Headlines
Loading...
Beras Premium Palsu, Mengapa Regulasi Seolah Tak Bertaring?

Beras Premium Palsu, Mengapa Regulasi Seolah Tak Bertaring?


‎Oleh. Ummu Fahhala
‎(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi) 

SSCQMedia.Com—‎Kecurangan dalam distribusi beras kembali terjadi. Kali ini bukan hanya soal timbangan, tetapi juga soal kualitas dan keaslian jenis beras. Beras premium yang seharusnya berkualitas tinggi, ternyata banyak yang oplosan. Ironisnya, praktik ini dilakukan oleh perusahaan besar. Negara sudah memiliki regulasi, namun dampak buruknya tetap dirasakan masyarakat secara luas.
‎Menurut laporan Kompas (13 Juli 2025), praktik beras oplosan terus menghantui pasar. Menteri Pertanian bahkan mengungkap bahwa 157 merek beras premium tidak sesuai standar kualitas (Tempo, 10 Juli 2025). Sementara itu, konsumen dirugikan hampir Rp100 triliun akibat beras berkualitas rendah yang dijual dengan harga tinggi (MetroTV News, 9 Juli 2025). Pemerintah pun telah mengeluarkan ultimatum kepada para pelaku untuk segera memperbaiki kualitas (MetroTV News, 12 Juli 2025). Namun, masalah ini terus berulang.
‎Fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada tidak berjalan efektif. Negara seolah tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan korporasi besar. Meski aturan tersedia, namun pengawasan lemah dan sanksi tidak tegas.
‎Pakar kebijakan publik, Dr. Agus Pambagio, menilai bahwa lemahnya penegakan hukum terjadi karena ada keterikatan antara kepentingan politik dan ekonomi. “Regulasi sering kali kalah oleh tekanan kepentingan bisnis,” ujarnya dalam diskusi publik yang dikutip Kompas, Mei 2024. Dari sini kita melihat, bahwa akar persoalan bukan hanya teknis, melainkan sistemik.
‎Kecurangan seperti ini menjadi hal lumrah dalam sistem kapitalis. Dalam sistem ini, keuntungan menjadi ukuran utama. Nilai moral dan kejujuran sering diabaikan. Pelaku usaha rela mengoplos beras demi margin laba yang lebih tinggi.
‎Sistem sekuler kapitalisme tidak menanamkan akhlak dalam berbisnis. Pendidikan hanya mencetak generasi cerdas secara akademik, bukan amanah secara moral. Dalam sistem ini, hukum dan regulasi bisa ditawar, terutama ketika yang melanggar adalah pemain besar.
‎Lebih jauh, negara gagal hadir secara penuh dalam urusan pangan. Hanya sekitar 10% pasokan pangan nasional yang dikuasai negara, selebihnya dikendalikan korporasi. Akibatnya, negara tidak punya posisi tawar. Pengawasan longgar, sanksi tumpul, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya.
‎Islam Hadir dengan Solusi Sistemik
‎Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem yang mengatur kehidupan, termasuk urusan pangan. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat (raain) dan pelindung (junnah). 
‎Rasulullah saw. bersabda:
‎"Imam (pemimpin) adalah perisai, tempat orang berlindung dan berperang di belakangnya." (HR. Muslim).
‎Dalam Islam, penegakan aturan ditopang oleh tiga hal, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan sanksi negara yang tegas. Negara tidak boleh membiarkan pelanggaran tanpa respon. Islam menetapkan keberadaan qadhi hisbah, yaitu lembaga yang bertugas mengawasi perdagangan dan menindak segala bentuk kecurangan.
‎Negara dalam Islam juga akan hadir secara total dalam pengelolaan pangan. Dari produksi hingga konsumsi, negara mengatur agar rantai distribusi berjalan jujur dan adil. Negara akan memastikan bahwa pangan berkualitas benar-benar sampai ke rakyat, bukan hanya sekadar tersedia di pasar.
‎Negara juga akan menetapkan standar yang ketat untuk kualitas pangan, menertibkan pedagang curang, serta menghapus sistem distribusi yang berpihak pada korporasi. Dengan begitu, tidak akan ada lagi beras palsu yang dijual dengan harga premium.
Penutup

‎Kecurangan dalam pangan adalah kejahatan besar. Ini bukan hanya soal uang, tetapi menyangkut keadilan dan keberkahan. Jika negara terus gagal menegakkan regulasi, maka rakyat akan terus jadi korban.
‎Islam telah membuktikan diri sebagai sistem yang adil dan menyejahterakan. Ia menjaga hak rakyat, mengontrol para pedagang, dan menghadirkan pemimpin yang amanah. Inilah sistem yang kita butuhkan, bukan hanya aturan, tapi juga ketegasan, tanggung jawab, dan keberpihakan nyata kepada rakyat.
‎Regulasi tanpa kekuasaan ibarat pedang tumpul terlihat tajam, tapi tak bisa melindungi. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: