Headlines
Loading...

Oleh. Ummi Fatih
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Kalimat indah bahwa Indonesia adalah negeri kaya raya di bawah garis Khatulistiwa sudah sering kita dengar. Sejak duduk di bangku sekolah, generasi muda kerap disuguhi narasi bahwa negeri ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Namun, mengapa semua hal yang indah itu terasa hanya sebagai slogan belaka, jauh dari kenyataan yang bisa dinikmati masyarakat?

Contohnya terlihat dalam kasus pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat, yang saat ini sedang menjadi sorotan publik. Tanah Ambar yang menyimpan potensi kekayaan alam luar biasa, ternyata sejak lama justru dinikmati oleh segelintir pengusaha lewat izin resmi negara atas nama kontrak kerja.

Perusahaan tambang PT GAG Nikel diduga telah melakukan pelanggaran hukum lingkungan sejak lama, bahkan sejak awal beroperasi tahun 1998. Lebih ironis lagi, pada tahun 2017, meskipun perusahaan tersebut sudah mengantongi analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang menunjukkan risiko nyata terhadap alam dan masyarakat, pemerintah tidak kunjung bertindak melindungi warga, dan justru membiarkan eksploitasi tetap berjalan (cnnindonesia.com, 10-6-2025).

Sebenarnya, akar dari masalah ini terletak pada ideologi Kapitalisme yang dijadikan pijakan dalam mengelola kekayaan negeri. Sistem ini menekankan keuntungan materi sebagai tujuan utama, sehingga hukum dan kebijakan negara pun rawan dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Pengusaha menjadi ‘raja’ di balik layar kekuasaan, sementara penguasa menjadi ‘prajurit’ penjaga kepentingan mereka.

Seperti dalam kasus PT GAG Nikel, meskipun pelanggaran hukum sudah jelas terjadi, solusi yang diambil pemerintah hanya sebatas moratorium sementara, bukan penghentian permanen. Hukum tidak dirombak secara tegas agar lingkungan kembali subur dan masyarakat bisa hidup sejahtera. Ini menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap rakyat dan alam.

Sangat kontras bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan Khilafah Islamiah, di mana seluruh aspek kehidupan diatur sesuai petunjuk Allah Swt. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Mengetahui segala ciptaan-Nya. Dalam Islam, terdapat konsep hima, yaitu proteksi kawasan untuk kemaslahatan umat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. bersabda:
"Tidak ada hima (proteksi kawasan) kecuali yang merupakan hak Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari)
Maknanya, harta milik umum hanya boleh dikelola oleh negara untuk kepentingan jihad, membantu fakir miskin, dan kemaslahatan umat secara luas, bukan untuk kepentingan bisnis swasta.

Dalam sejarahnya, Rasulullah saw. pernah menetapkan kawasan Naqi‘ sebagai hima bagi unta-unta kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pun melanjutkan kebijakan itu dengan meng-hima padang rumput untuk hewan zakat, serta menugaskan Abu Salamah untuk mengelolanya. Begitu pula Khalifah Umar bin Khattab ra. yang mempekerjakan Hunaiy untuk mengelola kawasan proteksi serupa.

Praktik ini menunjukkan bahwa dalam sistem Khilafah, tanah-tanah milik umum dikelola berdasarkan asas keadilan dan tanggung jawab. Tidak setiap individu bebas memanfaatkannya, baik ia muslim maupun non-muslim. Semua diatur demi kepentingan kolektif, bukan keuntungan pribadi.

Oleh karena itu, jika Indonesia benar-benar ingin menjadi negeri yang rakyatnya sejahtera dan lingkungannya terjaga, maka sistem pengelolaan kekayaan alam harus berubah secara mendasar. Bukan hanya dengan menambal undang-undang, tapi dengan mengganti paradigma: dari kapitalistik yang eksploitatif menjadi sistem yang adil, amanah, dan berpihak pada rakyat serta lingkungan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para Khalifah setelahnya. [ry]

Baca juga:

0 Comments: