Oleh. Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
SSCQMedia.Com—Pagi itu, langit Gaza kembali merah. Bukan karena matahari terbit, tapi karena bom yang jatuh tanpa jeda. Asap membumbung tinggi. Bau mesiu bercampur debu dan darah menyesakkan napas. Di tengah reruntuhan itu, seorang anak kecil bernama Rami memeluk jenazah ibunya. Tangannya gemetar. Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia berbisik, “Ummi, kita jadi tidak sahur hari ini, ya?”
Tak jauh dari sana, seorang ayah menggali kubur dengan tangannya sendiri. Ia kehilangan tiga anak sekaligus. “Aku tidak punya kafan,” ujarnya pelan, “tapi mereka syahid, Allah pasti menyambut mereka dengan pakaian yang lebih indah.”
Beginilah kehidupan di Gaza. Kematian datang lebih sering dari kehidupan. Tidak ada tempat aman. Tidak ada waktu tenang. Mereka tidak sedang berperang. Mereka sedang dibantai. Ini bukan konflik. Ini genosida.
Di Tanah Damai, Sebuah Pernyataan Membelah Luka
Ribuan kilometer dari Gaza, sebuah pernyataan keluar dari mulut seorang pemimpin. Ia berkata, “Indonesia bisa mengakui Isr4el, asalkan Palestina merdeka.” (cnnindonesia, 30/5/2025).
Sekilas terdengar adil. Kedengaran diplomatis. Tapi tidak bagi rakyat Palestina, itu seperti menancapkan pisau pada luka yang belum mengering.
Apa makna kemerdekaan Palestina jika harus dibayar dengan pengakuan atas penjajahnya? Bagaimana bisa kita bicara damai dengan pelaku genosida?
Narasi Dua Negara
Solusi dua negara adalah narasi lama. Narasi yang digagas Amerika dan Inggris. Narasi yang selalu menjanjikan kedamaian, tetapi tak pernah menepati.
Isr4el terus melanggar perjanjian. Tanah Palestina terus direbut. Rumah dihancurkan. Masjid dibakar. Anak-anak ditembak saat bermain. Bahkan perempuan hamil pun tidak luput dari peluru. Kita harus jujur bahwa solusi dua negara adalah ilusi.
Sejarah yang Dikhianati
Ketika Umar bin Khattab membebaskan Palestina, ia tidak membawa proposal damai. Ia membawa keadilan. Ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Yerusalem, ia tidak duduk di meja diplomasi. Ia berdiri di medan jihad.
Mereka tidak berunding dengan penjajah. Mereka tidak menukar darah syuhada dengan pengakuan palsu. Mereka tahu, sesungguhnya kehormatan tidak bisa dibeli dengan kompromi.
Maka ketika hari ini kita bicara tukar guling kemerdekaan, sesungguhnya kita mengkhianati jejak suci itu. Kita menginjak-injak darah para syuhada yang berdoa dari balik puing-puing rumah mereka.
Diplomasi yang Melemahkan, Bukan Menekan
Ada yang berkata, “Ini hanya strategi. Ini untuk menekan Isr4el.” Tapi adakah yang lebih lemah dari tekanan yang tak pernah didengar?
PBB sudah bicara puluhan kali. Dunia sudah bersuara ratusan kali. Tapi zionis tetap membunuh tanpa rasa takut. Maka, mengapa kita percaya bahwa suara kita akan diindahkan jika justru kita membuka jalan normalisasi?
Jika kita negara muslim terbesar saja menyerah, apa yang akan terjadi pada suara-suara yang lebih kecil?
Jalan Islam
Islam tidak tinggal diam terhadap penjajahan. Islam memberi solusi. Bukan solusi basa-basi, tetapi solusi yang pernah menang. Solusi itu bernama jihad. Tapi jihad bukan sekadar angkat senjata. Jihad adalah kesatuan umat. Jihad adalah kekuatan sistem. Jihad adalah keberanian untuk menyebut musuh sebagai musuh, bukan mitra diplomatik.
Rasulullah saw. tidak meminta pengakuan dari Romawi atau Persia. Tapi dalam 23 tahun perjuangan, beliau membangun kekuatan yang akhirnya menundukkan dua kekuatan terbesar dunia itu.
Dalam sejarah Islam, Khilafah adalah tameng umat. Ia bukan mimpi utopis. Ia pernah ada. Ia pernah melindungi. Ia pernah membebaskan Palestina. Ia juga bisa melakukannya lagi.
Allah berfirman, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 193). Ayat ini bukan untuk masa lalu. Ini akan terus abadi untuk setiap generasi yang mencintai keadilan dan membenci penjajahan.
Akhir Kisah, di Antara Darah dan Doa
Kembali ke Gaza. Rami kini sendirian. Tapi ia masih membawa harapan. Ia menuliskan sepucuk surat kecil. Ia berkata:
"Jika kalian tidak bisa mengirim senjata, kirimkan doa. Tapi jika kalian bahkan tak bisa menjaga prinsip dan mulai mengakui pembunuh kami, lebih baik kalian diam. Sebab diam lebih terhormat daripada pengkhianatan yang dibungkus diplomasi."
Suara Rami mungkin kecil. Tetapi ia mengetuk nurani setiap jiwa yang masih hidup. Palestina bukan isu politik. Palestina adalah ujian kemanusiaan. Dan sejarah tidak akan lupa siapa yang berdiri dan siapa yang memilih menjualnya. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: