Di Mana Negara Saat Ancaman Siber Mengintai?
Oleh. Sulis Setiawati, S.Pd
(Aktivis Muslimah)
SSCQMedia.Com—Saat ini, hampir semua anak dan remaja telah akrab sekali dengan gawai. Mulai dari menonton YouTube, scroll TikTok, sampai main game online, semuanya bisa dilakukan dalam genggaman tangan. Tapi sayangnya, penggunaan gawai yang terlalu masif sejak usia dini justru membawa banyak masalah. Seperti yang diberitakan bahwa pemerintah menyadari tantangan besar dari bonus demografi saat ini adalah penggunaan teknologi digital yang tidak sehat, terutama di kalangan remaja. Anak-anak jadi lebih rentan terhadap kejahatan siber, kekerasan digital, dan konten-konten negatif yang merusak adab dan akhlak mereka. (antaranews.com, 09/07/2025).
Jika kita lihat lebih dalam, masalah ini muncul karena dua hal besar, yakni rendahnya literasi digital dan lemahnya iman. Banyak anak-anak yang tahu cara memakai teknologi, tapi kurang memahami mana yang benar dan salah.
Ini juga sebagai bukti lemahnya sistem pendidikan saat ini yang terlalu menekankan aspek dunia saja, tanpa menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
Allah sudah mengingatkan dalam QS. Al-Isra: 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” Maka jelas, teknologi itu harus digunakan dengan ilmu dan iman, bukan sekadar ikut-ikutan tren.
Mirisnya, digitalisasi ini masih terfokus pada nilai keuntungan ekonomi yang dihasilkan tanpa memperhatikan perlindungan nyata bagi generasi muda terhadap konten-konten berbahaya. Dalam sistem sekuler yang kapitalistik, selama ada cuan, keselamatan generasi seringkali diabaikan. Padahal, anak-anak inilah aset bangsa di masa depan. Jika mental dan akhlaknya rusak sejak dini, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi generasi emas?
Ini semua adalah buah dari penerapan teknologi tanpa panduan agama. Dalam sistem kapitalisme, teknologi adalah alat untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, meski harus mengorbankan nilai moral. Lebih parah lagi, dunia cyber bisa dimanfaatkan pihak asing untuk menguasai opini publik dan bahkan menekan kedaulatan negara. Jadi bukan hanya anak-anak yang jadi korban, tapi juga kedaulatan bangsa bisa tergadai. Itulah bahaya ketika sistem teknologi kita bergantung pada infrastruktur asing yang tidak memikirkan keselamatan generasi.
Maka, negara sebenarnya punya kewajiban besar untuk membangun sistem digital yang mandiri dan berpijak pada nilai-nilai syariat. Negara harus menyediakan ruang cyber yang bersih dari pornografi, hoaks, dan kekerasan. Dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai), seperti sabda Nabi sollallahu’alaihi wasallam, "Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah junnah (pelindung)” (HR Bukhari dan Muslim).
Negara tidak hanya bertugas mengatur ekonomi atau infrastruktur, akan tetapi negara pun wajib menjaga moral dan akhlak rakyatnya, termasuk lewat pengelolaan dunia digital.
Inilah yang bisa diwujudkan jika Khilafah tegak sebagai sistem pemerintahan Islam. Khilafah akan memberikan arahan dan panduan dalam mengembangkan teknologi, dan memperkuat benteng iman umat, karena hanya dengan ilmu dan iman, teknologi akan menjadi berkah, bukan bencana. [Rn]
Baca juga:
0 Comments: