Headlines
Loading...
Sengketa 4 Pulau, Buah Sistem Pemerintahan Kapitalis

Sengketa 4 Pulau, Buah Sistem Pemerintahan Kapitalis

Oleh. Indah Ershe 
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Kabar perpindahan status wilayah Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang dari Aceh ke Sumatera Utara, disebut sebagai ujung dari faktor politik, yaitu hadiah untuk Gubenur Sumut yang jabatannya saat ini dipangku oleh menantu dari Presiden RI ke-7 Joko Widodo.

Kementrian Dalam Negeri, membantah berita tersebut melalui pernyataan Wakil Menteri Dalam Negeri Arya Bima, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat kepada awak media. Arya Bima mengatakan, “Sangat tidak benar. Tidak ada kepentingan apa pun selain menjalankan tugas negara.”

Beliau juga mengklaim perpindahan administrasi keempat pulau tersebut, dilakukan hanya untuk menentukan batas wilayah masing-masing propinsi. (CNN Indonesia, 14/06/2025)

Lagi-lagi, negara yang menjunjung tinggi nasionalisme ini, dihebohkan oleh polemik perebutan empat pulau yang selama ini  secara historis telah diakui masuk ke dalam wilayah Aceh.

Polemik empat pulau ini mencuat usai status administratifnya diputuskan Kementrian Dalam Negeri, dengan surat Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.

Keputusan tersebut sontak membuat segenap elemen di Aceh, mulai dari pemerintahan, legislatif, sampai masyarakat memprotesnya. Tidak berhenti di Aceh, jajaran pejabat pemerintahan negara turut memberi respon terhadap keputusan mendadak dari Menteri Dalam negeri.

Salah satunya pernyataan dari mantan wakil presiden Jusuf Kalla, mengenai kepemilikan Aceh atas empat pulau yang kini menjadi polemik.

Dalam konferensi pers di kediamannya, Jumat 14 Juni 2025, Jusuf Kalla menyinggung poin-poin perjanjian Helsinki tahun 2005 yang menjadi landasan perdamaian antara pemerintah RI dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka, berisi tentang perbatasan wilayah Aceh . Dasar hukumnya adalah UU nomor 24 tahun 1956 perihal pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut yang disahkan Presiden Soekarno.

Sehari kemudian muncul bantahan dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Perjanjian Helsinki mau pun UU tahun 1956 tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan hak milik atas empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara.

Pemerintah pusat belum mengambil keputusan status kepemilikan sah empat pulau, apakah masuk ke dalam wilayah Aceh atau Sumatera Utara. Penentuan batas wilayah daerah termasuk dalam kewenangan Menteri Dalam Negeri yang dituangkan dalam Permendagri.

Yusril menjelaskan pemerintah daerah Sumatera Utara mengajukan usul mengenai pemberian kode wilayah, inilah yang menjadi dasar peraturan menteri dalam negeri yang sudah dikeluarkan oleh Mendagri Tito Karnavian. Jadi peraturan tersebut hanya mengatur pengkodean wilayah empat pulau, bukan menjadi dasar hukum yang menetapkan kepemilikan.

Jika kedua tokoh pemerintahan di atas mengemukakan pendapat dengan menyertakan landasan hukum. Sementara berbagai opini pun muncul dari kalangan politisi, akademisi, ulama, tokoh masyarakat, sampai ke masyarakat awam dari berbagai kalangan hingga mencuat pendapat yang paling kuat, bahwa sengketa empat pulau terjadi karena potensi kekayaan migas yang ada di dalamnya.

Menyikapi polemik yang meluas, Presiden Prabowo segera mengelar rapat bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubenur Sumut Bobby, Gubenur Aceh Muzakir, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco.

Hasil dari rapat tersebut Presiden Prabowo memutuskan status Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk ke wilayah Provinsi Aceh berdasarkan dua dokumen yang menjadi landasan hukum, yakni :  Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Sumut dan Pemda Aceh tahun 1992, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada 24 November 1992.

Akhir cerita sementara sengketa empat pulau ini,  Tito Karnavian dalam konferensi pers Selasa 17 Juni 2025 memastikan akan merevisi kemendagri yang telah dikeluarkan.

 
Demikianlah drama politik kekuasaan dengan lakon para pemangku jabatan negara, terbiasa kita saksikan. Inilah akibat dari penerapan sistem pemerintahan berideologi kapitalis, yang meninggikan kepentingan masing-masing daerah, demi paling disebut paling berkuasa atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Terbukti bagaimana mungkin reaksi rakyat tidak timbul jika belum ada peraturan yang terbit, seperti dalih yang dikatakan oleh Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Lantas dasar hukum yang dikemukakan Jusuf Kalla, tidak pula dijadikan landasan hukum yang akhirnya membuat Mendagri merevisi keputusannya sendiri. Justru ditemukan fakta baru, yakni adanya UU tahun 1992 yang sebelumnya belum pernah terungkap ke ranah publik.

Inilah salah satu dampak penerapan sistem negara berideologi kapitalis,  yakni munculnya ikatan kemaslahatan yang bersifat temporal (sementara).

Selain itu, di sana ada peluang tawar menawar dalam mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar, sehingga apabila telah ditentukan maka berakhirlah ikatan yang menyatukan pihak yang terkait di dalamnya. 

Demikianlah ciri khas ideologi kapitalis di mana setiap peraturan perundang-undangan negara dibuat oleh manusia-manusia yang tengah duduk di bangku pemerintahan, sehingga selalu membuka peluang meluaskan ambisi demi kepentingan golongan penguasa elite politik negeri beserta jajarannya.

Pengelolaan SDA dalam Islam

Islam tidak menjadikan otonomi daerah sebagai sistem dalam bernegara, melainkan menggunakan sistem sentralisasi yang hanya memiliki satu pusat kewenangan dalam mengatur jalannya roda pemerintahan. Peraturan yang diterapkan bukan berdasarkan undang-undang yang lahir dari pemikiran manusia, seperti asas yang dijunjung tinggi idelogi kapitalis. Satu-satunya peraturan yang diberlakukan secara menyeluruh dalam bernegara bersumber dari hukum syarak yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Seperti dalam sengketa empat pulau ini, Islam memiliki peraturan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya alam di mana potensi kekayaan alam tersebut harus dapat dimanfaatkan secara adil untuk seluruh rakyat Indonesia bukan hanya segelintir rakyat yang ada dalam Provinsi Aceh. Begitu pula dengan potensi kekayaan alam yang ada di Provinsi lain, akan mendapat perlakuan yang sama sebab bersumber hukum satu yakni hukum syarak dari Allah pemilik bumi dan seisinya.

Selama idelogi kapitalis menguasai sistem pemerintahan suatu negara, maka pola yang sama akan terus berulang, siapa pun tokohnya, di mana pun penerapannya. Selalu akan terbuka celah yang membuat masing-masing daerah, suku, bangsa, dan negara untuk menjadi paling berkuasa, paling kaya, paling disegani. Inilah tanda pola pikir sebagian besar manusia merosot, terutama bagi umat muslim yang tidak lagi menjadikan Islam sebagai kepemimpinan dalam berpikir.

Sesungguhnya bagi seorang muslim, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan kembali kehidupan Islam yakni dengan mengemban qiyadah fikriyah Islam secara total, sehingga  Islam dapat secara sempurna terwujud di suatu negeri, sampai kejayaan Islam kembali bangkit hingga ke penjuru dunia.

Waallahu alam bisshawab. []

Baca juga:

0 Comments: