Headlines
Loading...
Realpolitik Mesir, Mengorbankan Palestina?

Realpolitik Mesir, Mengorbankan Palestina?

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Aksi solidaritas yang berisi ribuan aktivis dari lebih dari 80 negara, dengan tujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan memprotes blokade Israel atas Gaza ini dihentikan paksa di perbatasan Mesir. Dalam proses tersebut, lebih dari 200 orang diinterogasi, puluhan di antaranya ditahan dan tak sedikit yang akhirnya dideportasi kembali ke negara asal mereka.

Ironisnya, meski pun Mesir secara verbal mengecam blokade Gaza, tindakannya ini justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang. Tekanan dari Israel, yang secara terang-terangan melabeli para aktivis tersebut sebagai “jihadis,” tampaknya sangat memengaruhi respons otoritas Mesir. Tak hanya itu, ancaman intervensi militer oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) jika demonstrasi tersebut berhasil mencapai perbatasan, yang disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan Israel, Benny Gantz, membuat Mesir semakin tunduk pada tekanan politik dan keamanan dari negara tersebut, (Metrotvnews.com, 13/6/2025). Situasi ini memperlihatkan betapa Mesir lebih memilih memelihara hubungan strategis dengan Israel daripada menunjukkan solidaritas nyata kepada Palestina.

Meski Mesir mungkin mengklaim bahwa tindakannya semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dan alasan keamanan, kenyataannya hal tersebut lebih mencerminkan praktik realpolitik yang pragmatis. Prioritas utamanya adalah menjaga hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel serta Amerika Serikat, mitra strategis penting bagi Mesir. Terlebih normalisasi hubungan Mesir-Israel pasca perjanjian Camp David pada 1978, yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, membawa berbagai keuntungan signifikan, bukan hanya peningkatan keamanan melalui penarikan pasukan Israel dari Sinai, tetapi juga bantuan ekonomi besar, investasi, hingga peran Mesir dalam diplomasi regional. Namun, semua keuntungan tersebut harus ditebus dengan konsekuensi berupa pengkhianatan Mesir terhadap perjuangan Palestina.

Sementara kapitalisme menimbulkan ketergantungan ekonomi yang signifikan, hal tersebut dapat dilihat dari struktur kekuasaan dan elit politik-ekonomi Mesir yang memperkokoh status quo tersebut, di mana kepentingan pribadi dan kelompok seringkali bertentangan dengan dukungan masyarakat terhadap Palestina. Semua itu merupakan konsekuensi dari paham nasionalisme yang menekankan kepentingan negara dan secara inheren mengutamakan kepentingan internal di atas kepentingan umat. Oleh karena itu, ketidakmampuan Mesir membela Palestina secara efektif mencerminkan kompleksitas yang menyatukan kepentingan nasional, nilai kemanusiaan, dan realpolitik internasional.
Hal ini membuktikan bahwa prioritas ekonomi sebagai bawaan dari sistem kapitalisme, sering kali mengalahkan solidaritas Islam yang sejatinya menjadi landasan dalam mendukung kemerdekaan dan keadilan bagi Palestina.

Melihat kompleksitas dan dinamika yang tengah berlangsung, tidak cukup hanya memahami situasi ini dari sudut pandang kepentingan nasional semata. Penting untuk meninjau kembali model kepemimpinan dan struktur politik yang pernah ada, guna menggali wawasan lebih luas tentang bagaimana respons yang lebih optimal dapat diwujudkan menghadapi tantangan kemanusiaan dan geopolitik seperti masalah Palestina. Dalam kerangka sistem Islam, Khil4fah menawarkan perspektif berharga sebagai alternatif yang layak dipertimbangkan.

Perbandingan dengan Sistem Khil4fah

Secara historis, sistem Khil4fah menunjukkan keberhasilan luar biasa dalam menyatukan wilayah luas di bawah kepemimpinan tunggal yang kokoh. Hal ini sangat kontras dengan sistem negara-bangsa modern yang cenderung terfragmentasi dan dikuasai oleh kepentingan nasional sempit masing-masing negara. Dalam Khil4fah, umat Islam dipersatukan dalam kepemimpinan terpadu, yang memungkinkan respons politik, ekonomi, dan sosial yang lebih terkoordinasi serta efektif, termasuk dalam menghadapi genosida yang menimpa Palestina. Tidak ada pembagian kepentingan nasional terpisah sebagaimana yang sering mewarnai hubungan antarnegara Arab dewasa ini. Sehingga dukungan dan pembebasan Palestina menjadi panggilan bagi seluruh umat Islam, bukan hanya beban satu negara semata.

Selain itu, Islam memandang nasionalisme sebagai paham jahiliyah yang memecah belah umat,  merupakan warisan penjajahan Barat dan Timur, dan sejalan dengan kapitalisme sekuler dan sosialisme-komunisme. Karena sebaliknya, Islam menegaskan pentingnya ukhuwah (persaudaraan), sehingga penderitaan seorang Muslim sekali pun, terlebih seperti yang dialami Palestina atau negeri Muslim lainnya dapat dirasakan oleh seluruh umat.

Oleh karena itu, memberikan pertolongan kepada Palestina bukan sekadar tindakan kemanusiaan, melainkan kewajiban agama yang harus menjadi prioritas utama, yang tak boleh dipengaruhi pertimbangan pragmatis seperti hubungan diplomatik atau keuntungan ekonomi. Dalam konteks ini, tindakan otoritas Mesir yang menahan aktivis kemanusiaan tidak akan terjadi jika sistem Khil4fah diterapkan. Karena prioritas dalam sistem tersebut adalah mendukung dan menolong saudara seiman yang sedang mengalami penindasan.

Selain aspek ideologis, sistem Khil4fah juga dikenal dengan kekuatan militer dan ekonomi yang dimilikinya. Kekuatan ini bukan sekadar angka atau aset materi semata, melainkan merupakan sumber daya kolektif yang digunakan secara strategis untuk mencapai tujuan bersama, khususnya dalam menghadapi tantangan politik dan sosial di kancah internasional. Selain itu dalam perspektif Islam perang atau jihad diperkenankan dan bahkan diwajibkan apabila dilakukan dalam rangka membela diri dari penindasan dan agresi yang tidak adil.

Sebagaimana yang terjadi saat ini di Palestina, perjuangan membela tanah dan rakyat Palestina yang tertindas memiliki dasar yang kuat karena konflik tersebut berakar pada penjajahan oleh Zionis Yahudi yang mengklaim dan menduduki wilayah Palestina secara tidak sah. Dengan demikian, jihad bukanlah tindakan agresif tanpa alasan, melainkan upaya suci untuk melindungi diri, tanah, dan hak-hak yang diambil paksa oleh pihak lain. Ini sekaligus manifestasi ajaran mulia Islam yang mengedepankan perlindungan terhadap kehidupan, martabat, dan hak asasi manusia.

Lebih dari itu, kepemimpinan dalam sistem Khil4fah ditandai oleh keteguhan, konsistensi, dan tanggung jawab mendalam di hadapan Allah Swt., sehingga pemimpin dalam sistem Islam memiliki kemampuan mengambil keputusan tegas tanpa terjebak kepentingan politik domestik maupun tekanan kekuatan luar dengan agenda tersembunyi. Termasuk dalam menghadapi konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun, Khil4fah akan bersikap tegas dan bertindak nyata, didukung kebijakan luar negeri yang terarah dan efektif dalam mempertahankan hak serta kepentingan Palestina. Oleh sebab itu, kehadiran Khil4fah sebagai institusi kepemimpinan yang berorientasi pada Al-Qur’an dan Sunah merupakan kunci utama yang tidak hanya memperkuat posisi Islam dan umatnya di pentas dunia, tetapi juga mempercepat proses pembebasan Palestina. Wallahu’alam bisshawab. [MA]

Baca juga:

0 Comments: