SSCQMedia.Com—Harga bahan bakar minyak (BBM) kembali naik per 1 Juli 2025. Masyarakat yang sejak lama sudah menjerit karena mahalnya kebutuhan pokok, kini makin tercekik oleh kenaikan harga BBM yang menyusul tanpa kompromi.
Harga BBM Shell melonjak antara Rp440– Rp580 per liter. Shell Super (RON 92) kini Rp12.810, V‑Power (RON 95) Rp13.300, V‑Power Nitro+ (RON 98) Rp13.540, dan V‑Power Diesel (CN 51) Rp13.830 (kompas.com, 2-7-2025).
Sementara itu, Pertamina pun menyusul: Pertamax Rp12.500, Pertamax Turbo Rp13.500, Dexlite Rp13.320, Pertamina Dex Rp13.650, dan Pertamax Green 95 Rp13.250, dengan kenaikan antara Rp400 hingga Rp590 per liter dari bulan sebelumnya.
Bagi sebagian orang, mungkin angka itu tampak kecil. Tapi bagi rakyat kecil, itu adalah jurang antara cukup makan atau tidak, antara bisa menyekolahkan anak atau hanya bermimpi. Kenaikan ini memicu efek domino, harga sembako naik, ongkos angkut membengkak, dan biaya hidup makin menyesakkan dada. Sementara upah dan penghasilan tak ikut naik.
Pagi itu, anak bujangku pulang kerja dengan langkah berat. Wajahnya yang dulu berseri saat bekerja di Morowali, kini redup. Dulu, selama enam bulan ia bekerja di kawasan hilirisasi nikel dengan gaji yang bisa membuat kami sedikit bernapas lega. Tapi setelah kontraknya berakhir, ia kembali ke Bandung dan hanya bisa bekerja sebagai cook helper di sebuah kafe. Gajinya? Rp50.000 per hari. Untuk keluarga tujuh orang, angka itu ibarat setetes air di tengah padang pasir.
Ironisnya, negeri ini begitu kaya. Tanahnya luas, sumber dayanya melimpah, nikel dan tambang diolah siang dan malam. Tapi ke mana semua kekayaan itu mengalir? Yang jelas bukan ke dapur-dapur rakyat jelata seperti kami. Bukan juga ke tangan anak-anak muda yang rela bekerja keras demi keluarga, seperti anakku.
Saking pilunya, kadang terlintas di benakku: andai saja anakku bisa bekerja di Australia, menjadi pemetik buah seperti Merianti dari Pontianak.
Merianti adalah perempuan muda lulusan manajemen yang memutuskan meninggalkan pekerjaan kantoran dan berangkat ke Australia sebagai pemetik buah. Ia bekerja dari pukul lima pagi hingga sore, dan menerima upah sekitar Rp300.000 per jam. Dalam sebulan, ia mampu menabung hingga puluhan juta rupiah. Sementara ketika bekerja di Indonesia, ia merasa usahanya tak pernah cukup untuk menutupi biaya hidup yang terus melonjak (kompas.com, 28-6-2025).
Ia tidak pergi untuk pamer. Ia pergi karena ingin dihargai. Karena di negeri sendiri, kerja keras tak sebanding dengan upah yang diterima.
Apakah pantas pemuda-pemudi pekerja keras seperti anakku dan Merianti diperlakukan seperti ini di tanah kelahirannya sendiri?
Negeri yang Miskin Penghargaan terhadap Tenaga Muda
Anakku bukan satu-satunya. Ada jutaan pemuda lain yang bernasib serupa. Ijazahnya dibungkam oleh sistem. Tenaganya dianggap murah oleh pasar. Semangatnya perlahan padam karena negeri ini terlalu mahal untuk dihuni, tapi terlalu miskin dalam memberi harapan.
Mereka tidak malas. Mereka tidak manja. Mereka bekerja keras. Tapi mereka hidup dalam sistem yang tak berpihak kepada rakyat. Pendidikan mahal, lapangan kerja langka, harga kebutuhan melonjak. Sementara kekayaan negeri ini justru dikuasai segelintir elite, atau dijual murah kepada asing.
Sistem Kapitalisme telah menjadikan manusia sekadar angka. Negara bukan lagi pelayan rakyat, melainkan penyedia ruang bagi investor. BBM dijual dengan logika pasar. Rakyat disuruh berhemat, disuruh bersabar. Tapi para pejabat tak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya hidup dari sisa nasi semalam.
Padahal Islam telah mengajarkan prinsip mendasar: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Api dalam hadits itu, hari ini dapat kita maknai sebagai energi listrik, gas, hingga BBM. Artinya, ini bukan komoditas yang boleh diperjualbelikan oleh negara untuk keuntungan. Ini milik bersama, dan harusnya dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan umat.
Allah Swt. pun menegaskan dalam firman-Nya yang artinya, "Kemudian jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
(TQS. Al-Anfal: 40)
Jika negara berpaling dari tugasnya, hendaknya umat tidak diam. Kita perlu kembali kepada aturan yang menyejahterakan, bukan sistem yang mengorbankan.
Solusi Islam Kafah: Negara Pelayan Rakyat
Islam memandatkan negara untuk menjamin lima kebutuhan dasar rakyat: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan pekerjaan. Energi dan sumber daya alam bukan milik penguasa atau korporasi, melainkan amanah publik yang wajib dikelola negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Dalam sistem Islam (Khilafah), BBM tidak akan menjadi komoditas yang harganya naik turun seperti saham. Ia disediakan murah, bahkan gratis. Negara tidak akan abai pada dapur rakyat. Negara tidak sibuk melayani modal asing, tapi benar-benar menjadi ra'in (pengurus) umat.
Upah tenaga kerja pun akan adil dan manusiawi, mencukupi kebutuhan hidup. Anak-anak muda tak perlu merantau hanya untuk dihargai. Tak perlu ada lagi kisah Merianti yang pergi jauh ke Australia agar bisa menabung. Tak perlu ada lagi anak-anakku yang merasa hidup sebagai pecundang karena tak mampu mencukupi keluarga.
Khatimah
Aku tidak ingin banyak. Hanya ingin melihat anakku tumbuh tanpa beban. Ingin ia pulang kerja dengan senyum, bukan dengan kepala tertunduk. Ingin negeri ini mencintai rakyatnya, bukan hanya menyenangkan investor. Ingin melihat generasi muda mampu mengejar mimpi, bukan sekadar mengejar nasi.
Jika hari ini semua pintu terasa tertutup, maka saatnya membuka pintu baru, yaitu pintu perubahan yang hakiki. Bukan dengan tambal sulam, bukan dengan janji manis, tapi dengan mengganti sistem dari akar.
Karena anakku, Merianti, dan jutaan pemuda lainnya, mereka tidak meminta langit. Mereka hanya ingin dihargai di tanah tempat mereka dilahirkan. Maka siapa lagi yang bisa memperjuangkannya, jika bukan kita sendiri? [ry].
Baca juga:

Masya Allah Tabarakallah Teteh...makjleb ke hati...
BalasHapus