Headlines
Loading...
Dari Surga ke Neraka, Krisis Keluarga Era Kapitalisme

Dari Surga ke Neraka, Krisis Keluarga Era Kapitalisme

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Pernikahan merupakan sebuah ibadah yang amat mulia, sebuah karunia agung yang menyatukan dua insan dalam janji suci yang sakral. Sebuah rumah tangga yang harmonis dibangun atas landasan visi dan misi bersama, dengan tujuan meraih rida Allah Swt. serta melahirkan generasi unggul yang berakhlak mulia. Fondasi ideal kehidupan berkeluarga adalah nilai-nilai Islam yang kokoh.

Namun sayangnya, fondasi tersebut kini tampak mulai rapuh dan terkikis. Berbagai pengabaian hak dan kewajiban dalam rumah tangga telah memicu peningkatan ketegangan, konflik kekerasan, perceraian, hingga pembunuhan. Sungguh menyedihkan, rumah tangga yang seharusnya menjadi sumber kasih sayang dan kenyamanan telah berubah menjadi medan pertempuran yang menyakitkan.

Peristiwa tragis di Jombang, di mana FP (47) membunuh suaminya dan menyembunyikan mayatnya selama 40 hari (cnnindonesia.com, 26-6-2025), menjadi simbol nyata krisis sosial dan spiritual yang mendalam yang merefleksikan terkikisnya nilai-nilai Islam sebagai landasan keluarga, khususnya dalam membina hubungan suami-istri yang harmonis.

Sekulerisme dan Kapitalisme: Pengaruh terhadap Hubungan Suami-Istri

Berbagai faktor, seperti tekanan ekonomi yang terus membebani, beban emosi yang menumpuk, krisis moral, serta melemahnya keimanan, saling berkelindan dalam merusak keharmonisan rumah tangga. Namun, apabila ditelaah lebih mendalam, Kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan Liberalisme sebagai sistem sosial yang menempatkan keuntungan materi sebagai prioritas utama memegang peranan sentral dalam menciptakan kondisi tersebut.

Secara bertahap, Kapitalisme mengikis kehangatan keluarga dengan membangun sikap individualisme serta budaya konsumtif yang mendorong gaya hidup berlebihan dan persaingan tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan materi yang sebenarnya tidak akan pernah terpuaskan. Tekanan untuk terus meraih keuntungan dan mempertahankan status sosial tidak hanya menimbulkan kecemasan dan stres ekonomi dalam rumah tangga, tetapi juga mengalihkan fokus pasangan suami-istri dari ikatan emosional dan spiritual menuju orientasi semata-mata pada materi.

Dalam konteks ini, relasi suami-istri menjadi rapuh akibat terganggunya komunikasi, melemahnya rasa saling memiliki, serta menipisnya toleransi. Kondisi ini juga memberikan dampak negatif pada anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan minim perhatian terhadap pembentukan karakter dan keimanan, sehingga risiko disintegrasi sosial dalam keluarga kian mengemuka. Lebih jauh lagi, saat nilai-nilai Islam tidak dijadikan pedoman utama dalam kehidupan sehari-hari, penyelesaian konflik menjadi semakin sulit dilakukan secara konstruktif dan penuh kasih sayang. Akibatnya, perselisihan acap kali bereskalasi menjadi pertengkaran, kekerasan, bahkan tragedi pembunuhan yang begitu memilukan.

Kapitalisme, dengan segala dinamika dan ketimpangannya, pada akhirnya menjadi katalisator utama yang memperburuk konflik dan kehancuran dalam keluarga. Untuk mengatasi tantangan yang kompleks tersebut, diperlukan solusi komprehensif yang berfokus pada pengembalian nilai-nilai Islam dalam keluarga sebagai fondasi utama keharmonisan.

Meneguhkan Ketahanan Keluarga Berbasis Nilai-Nilai Islam

Dalam paradigma Islam, suami dan istri adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan (QS An-Nisa: 1), saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain (QS Al-Baqarah: 187). Mereka harus berjalan berdampingan, saling membantu, serta memahami dengan seksama hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah ibadah. Kesadaran kolektif dalam beribadah kepada Allah Swt. dapat memperkuat ikatan emosional dan menghasilkan ketenangan jiwa (QS Ar-Rum: 21). Dengan saling memberi dukungan dan doa, terutama saat melewati ujian, akan terwujud kedamaian serta keharmonisan sejati dalam keluarga (QS Al-Furqan: 74).

Pentingnya Peran Negara dalam Memperkokoh Relasi Suami-Istri

Meski demikian, ketahanan keluarga tidak dapat dicapai semata-mata melalui kesalihan individu. Harus ada sistem yang kokoh dan terpadu, yakni penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma yang dianut masyarakat luas, yang pada akhirnya dipengaruhi oleh kebijakan negara.

Negara yang menerapkan  Islam secara komprehensif akan memprioritaskan ketahanan keluarga dalam setiap agenda pembangunan dan kebijakan. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang adil dan sejahtera, penyediaan pendidikan yang berkualitas, pelayanan kesehatan yang memadai, serta mendorong terciptanya iklim kehidupan berlandaskan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, negara secara tegas membasmi faktor-faktor yang berpotensi merusak masyarakat dan keharmonisan rumah tangga. Negara Islam tidak hanya memberikan payung hukum tetapi juga mewujudkan implementasi nyata dalam memperkokoh keutuhan keluarga secara menyeluruh. Dengan demikian kisah pilu di Jombang menjadi pengingat mendalam akan perlunya institusi pendukung dalam memperkokoh bangunan keluarga harmonis berlandaskan nilai-nilai Islam. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: