Headlines
Loading...
Polemik Rebutan Pulau, Buah Sistem yang Kacau

Polemik Rebutan Pulau, Buah Sistem yang Kacau

Oleh. Dwi Maria
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Di tengah gegap gempita janji desentralisasi dan otonomi daerah, ironi kembali menyeruak dari ujung barat Indonesia, yakni kabar tentang lenyapnya empat pulau di Provinsi Aceh. Empat pulau tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek yang selama ini diakui dan dikelola oleh kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Provinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

Anggota DPR asal Aceh yaitu Muslim Ayub, meyakini polemik kepemilikan 4 Pulau antara provinsi Aceh dan Sumatera Utara berkaitan dengan potensi kandungan migas dan SDA lainnya  dan  bukan sekadar sengketa administratif, melainkan mencerminkan persoalan yang lebih mendasar terkait sistem pengelolaan pemerintahan daerah yang menggunakan pendekatan otonomi daerah (OTDA).

Akar Persoalan

Dalam praktiknya, otonomi daerah seringkali membuka celah konflik kewenangan antar wilayah terutama jika menyangkut wilayah strategis atau kaya sumber daya alam. Sistem ini sendiri lahir dari kerangka berpikir Demokrasi sekuler Kapitalis yang berkembang di barat pasca revolusi industri dan proses modernisasi pemerintahan. Otonomi daerah dipandang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi lokal dalam pemerintahan. Namun dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, sistem ini sering menghadirkan masalah baru. Alih-alih memperkuat keadilan dan pemerataan, justru sering memunculkan konflik kepentingan, tarik-menarik kekuasaan, serta eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan.

Dalam kasus Aceh yang memiliki status otonomi khusus, pengalihan wilayah ini dianggap mencederai  desentralisasi itu sendiri. Masyarakat merasa hak-haknya diabaikan dan kepentingan strategis daerah dikalahkan oleh keputusan pusat yang terkesan sepihak dan tidak transparan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem otonomi daerah yang diadopsi dari model Barat hanya dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan jangka pendek, bukan untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Sistem otonomi daerah juga memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akibatnya muncul perbedaan kesejahteraan antar wilayah, terutama antara daerah yang kaya sumber daya alamnya seperti migas dan daerah yang miskin potensi. Ketimpangan ini memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik, seperti yang terjadi dalam kasus pengalihan pulau dari Aceh ke Sumatera Utara.

Dugaan terdapatnya kandungan migas menjadikan perebutan wilayah sebagai sesuatu yang wajar dalam sistem otonomi daerah. Ketidakmerataan kesejahteraan juga dapat menjadi ancaman terjadinya disintegrasi. Kita tak bisa terus berharap pada sistem yang jelas rusak dan merusak.

Sistem Islam terbukti mensejahterakan, karena sistem Islam menggunakan sistem sentralisasi yang jelas berbeda. Di mana pengelolaan sumber daya dan pembangunan lebih merata karena berada di bawah kendali pusat. Hal ini hanya ditemukan dalam sistem Islam kafah yang diterapkan di bawah naungan Daulah Khilafah. Dalam pandangan Islam, pengelolaan wilayah negara dilakukan secara sentralistik di bawah kepemimpinan Khalifah atau kepala negara dalam negara Khilafah, yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat tanpa membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya.

Islam tidak mengenal konsep otonomi daerah seperti dalam sistem sekuler Demokrasi yang membagi kewenangan secara bebas kepada masing-masing wilayah. Sebaliknya, seluruh urusan pemerintahan termasuk pengelolaan sumber daya alam dan pendistribusiannya diatur oleh pemerintah pusat berdasarkan syariat Islam. Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya  kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri, tidak tergantung bumi atau pendapatan daerah masing-masing.


Negara wajib mengelola seluruh kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, laut, dan hutan sebagai milik umum (milkiyah amah) yang hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Daud).

Hadis ini menjadi dasar, bahwa sumber daya alam  strategis tidak boleh dimiliki individu atau dikuasai daerah tertentu. Melainkan harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh umat. Dengan sistem ini, Islam mampu mencegah kecemburuan sosial antar wilayah, menghindari ketimpangan pembangunan, dan menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya secara adil dan merata. Tanpa tergantung pada lokasi geografis atau kekayaan alam daerah tempat tinggalnya. Inilah keunggulan sistem sentralistik dalam Islam yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan bersama.

Negara dalam sistem Islam, berkewajiban berlaku adil dan amanah dalam mengurus seluruh urusan rakyatnya tanpa memandang perbedaan suku daerah ataupun tingkat ekonomi. Hal ini karena Islam menetapkan bahwa penguasa adalah raa’in (penggembala) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya.

Penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan, dan keadilan, serta akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt., atas setiap amanah kepemimpinan yang diembannya.

Rasulullah saw. bersabda, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan dasar ini penguasa dalam Islam tidak boleh bertindak zalim dan memihak kepentingan kelompok tertentu, atau membiarkan kesenjangan dan ketidakadilan terjadi di antara rakyat. Sebaliknya ia wajib mengupayakan distribusi kekayaan yang adil sesuai syariat Islam, pelayanan publik yang merata, serta menjamin kebutuhan asasiah setiap warga negaranya, karena tugasnya adalah mengurus umat dengan penuh tanggung jawab di hadapan Allah.

Hanya sistem Islam yang menerapkan sentralisasi kekuasaan berbasis syariat yang mampu menjamin keadilan, kesejahteraan merata, dan perlindungan hak seluruh rakyat.
Wallahu a'lam bissawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: