Oleh. Ummu Anjaly (Pegiat Literasi)
SSCQMedia.Com—Penyelenggaraan ibadah haji 2025 diwarnai kekacauan yang meluas, sebuah gambaran yang digambarkan oleh media massa sebagai "kacau balau" dan didukung oleh berbagai fakta di lapangan. Permasalahan ini bukan hanya sekadar ketidaknyamanan, tetapi juga menyangkut keselamatan dan kekhusyukan ibadah jemaah.
Kisruh bahkan sudah dimulai sebelum pelaksanaan ibadah haji. Seorang calon haji dari Bandung, Heri Kiswanto, harus dipulangkan ke Indonesia setibanya di Bandara Jeddah karena pembatalan visa. Hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam proses administrasi sebelum jemaah tiba di Tanah Suci. (riaupagi.com, 9 Juni 2025).
Salah satu masalah paling krusial yang disoroti oleh Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR adalah keterlambatan transportasi. Pada Jumat, 6 Juni 2025, ratusan jemaah haji Indonesia terpaksa berjalan kaki sejauh 6 km menuju Mina setelah menyelesaikan ibadah di Arafah dan Muzdalifah karena ketiadaan bus. (detik.com, 7 Juni 2025).
Sementara itu, jemaah lain harus menunggu bus berjam-jam tanpa kejelasan, bahkan ada yang pingsan karena kelelahan. Kondisi ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan kesiapan dalam penyediaan layanan transportasi vital. (radarbogor.jawapos.com, 6 Juni 2025).
Berbagai Kekacauan di Lapangan
Selain transportasi, Timwas Haji juga menemukan berbagai masalah lain yang mengganggu kelancaran ibadah haji. Ada jemaah yang diusir dari tempat istirahat pada malam hari, jemaah yang tertinggal rombongan, dan keterlambatan distribusi konsumsi. Distribusi petugas haji juga tidak merata, menyebabkan beberapa titik padat jemaah justru kekurangan petugas. Ini menunjukkan lemahnya manajemen lapangan dan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan dasar jemaah.
Di Mina, masalah semakin kompleks. Tenda jemaah haji Indonesia mengalami kelebihan daya tampung, sehingga sebagian jemaah tidak kebagian tempat istirahat. Lebih memprihatinkan lagi, terungkap adanya praktik pungutan liar untuk layanan safari wukuf bagi lansia, disabilitas, dan jemaah berisiko tinggi, padahal layanan ini seharusnya gratis. Hal ini mencerminkan eksploitasi terhadap jemaah yang rentan.
Akar Masalah
Meskipun kebijakan baru pemerintah Saudi, seperti larangan visa non-haji dan konsep syarikah (perusahaan swasta) dalam penanganan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina), dituding sebagai penyebab kekacauan, sebenarnya permasalahan ini juga terkait erat dengan pengurusan haji di Indonesia.
Pemerintah Indonesia dituding tidak menyinkronkan pengaturan kloter keberangkatan dengan pembagian di Arab Saudi, menyebabkan jemaah terpisah-pisah.
Pada momen Armuzna, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada syarikah tanpa ada konsolidasi antar-syarikah. Akibatnya, masing-masing syarikah berjalan sendiri-sendiri dan bahkan saling lempar tanggung jawab terkait pengangkutan jemaah. Hal ini menunjukkan minimnya tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan haji, yang seharusnya menjadi tugas utama negara.
Masalah Berulang dan Indikasi Korupsi
Kisruh penyelenggaraan hajis masalah baru. Pada tahun 2023, akomodasi dan transportasi jemaah haji selama Armuzna tidak terkelola dengan baik, menyebabkan banyak jemaah Indonesia terlantar di Muzdalifah dan kesulitan mendapatkan makanan.
Pada tahun 2024, Timwas Haji menemukan lima masalah krusial: buruknya layanan dasar, ketersediaan toilet, penempatan tenda yang tidak sesuai maktab, dugaan penyalahgunaan alokasi kuota tambahan, dan kenaikan ongkos haji. Timwas Haji menegaskan bahwa masalah yang sama terus berulang setiap tahun, menunjukkan kegagalan penyelenggara untuk belajar dari kesalahan sebelumnya.
Lebih jauh, kisruh ini tidak hanya berwujud buruknya layanan, tetapi juga diwarnai dugaan korupsi dana haji yang menyeret sejumlah menteri agama dari beberapa periode. Said Agil Husin Al-Munawar (2001–2004) terbukti bersalah dalam korupsi Dana Abadi Umat dan dana haji. Suryadharma Ali (2009–2014) terbukti korupsi penyelenggaraan haji 2010–2013. Bahkan, Yaqut Cholil Qoumas (2020–2024) diduga melakukan pengalihan dan jual beli kuota haji.
Karut-marut yang terus berulang setiap tahun menunjukkan bahwa ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan paradigmatis. Kekacauan ini tidak dapat dilepaskan dari lepasnya tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah haji. Semua berakar dari kapitalisasi ibadah haji, di mana negara menyerahkan urusan haji kepada syarikah dengan pengawasan minimal. Syarikah sebagai lembaga swasta cenderung berorientasi pada keuntungan, bukan pada kemaslahatan jemaah. Ketika negara lepas tangan dan syarikah mementingkan keuntungan, jemaahlah yang menjadi korban.
Kapitalisasi ibadah haji ini dianggap sebagai konsekuensi penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Haji tidak dipandang sebagai ibadah wajib yang harus diurus sebaik-baiknya oleh negara, melainkan sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan dan dibisniskan oleh segelintir oknum.
Penyelenggaraan Haji dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, penyelenggaraan haji bukan hanya urusan administrasi dan teknis, melainkan memiliki landasan iman dan takwa. Haji adalah rukun Islam kelima yang wajib bagi muslim yang mampu, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Ali Imran [3]: 97.
Penyelenggaraan ibadah haji seharusnya bertujuan memudahkan jemaah, dengan penyediaan fasilitas seperti penginapan, tenda di Armuzna, transportasi, dan konsumsi. Semua ini adalah tanggung jawab negara, karena dalam Islam, penguasa (raa’in) wajib mengurus semua urusan rakyat dengan baik, termasuk ibadah haji, sesuai sabda Rasulullah SAW: "Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya." (HR Bukhari dan Muslim).
Terkait Armuzna, area ini adalah milik umum. Rasulullah SAW bersabda, "Mina milik orang-orang yang lebih dahulu sampai." (HR Abu Dawud dan Ahmad). Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa Mina adalah milik seluruh kaum muslim. Siapa pun yang lebih dulu menempati suatu bagian di Mina, maka bagian itu menjadi miliknya karena Mina adalah milik bersama.
Mengingat keterbatasan tempat di Armuzna dan antusiasme umat Islam yang besar, pembatasan jumlah jemaah haji akan dilakukan demi keselamatan dan kenyamanan, tanpa ada kepentingan keuntungan materi. Khilafah akan menyiapkan mekanisme, birokrasi, dan layanan premium bagi tamu Allah, dengan orientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan finansial. Dengan demikian, tidak ada kapitalisasi ibadah haji dalam sistem Islam.
Jika pengurusan haji diserahkan kepada penguasa Haramain, hal itu tetap dalam pengarahan dan pengaturan negara Islam, yaitu Khilafah, yang menaungi seluruh wilayah muslim, termasuk Mekkah dan Madinah. Khalifah akan mengarahkan wali (gubernur) kedua kota tersebut untuk menyelenggarakan ibadah haji dan melayani tamu Allah sebaik-baiknya. Khalifah akan menempatkan petugas dalam jumlah yang cukup dan terlatih secara profesional untuk memastikan tidak ada jemaah yang telantar.
Khalifah bahkan akan menyertai jemaah haji untuk memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi. Jika berhalangan, khalifah akan menunjuk pejabat yang mewakilinya.
Untuk memudahkan pelaksanaan haji, Khilafah akan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara, serta menyediakan sarana transportasi seperti pesawat, kereta, bus, dan kapal, sehingga jemaah dapat terangkut tanpa ada yang telantar.
Contoh nyata adalah pembangunan jalur kereta api Hijaz oleh Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1900 Masehi, yang mempersingkat perjalanan haji Damaskus-Madinah dari 40 hari menjadi hanya tiga hari. Khilafah juga menyediakan hewan tunggangan dan tempat penginapan serta makan minum di sepanjang jalan.
Layanan paripurna ini dimungkinkan oleh sistem keuangan negara yang kuat dalam Khilafah, berkat penerapan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam. Harta baitulmal yang melimpah dari berbagai sumber pendapatan (fai, kharaj, jizyah, khumus, usyur, dan harta milik umum seperti tambang, hutan, laut, gunung, dll.) akan digunakan untuk kemaslahatan umat Islam, termasuk penyelenggaraan haji. Potensi pendapatan yang besar ini terwujud karena seluruh negeri muslim akan dipersatukan di bawah satu kepemimpinan, yaitu Khilafah. []
Baca juga:

0 Comments: