleh pudar.
Kesadaran kolektif ini harus terus dipupuk agar cita-cita kemerdekaan dan keadilan bagi Palestina segera terwujud, membuka jalan bagi masa depan yang aman, damai, dan berkah bagi umat Islam dan umat manusia seluruhnya.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: