Headlines
Loading...

Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

SSCQMedia.Com—Hari itu, langit Arafah biru tanpa cela. Angin bertiup pelan, seolah ingin ikut menyeka air mata para tamu Allah. Jutaan manusia berkumpul di hamparan padang yang suci. Dari barat hingga timur, dari kulit hitam hingga putih, semua berdiri dalam satu barisan. Tak ada gelar. Tak ada pangkat. Tak ada yang lebih tinggi. Semua mengenakan kain ihram yang sama—putih, sederhana, merendahkan hati.

Seorang laki-laki dari Indonesia berdiri di samping pria Sudan yang tak ia kenal. Di belakangnya, seorang perempuan Turki menangis dalam sujud panjang. Di kejauhan, jemaah Palestina memanjatkan doa dalam bahasa Arab yang nyaris patah oleh isak. Di hari itu, tak ada yang asing. Semua bersaudara. Semua bersatu di hadapan Tuhan yang satu: Allah.

Suara takbir menggema dari segala arah. Tangis pecah. Tangan-tangan terangkat. Hati-hati remuk karena rindu. Inilah wajah umat Islam saat kembali pada fitrahnya. Inilah persatuan yang indah dan tak bisa dibeli dengan apapun. Sebuah momen langka yang menggetarkan jagat raya.

Iduladha Masih Terpecah

Sayangnya, kebersamaan itu hanya singgah sebentar. Ketika jemaah kembali ke tanah air masing-masing, kabar pilu segera menyusul. Hari raya yang seharusnya menyatukan, justru kembali memperlihatkan retakan. Umat Islam kadang berbeda dalam penentuan Iduladha. (beritanasional.com, 16/05/2025).

Lebih jauh dari sekadar tanggal, luka itu menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Umat ini pecah. Perbedaan mazhab, organisasi, dan kepentingan politik terus mencabik tubuh yang semestinya satu. Mereka yang bersujud berdampingan di Makkah, kini saling menyalahkan di media sosial.

Yang lebih memilukan, umat tak kunjung bersatu membela saudaranya yang tertindas. Di Gaza, anak-anak terbunuh setiap hari. Di Uighur dan Rohingya, saudara kita dibungkam. Tapi umat Islam masih sibuk memperdebatkan hal-hal kecil, lupa bahwa darah muslim lain adalah bagian dari tubuhnya sendiri.

Persatuan saat haji seolah hanya ilusi yang indah. Setelahnya, umat kembali pada kebiasaan lama: saling menjauh, saling curiga, saling menuding.

Iduladha: Seruan Taat yang Terlupakan

Iduladha bukan hanya pesta daging dan baju baru. Ia adalah panggilan untuk tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah. Lihatlah Nabi Ibrahim, yang rela menyembelih anaknya sendiri demi ketaatan. Lihatlah Ismail, yang bersedia dikorbankan karena yakin pada takdir Ilahi.

Namun kini, umat hanya taat dalam ibadah pribadi. Mereka salat dan berdoa, tetapi enggan menerapkan syariat dalam kehidupan sosial, ekonomi, atau politik. Syariat Allah hanya dijadikan simbol, bukan sistem hidup. Padahal, Islam adalah petunjuk yang sempurna untuk seluruh aspek kehidupan.

Allah telah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan." (QS. Al-Baqarah: 208)

Solusi Islam

Islam membawa solusi nyata bagi luka ini: satu kepemimpinan global untuk seluruh kaum Muslim. Bukan utopia. Bukan mimpi kosong. Tapi ajaran Rasulullah saw. yang nyata.  Ia adalah perisai, pelindung, dan pemersatu. Di bawahnya, tak akan ada perdebatan soal tanggal. Tak akan ada perbedaan arah perjuangan. Umat Islam akan berhaji bersama, bertakbir bersama, dan berjuang bersama.

Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya Imam adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung padanya." (HR. Muslim)

Umat akan terus berdarah, selama perisai itu belum tegak. Umat akan terus terombang-ambing dan menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuhnya.

Jejak Sejarah yang Terang

Umat ini pernah bersatu. Rasulullah saw. memimpin umat dalam satu komando. Ketika beliau wafat, para sahabat meneruskan tongkat estafet itu. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, mereka memimpin satu umat dalam satu tubuh.

Dulu, dari Andalusia hingga India, kaum Muslim menyambut Iduladha dalam satu takbir. Tak ada perdebatan panjang. Tak ada silang suara. Persatuan bukan slogan, tapi kenyataan.

Dunia kala itu hormat pada Islam, bukan karena kekayaan atau jumlah, tapi karena kekuatan iman dan kesatuan. Dan itu semua lahir dari kepemimpinan Islam yang nyata dan sah.

Tangis Itu Belum Usai

Hari ini, tangis Arafah belum kering. Ia masih menggema di setiap jiwa yang merindukan kebangkitan. Ia masih menyayat dada umat yang sadar bahwa persatuan ini semestinya bukan hanya di tanah suci. Ia harus hidup di setiap negeri. Dalam setiap langkah. Dalam setiap keputusan.

Iduladha seharusnya bukan hanya mengenang pengorbanan. Tapi menjadi titik balik. Sebuah momen untuk kembali bersatu, kembali taat, dan kembali mengangkat panji Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Umat ini tidak kekurangan jumlah. Tidak kekurangan ilmu. Yang kurang hanya satu, yakni kesadaran untuk bersatu dalam satu tubuh, satu arah, dan satu pemimpin. [MA]

Baca juga:

0 Comments: