OPINI
Perundungan dan Kekerasan Anak: Luka Lama yang Terus Berdarah
Oleh. Rini Sulistiawati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Saya menulis ini sambil membayangkan wajah anak saya sendiri. Lugu, polos, penuh tawa. Lalu saya berpikir… bagaimana jika suatu hari anak itu dipaksa minum tuak? Diceburkan ke dalam sumur? Dipukuli teman sekelasnya sendiri? Apakah saya akan kuat melihatnya?
Kasus memilukan ini terjadi di Bandung. Seorang siswa SMP menjadi korban perundungan hanya karena menolak minuman keras. Teman-temannya mendorongnya ke dalam sumur. CNN Indonesia melaporkannya pada 26 Juni 2025.
Fakta yang lebih mengiris hati datang dari Kompas, 10 Juni 2023. Seorang siswa SMP lainnya, juga di Bandung, mengalami perundungan fisik hingga mengalami trauma berat. Ia menolak kembali ke sekolah. Orang tuanya melaporkan sebelas orang yang diduga terlibat, sebagaimana diberitakan pada 9 Juni 2023.
Bukan orang dewasa. Bukan preman jalanan. Tapi anak-anak. Anak-anak yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dengan penuh cita-cita. Hari ini, perundungan tidak lagi sekadar ejekan. Ia telah menjelma menjadi kekerasan yang nyaris berujung kematian.
Arie Hanggara: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh
Nama ini masih melekat di benak banyak orang. Empat puluh tahun yang lalu seorang anak bernama Arie Hanggara, bocah berusia tujuh tahun, menjadi korban kekejaman ayah kandungnya sendiri, Machtino Eddiwan (Tino), dan ibu tirinya, Santi, pada 8 November 1984.
Tubuh kecil Arie disiksa setiap hari. Ia dipukul dengan gagang sapu, diikat tangan dan kakinya, dipaksa jongkok menahan sakit. Yang paling menyayat, ia diguyur air berkali-kali di kamar mandi. Seakan-akan tubuh mungilnya bukan lagi anak manusia, tapi seonggok benda yang bebas dihina dan dianiaya. Ketika akhirnya Arie tak sanggup lagi bernapas, mereka justru membohongi pihak rumah sakit dan mengatakan itu kecelakaan. Hati siapa yang tak menjerit? Namun yang lebih memilukan lagi adalah vonis yang dijatuhkan pengadilan. Sang ayah hanya dihukum lima tahun penjara. Ibu tiri Arie hanya dua tahun.
Ringan. Bahkan sangat ringan. Beginilah jadinya ketika kita menggantungkan keadilan pada hukum buatan manusia. Hukum yang rapuh. Hukum yang bisa tawar-menawar dengan rasa sakit seorang anak.
Kekerasan Terus Berulang karena Sistem Kita Rusak
Dari Arie Hanggara hingga siswa SMP yang diceburkan ke sumur, atau anak yang trauma dipukuli sebelas temannya, masalahnya tetap satu. Kita hidup dalam sistem yang gagal melindungi anak-anak.
UU Perlindungan Anak memang ada. Tapi perundungan tetap terjadi. Pendidikan makin canggih, tapi akhlak makin kosong. Anak-anak pintar berhitung, tapi tak tahu menghargai manusia. Sistem sanksi pun ringan dan tidak menjerakan.
Kita sedang menyaksikan generasi yang tumbuh tanpa arah. Anak-anak kehilangan teladan. Media mengajarkan kebebasan. Hukum gagal mengayomi. Lingkungan sosial kehilangan empati. Padahal anak-anak adalah salah satu amanah terbesar yang dititipkan Allah kepada kita.
"Sesungguhnya amanah itu akan diminta pertanggungjawabannya."
(QS. Al-Ahzab: 72)
Islam Kaffah, Jalan Keselamatan Anak dan Masyarakat
Islam memandang anak sebagai amanah yang harus dijaga sejak dini. Bukan hanya fisiknya, tapi juga ruh dan akalnya. Dalam Islam, anak bukan hanya urusan keluarga. Ia adalah amanah dari Allah, yang harus dijaga oleh keluarga, masyarakat, dan negara.
Islam memerintahkan pendidikan berbasis akidah sejak dini. Anak dikenalkan halal dan haram, tanggung jawab dan adab. Negara wajib menyusun kurikulum yang membentuk karakter bertakwa, bukan hanya kompetensi teknis. Karena itu, Islam mengatur sistem pendidikan, lingkungan sosial, dan sanksi secara terpadu.
1. Pendidikan akidah dan akhlak sejak dini
Islam mewajibkan pendidikan yang bukan hanya akademik, tapi berbasis iman. Negara menyusun kurikulum berbasis Islam. Masyarakat ikut membina. Dan keluarga diberi arahan yang jelas.
2. Sanksi tegas dan menjerakan
Dalam sejarah 1300 tahun peradaban Islam, pelaku kekerasan terhadap anak diproses oleh qadhi. Jika terjadi kekerasan terhadap anak, pelaku yang balig diproses di pengadilan syariah dan dikenai takzir yang bisa sangat berat. Bila pelakunya belum balig, maka orang tua dan walinya ikut bertanggung jawab. Negara bahkan bisa mengambil alih pembinaan terhadap anak dan orang tua yang lalai.
3. Lingkungan yang terkendali oleh syariat
Minuman keras seperti tuak tidak mungkin mudah beredar. Minuman keras seperti tuak dilarang keras dalam sistem Islam.
Minuman keras bukan hanya dilarang untuk dikonsumsi, tapi juga dilarang diproduksi dan disebarluaskan oleh negara. Media yang merusak pun tidak diberi ruang. Semua diarahkan untuk menciptakan suasana yang menumbuhkan keimanan dan ketakwaan.
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)
Anak-anak tidak akan dengan mudah mengakses tuak atau minuman keras karena seluruh sistem mencegah kerusakan dari akarnya. Sistem Islam tidak hanya menghukum. Ia mendidik, mencegah, dan menumbuhkan. Inilah yang tidak kita temui dalam sistem sekarang. Islam tidak hanya menyuruh kita menjaga anak, tapi menciptakan seluruh ekosistem yang menjamin tumbuh kembangnya secara sehat—baik fisik, akal, maupun ruh.
Mari Bergerak Sebelum Terlambat
Saya menulis ini bukan sebagai ahli hukum. Tapi sebagai seorang ibu yang cemas akan masa depan anak-anak kita. Bila hari ini kita diam, maka esok yang menjadi korban bisa saja anak-anak kita sendiri.
Saya ingin mengajak semua yang masih punya nurani.
Ayah dan ibu, mari jadikan rumah kita tempat menanam iman, bukan hanya tempat berlindung dari hujan. Para guru, jadikan sekolah lebih dari sekadar ruang kelas—jadikan tempat membentuk jiwa yang kuat dan berakhlak.
Para pemimpin, hentikan tambal sulam hukum. Jika ingin melindungi anak bangsa, jangan hanya mengatur ulang pasal. Perjuangkan sistem yang utuh. Perjuangkan Islam kaffah.
Anak-anak bukan sekadar halaman dalam buku tahunan sekolah. Anak-anak bukan sekadar masa depan bangsa. Mereka adalah amanah yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Jangan biarkan satu Arie mati sia-sia. Jangan biarkan anak-anak terus diceburkan ke sumur-sumur kegelapan tanpa harapan.
Jangan biarkan satu anak lagi diceburkan ke sumur oleh tangan-tangan kecil yang tak diajarkan cinta dan takut kepada Allah.
Mari bergerak. Sekarang. Demi satu generasi yang lebih kuat, lebih mulia, dan lebih terlindungi.
Mari tegakkan sistem yang memberi perlindungan sejati. Bukan hanya hukum di atas kertas. Tapi aturan hidup yang datang dari langit, dan terbukti selama 13 abad menjaga generasi dengan adil dan mulia.[] [Hz]
____
Tentang Penulis
Rini Sulistiawati adalah seorang ibu dari lima anak, pendongeng keliling yang aktif menyuarakan nilai-nilai Islam melalui cerita, dan pegiat perlindungan anak. Ia kerap hadir di berbagai sekolah, masjid, dan komunitas sebagai sahabat anak-anak, menyampaikan pesan kebaikan dan akhlak lewat boneka dan dongeng bernuansa Islam.
Baca juga:

0 Comments: