Curangi Beras Premium, Bukti Regulasi Tak Bergigi
Oleh. Dwi Moga
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Lagi-lagi, praktik kecurangan ditampakkan di negeri yang katanya religius ini. Fenomena pengoplosan bahan makanan kembali terjadi. Sasarannya kali ini adalah beras yang menjadi makanan pokok masyarakat. Ironisnya, pelakunya adalah perusahaan besar dan negara sudah memiliki regulasi untuk mengatur edarnya.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, beras oplosan beredar, bahkan sampai ke supermarket dan minimarket. Dikemas seperti beras premium, tetapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hal tersebut diketahui dari hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan, yang menemukan sebanyak 212 merk beras yang tersebar di 10 provinsi, terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari ketidaksesuaian komposisi, berat kemasan, hingga label mutu. Mentan Amran Sulaiman, menambahkan bahwa praktik kecurangan semacam ini menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat Indonesia, hingga mencapai kurang lebih Rp99 triliun per tahun.
Selanjutnya, dalam menangani kasus ini, Kementan dan Satgas Pangan, memberi waktu setidaknya dua minggu bagi para penghasil beras untuk menyesuaikan mutu dan harga beras sesuai regulasi. Jika tidak dilakukan, maka pemerintah akan bertindak tegas dengan menyerahkan hukuman kepada Kapolri agar mendapat efek jera, (kompas.com, 13/07/2025).
Kecurangan Keniscayaan dalam Kapitalisme Sekuler
Kecurangan dalam distribusi, kualitas dan kuantitas, serta jenis beras, mencerminkan buruknya sistem ekonomi saat ini. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan korporasi dan jauh dari nilai agama. Meski negara telah memiliki regulasi, namun praktik kecurangan tetap terjadi, bahkan melibatkan perusahaan besar yang harusnya bisa menjadi teladan bagi perusahaan kecil. Ini menunjukkan bahwa praktik kecurangan dalam kapitalisme sekuler adalah suatu keniscayaan.
Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dan mengutamakan asas manfaat, bahkan rela menghalalkan segala cara dengan melanggar regulasi demi keuntungan pribadi. Dibiarkannya persoalan ini hingga terjadi setiap tahun, membuktikan masih lemahnya pengawasan dan sistem sanksi yang diberikan oleh negara. Dalam masalah ini, produsen yang telah terbukti melanggar tidak diberikan sanksi yang tegas dan hanya diberi waktu untuk memperbaiki produk beras sesuai regulasi. Sehingga, tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan hal yang sama di waktu yang akan datang.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, hal ini juga membuktikan gagalnya sistem pendidikan dalam mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Karena output sistem sekuler, tidak menjadikan ketakwaan sebagai fondasi utama.
Selain itu, ketidakhadiran peran negara dalam mengurusi pangan, karena pengelolaan hulu ke hilir mulai dari produksi, distribusi, pengolahan, hingga pemasaran, masih dikuasai oleh korporasi yang berorientasi pada bisnis. Ketergantungan ini berimbas pada lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi.
Islam Solusi Tuntas
Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan sistem alternatif. Ya, sistem Islam. Sistem yang mampu menjadikan negara sebagai pelayan rakyat, sekaligus penjaga amanah.
Mengapa? Karena dalam Islam, pejabat atau penguasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pemimpin yang amanah, adil, dan menjaga kemaslahatan umat. Sesuai hadis Rasulullah saw., "Imam (penguasa) adalah raa'in (penggembala/pelayan) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin." (HR Bukhari dan Muslim).
Ketakutan akan hari pertanggungjawaban, menjadikan negara memenuhi tanggungjawabnya dengan baik. Negara kepada rakyat seperti halnya seorang ibu kepada anaknya. Dia akan memerhatikan segala kebutuhannya dapat terpenuhi. Tak hanya kebutuhan pangan, tetapi sandang, dan papan. Selain itu, kebutuhan terpenuhinya pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat juga akan diperhatikan. Tanggungjawab negara ini dilaksanakan dengan dorongan keimanan, karena perintah Allah Swt. semata. Jadi, tak akan ada motif bisnis yang muncul dari hubungan negara dan rakyat.
Negara memang punya peran utama. Yaitu, menjamin penegakan aturan Islam secara menyeluruh dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Namun, hal itu harus didukung oleh pilar yang lain, yaitu ketakwaan individu dan adanya kontrol dari masyarakat. Ketakutan akan hari pertanggungjawaban pun, ada pada diri masing-masing individu dan masyarakat. Sehingga, dalam kehidupan akan ada amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah keburukan).
Dalam masalah pangan ini, negara tidak hanya memastikan ketersediaan pasokan pangan saja tetapi juga hadir secara penuh dalam urusan pangan. Mulai dari produksi, hingga distribusi. Negara tidak akan membiarkan urusan pangan jatuh di tangan korporasi yang hanya mementingkan laba.
Negara akan menerapkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sesuai syariat Islam Islam, juga memiliki qadi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Terlaksananya dengan baik peran individu, masyarakat, dan negara sesuai syariat, harapannya akan mengantarkan negeri ini pada keberkahan dunia dan akhirat. Wallahualam bissawab. [US]
Baca juga:

0 Comments: