Oleh. Istiana Ayu
(Kontributor SSCQMedia com)
SSCQMedia com—Zaman sekarang, siapa sih yang nggak pakai internet? Mulai dari anak SD sampai ibu rumah tangga, semuanya sudah akrab sama gadget dan media sosial. Tetapi di balik kenyamanan dunia digital, ada bahaya besar yang mengintai diam-diam, terutama buat perempuan dan anak-anak. Internet bukan hanya tempat untuk mencari hiburan dan belajar, tetapi juga menjadi ladang subur bagi kekerasan, pelecehan, perundungan, bahkan eksploitasi seksual.
Coba kita lihat datanya, menurut Simfoni PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang tahun 2023 saja, tercatat 11.266 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan banyak di antaranya terjadi secara daring. Nggak berhenti di situ, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga mengungkap, selama tahun 2023, mereka berhasil memblokir 1.731 konten kekerasan seksual terhadap anak di internet (kominfo.go.id, 2024). Ini angka yang seharusnya bikin kita semua khawatir, karena artinya dunia maya sudah bukan tempat yang aman lagi, apalagi untuk kelompok yang paling rentan.
Sayangnya, respon negara terhadap fenomena ini masih sering terdengar seperti “menyalahkan korban” secara halus. Misalnya, anak disuruh hati-hati saat main gadget, perempuan diminta nggak posting foto yang bisa “mengundang”. Tetapi pelaku? Jarang dibahas, apalagi ditindak tegas. Padahal, dalam sistem Islam, menjaga rakyat, apalagi yang rentan seperti perempuan dan anak-anak, adalah tanggung jawab penuh negara. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, negara nggak boleh cuek atau sekadar kasih edukasi doang. Negara harus aktif melindungi, menutup celah maksiat, dan menerapkan hukuman tegas bagi para pelaku kejahatan, termasuk yang dilakukan di dunia maya. Daulah Islamiah di masa lalu misalnya, nggak akan membiarkan masyarakat terpapar hal-hal yang merusak akhlak. Akses ke konten-konten porno, eksploitasi anak, dan media sosial yang membuka peluang pelecehan akan dihapus secara sistemik. Nggak seperti sekarang, yang kadang justru melakukan promosi “edukasi seksual” tanpa batas, tetapi abai soal penjagaan moral.
Selain itu, Islam menekankan pentingnya pendidikan berbasis akidah sejak kecil, supaya anak-anak tahu mana yang halal dan mana yang haram. Bukan hanya pintar teknologi, tapi juga mempunyai kesadaran untuk menggunakan teknologi secara benar. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Ya, negara! Bukan hanya orang tua. Karena dalam Islam, negara adalah penanggung jawab utama kesejahteraan dan keamanan rakyat, termasuk dalam urusan digital.
Masalah dunia maya ini juga berkaitan erat dengan sistem sekuler hari ini, di mana kebebasan berekspresi dan bisnis dijadikan prioritas, bahkan melebihi keamanan moral masyarakat. Makanya jangan heran, meski konten eksploitasi atau kekerasan seksual online bisa diakses bebas, negara hanya kasih batasan setengah hati—karena takut dianggap membatasi kebebasan atau mengganggu bisnis digital. Padahal, dalam Islam, kemaslahatan umat lebih utama daripada kepentingan individu atau industri.
Jadi, solusinya bukan sekadar “ayo hati-hati di internet” atau “jangan upload foto sembarangan”. Tetapi harus ada sistem Islam yang utuh: dari kurikulum pendidikan Islam, kontrol media dan teknologi yang ketat, sampai penerapan hukum hudud untuk pelaku kriminal seksual yang menjerakan dan bikin efek jera. Semua itu hanya bisa dilakukan kalau negara punya landasan syariat Islam yang menyeluruh.
Perempuan dan anak-anak bukan sekadar objek kampanye “digital safety”, tetapi mereka adalah amanah yang harus dijaga. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang suka agar (berita) perbuatan keji tersebar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS An-Nur: 19)
Dari sini jelas, penyebaran konten negatif atau perilaku online yang merusak itu dosa besar, dan negara yang membiarkannya ikut menanggung dosanya. Jadi, kalau kita mau serius melindungi perempuan dan anak-anak dari bahaya digital, sudah waktunya nggak cuma mengandalkan edukasi dan aplikasi pelaporan online. Tetapi kita harus mendorong hadirnya sistem Islam sebagai pelindung sejati—bukan cuma penjaga citra moral di media. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: