Headlines
Loading...
Sepotong Khimar dan Kehormatan yang Terinjak

Sepotong Khimar dan Kehormatan yang Terinjak


Oleh. Ummu Fahhala 
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

SSCQMedia.Com—Di suatu sudut kota kecil yang tenang, seorang ibu duduk bersama putrinya di ruang tamu. Mata si ibu nanar menatap layar televisi yang menayangkan berita, presiden dari negara yang telah melarang kerudung (khimar) kini tengah disambut dengan penuh kehormatan dan kehangatan di negeri muslim ini (Kompas, 28/05/2025). Iring-iringan mobil mewah, senyuman para pejabat, dan jabat tangan hangat tampak menghiasi layar kaca. 

Putrinya yang masih dalam keadaan berseragam sekolah bertanya pelan, “Bu, bukankah itu negara yang melarang muslimah memakai hijab di sekolah? Tapi kenapa mereka disambut seperti tamu agung di sini?”

Sang ibu terdiam. Tangannya refleks membenarkan kerudung di kepalanya. Dalam hening itu, hatinya remuk. Bukan karena kunjungan itu semata, melainkan karena luka yang pernah ditorehkan pada identitasnya––kerudung yang ia kenakan dengan penuh cinta––tetapi dianggap ancaman oleh sebagian dunia.

Ketika Diplomasi Mengaburkan Luka

Di balik meja-meja bundar dan senyum diplomatik, ada kisah pilu yang nyaris dilupakan. Tentang gadis-gadis kecil di Prancis yang harus memilih antara pendidikan dan keyakinan. Tentang muslimah yang dicaci karena hanya ingin menutup aurat. Tentang keluarga yang trauma karena simbol agamanya dipermalukan di depan umum.

Namun, dunia bergerak dengan logika yang dingin. Diplomasi ekonomi, kerja sama bilateral, investasi lintas negara, semuanya begitu menggoda. Maka, datanglah para pemimpin dari negeri-negeri yang dulu menyakiti, dan mereka disambut dengan karpet merah. Dalam berbagai pemberitaan, terlihat jelas bahwa kunjungan Macron bukan sekadar simbolik, melainkan penguatan kerja sama bilateral—bahkan di bidang seperti sapi dan sawit–– (MetroTVNews,  29/05/2025). 

Tak terdengar satu pun ungkapan duka, apalagi protes. Tak ada satu pun pernyataan tegas atau kritis terhadap kebijakan islamofobia yang selama ini menjadi ciri khas Prancis. Padahal, menurut laporan SINDOnews,  28/05/2025, Prancis masuk dalam daftar negara paling anti Islam di dunia. Tak ada sepatah kata pun yang mewakili air mata para muslimah yang dihina karena keyakinannya. Seolah luka itu tak pernah ada. Seolah kehormatan umat bisa disimpan di lemari, dan digantikan dengan kontrak dagang yang bernilai tinggi. 

Islam Bukan Agama Dendam, tapi Juga Bukan Agama Lupa

Islam mengajarkan kasih, kebaikan, dan keadilan. Berbuat baik kepada siapa pun yang tidak memerangi manusia karena agama, justru diperintahkan Allah Swt. Tapi, Allah juga memperingatkan, jangan jadikan teman dekat orang-orang yang terang-terangan memusuhi agamamu.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama….” (QS. Al-Mumtahanah: 8).

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman orang-orang yang memerangimu karena agama….” (QS. Al-Mumtahanah: 9).

Ini bukan perintah untuk membenci, melainkan perintah untuk bijaksana. Ada luka yang tak boleh diabaikan. Ada martabat yang harus dijaga. Sebab jika bukan pemimpin kita yang bersuara, siapa lagi yang akan melindungi kehormatan umat ini?

Jejak Para Pemimpin yang Menjaga Marwah Islam

Dulu, saat dua kekaisaran besar—Romawi dan Persia—mengancam Islam, Rasulullah saw. tidak menyambut mereka dengan jamuan mewah. Beliau mengirim surat peringatan dan menguatkan barisan umat. Bukan untuk perang, tetapi untuk menjaga harga diri dan kehormatan Islam.

Khalifah Umar bin Khattab tidak tunduk kepada tekanan dunia. Khalifah Abdul Hamid II bahkan rela kehilangan segalanya, asalkan tidak menjual tanah suci Palestina kepada musuh Islam, meskipun ditawarkan emas yang melimpah. Mereka bukan sempurna, tapi mereka tahu satu hal, kehormatan Islam tidak bisa dinegosiasikan.

Harapan dari Sebuah Doa Sunyi

Si ibu kembali ke ruang tamu itu, sambil menarik napas dalam-dalam. Ia memeluk putrinya dan berkata lirih, “Nak, hijabmu adalah kehormatan. Mungkin hari ini kita tidak punya pemimpin yang membelamu, tapi jangan pernah ragu untuk tetap bangga mengenakannya. Allah melihatmu. Dunia mungkin menolakmu, tapi surga sedang merindukanmu.”

Air mata mengalir tanpa suara. Bukan air mata kemarahan, tetapi air mata kerinduan akan pemimpin yang berdiri tegak di atas prinsip. Seorang pemimpin yang ketika menjabat tangan tamu asing, hatinya tetap menggenggam kehormatan umat.

Penutup

Kehormatan tidak selalu dirampas dengan pedang. Kadang ia terkikis oleh diam, oleh sambutan yang terlalu ramah kepada mereka yang tak pernah benar-benar meminta maaf.

Namun harapan belum padam. Selama masih ada yang menangis karena cinta kepada Islam, selama masih ada yang merenung di malam hari dan berdoa untuk kebangkitan umat, maka cahaya itu masih ada.

Kita tidak sedang kalah. Kita hanya sedang terluka. Dan setiap luka, jika dirawat dengan kesadaran dan iman, bisa menjadi alasan untuk bangkit.

Semoga suatu hari nanti, pemimpin-pemimpin kita bukan hanya menandatangani kerja sama, tetapi juga menandatangani sejarah baru, yakni sejarah keberanian, harga diri, dan cinta sejati pada agama ini. [An]

Baca juga:

0 Comments: