Pendidikan Jadi Barang Mewah dalam Sistem Kapitalisme
Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Menurut rumus konstitusi, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan sosial, cahaya pendidikan justru sering padam sebelum sempat bersinar, terutama bagi mereka yang hidup dalam gelapnya kemiskinan. Sehingga sayang seribu sayang pendidikan kerap menjelma jadi barang mewah.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Tatang Muttaqin dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa faktor ekonomi dan desakan untuk membantu orang tua mencari nafkah menjadi dua sebab terbesar dari tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di negeri ini. Data menunjukkan bahwa sebesar 25,55 persen anak-anak Indonesia terpaksa meninggalkan bangku pendidikan karena impitan kemiskinan. Sementara 21,64 persen lainnya harus mengorbankan hak belajarnya demi ikut menopang penghidupan keluarga (tirto.id, 19/05/2025).
Pemerintah mengadakan program seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan skema-skema bantuan serupa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin. Hal ini ibarat memberikan payung bocor di tengah hujan deras. Bantuan itu memang menahan derasnya beban tapi tidak menyembuhkan luka. Karena faktor ekonomi masih jadi sebab utama anak-anak memilih meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih menjadi pekerja usia dini demi menjemput rupiah.
Kapitalisme, Mesin Ketimpangan
Di tengah kegagapan sistem kapitalisme, kini pemerintahan Prabowo menggulirkan program baru. Sekolah Rakyat bagi anak-anak dari keluarga tak mampu, dan Sekolah Garuda Unggul bagi mereka yang berasal dari kalangan berada. Dua jenis sekolah dengan dua standar berbeda tapi dikemas sebagai jalan tengah yang katanya akomodatif. Tampak seperti ikhtiar pemerataan akses pendidikan tetapi dibalik narasi manis dan slogan populis. Tampak jelas bahwa kebijakan ini bukanlah solusi yang menyentuh akar persoalan.
Program ini sejatinya hanya perpanjangan dari tambal sulam sistem yang telah lama pincang dan tidak menantang akar ketimpangan. Masalah ketimpangan ini hadir sebab asas kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai layanan komersial, bukan sebagai kebutuhan dasar manusia. Lahirnya dua tipe sekolah berdasarkan strata ekonomi hanyalah bentuk baru dari pemisahan sosial yang dilegalkan.
Kebijakan seperti ini adalah isyarat bahwa negara telah menyerah pada sistem, bukan memperjuangkan perubahan. Pendidikan, yang seharusnya menyatukan seluruh lapisan masyarakat, kini malah menciptakan jurang yang semakin dalam antara si kaya yang difasilitasi untuk unggul, dan si miskin yang diajari cukup untuk bertahan hidup. Sebuah ironi di tengah negeri yang katanya berdaulat dan beradab.
Islam, Jalan Menyelamatkan Pendidikan
Islam memandang pendidikan bukan sebagai komoditas pasar, bukan pula sebagai alat pertumbuhan ekonomi belaka. Pendidikan dalam pandangan syariat adalah hak syar’i atau hak asasi yang dijamin oleh Allah Swt. dan wajib dipenuhi oleh negara sebagai bagian dari tanggung jawabnya terhadap umat. Sebagaimana air bagi yang kehausan, dan makanan bagi yang kelaparan, maka pendidikan adalah kebutuhan rohani yang tak bisa ditunda-tunda.
Allah ﷻ berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11).
Ayat ini menjadi saksi bahwa ilmu bukan hanya sumber kemuliaan pribadi tetapi juga pilar bagi kemuliaan umat. Maka, dalam negara Islam pendidikan tidak pernah dibatasi oleh kelas sosial atau kondisi geografis. Tidak ada dikotomi antara si kaya dan si miskin, antara anak kota dan anak desa. Semua mendapatkan hak yang sama dalam ilmu karena semua akan dimintai pertanggungjawaban yang sama di hadapan Allah kelak.
Negara Islam dalam bentuk Khilafah menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab langsung yang dibiayai penuh oleh negara melalui kas negara atau Baitulmaal. Negara bukan hanya menjamin akses tetapi memastikan kualitasnya, karena ruh pendidikan Islam bukan sekadar untuk bekerja, tetapi untuk membangun insan yang memahami misi hidupnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Mājah).
Dalam hadis ini tidak membedakan antara anak orang kaya maupun miskin dan di manapun tempat tinggalnya. Semua diwajibkan memperoleh pendidikan yang berkualitas dan sama rata tentunya tanpa dibedakan, maka negara wajib memfasilitasi.
Bahkan, sistem ekonomi Islam disusun untuk menyokong kehidupan rakyat secara menyeluruh bukan hanya mengatur pajak dan utang luar negeri. Sistem Islam membebaskan umat dari beban kehidupan yang mengimpit hingga para orang tua dapat fokus mengasuh, dan anak-anak dapat belajar tanpa diganggu tuntutan perut.
Tujuan pendidikan dalam Islam bukan mencetak buruh murah untuk industri atau otak-otak pintar yang menjual diri ke pasar global. Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan generasi syakhsiyah Islamiah, pribadi muslim yang teguh dalam akidah, luhur dalam akhlak, dan unggul dalam ilmu serta teknologi. Mereka disiapkan bukan sekadar untuk menjadi pegawai, tetapi untuk menjadi penjaga peradaban, rijal ad-da'wah dan mujahid yang akan membawa cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dalam sistem Khilafah, pendidikan akan kembali menjadi mercusuar dunia sebagaimana dulu di Baghdad, Kairouan, dan Andalusia yang pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan manusia. Maka, di saat dunia sedang gamang mencari arah, Islam datang tidak hanya menawarkan jawaban teknis tetapi arah hidup yang bermakna.
Inilah solusi sejati, bukan tambal sulam kebijakan yang dilahirkan dari sistem yang cacat sejak pangkalnya tetapi sistem ilahiyah yang datang dari Tuhan semesta alam. Maka, saat kita bicara tentang masa depan pendidikan jangan hanya berpikir tentang anggaran dan bangunan sekolah, pikirkan tentang peradaban. Karena sejatinya pendidikan adalah ruh dari kebangkitan umat, dan Islam telah membawa ruh itu sejak wahyu pertama turun kepada Rasulullah ﷺ:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. ”(QS. Al-‘Alaq: 1).
Maka, mulailah membaca bukan hanya dengan mata tapi dengan hati dan iman, agar kita tidak hanya cerdas tapi juga mulia, agar pendidikan tak sekadar menghidupkan otak tapi juga menghidupkan ruh umat. [An]
Baca juga:

0 Comments: