Normalisasi dengan Zionis, Bertentangan dengan Syariat
Oleh. Umi Hafizha
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia membuka peluang untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Zionis apabila ia mengakui kemerdekaan Palestina. Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo pada saat menghadiri konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di istana Merdeka Jakarta, pada Rabu, 28-05-2025.
Prabowo juga menegaskan bahwa Indonesia akan mendorong solusi dua negara (two state solution) sebagai solusi untuk mengatasi konflik di antara kedua negara. Pada kesempatan yang sama, Prabowo juga menyatakan bahwa Indonesia perlu mengakui Zionis sebagai negara yang berdaulat, walaupun Indonesia mendukung penuh kemerdekaan Palestina. Selain itu Indonesia juga menyatakan kesiapannya untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian di kawasan yang terdampak konflik Zionis-Palestina. Di hadapan Marcon, Prabowo terus memuji Prancis yang turut mendukung kemerdekaan Palestina. (CnnIndonesia.com, 28 Mei 2025).
Sebagai seorang muslim, terlebih jika diberikan amanah sebagai pemimpin wajib bagi dirinya beramal menggunakan syariat. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Maidah: 49:
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memberdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah maha berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
Dari ayat di atas, Allah Swt. telah memberikan aturan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim kepada orang-orang kafir. Di dalam QS. Ali-Imran ayat 28, Allah melarang mukmin menjadikan orang kafir sebagai aulia atau wali yang berarti teman akrab, pemimpin, pelindung atau pun penolong. Ketika Rasulullah saw. sebagai kepala negara Islam di Madinah, beliau menunjukkan perbedaan interaksi negara Islam kepada orang-orang kafir.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhsiyyah Al Islamiyyah juz 2 menjelaskan dengan terperinci pembagian orang kafir serta perlakuan negara Islam (negara khilafah) dan umat Islam terhadap mereka. Orang kafir terbagi menjadi kafir harbi, musta'min, mu'ahid, dan ahli dzimah.
Kafir harbi adalah orang atau negara kafir yang secara nyata memerangi kaum muslimin. Hubungan interaksi perang tidak boleh ada perjanjian apapun, misal, perjanjian politik seperti diplomasi, perjanjian ekonomi, seperti ekspor-impor dan lain-lain. Kafir musta'min adalah orang atau negara kafir yang masuk ke negara Khilafah dengan izin masuk atau suaka.
Kafir mu'ahid adalah orang atau negara yang mempunyai perjanjian dengan khilafah. Sementara kafir dzimmi adalah setiap orang yang beragama selain Islam dan menjadi rakyat negara Khil4fah yang mereka wajib membayar jizyah dan mereka berhak mendapatkan perlindungan dari negara Khil4fah.
Seperti inilah hukum syariat mengatur interaksi umat Islam terhadap orang-orang kafir yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, terlebih dia adalah seorang pemimpin. Maka tidak layak seorang pemimpin muslim membuka hubungan diplomasi, melakukan kerjasama, bahkan bermanis muka dan bangga mendapatkan gelar dari orang kafir yang sudah jelas-jelas memusuhi umat Islam.
Zionis adalah entitas kafir. Mereka telah merampas tanah dan melakukan penjajahan di Palestina. Zionis telah melakukan genosida terhadap umat Islam di Palestina. Begitu pula Prancis juga sebagai negara kafir. Sejak Khil4fah Utsmaniyah masih ada, Prancis telah menunjukkan kebencian yang amat luar biasa kepada kaum Muslim. Hubungan kepada mereka hanya satu, yaitu perang.
Masalah utama di Palestina adalah penjajahan yang dilakukan Zionis. Dan Allah Swt. telah memberikan syariat untuk menghapus penjajahan, yakni dengan jihad. Maka seorang pemimpin Muslim seharusnya mengirimkan tentaranya ke Palestina untuk melakukan jihad, bukan menjadi pasukan perdamaian. Dia juga tidak boleh mengakui solusi dua negara karena solusi itu sama saja memberikan pengakuan terhadap penjajahan dan genosida atas Palestina.
Palestina hingga saat ini masih dalam kondisi terjajah karena pemimpin Muslim tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan syariat, malah mengambil solusi dari barat. Genosida di Palestina masih berlangsung karena para pemimpin muslim berkhianat kepada kaum muslim. Mereka bahkan menjalin kerjasama dengan kaum harbi fi'lan.
Palestina membutuhkan sosok pemimpin seperti Sultan Abdul Hamid II, sosok Khalifah yang menjalankan perannya menjadi pelindung (junnah) bagi kaum muslimin. Beliau tidak membuka jalan bagi Zionis untuk menguasai Palestina dengan mengusir Theodore Herzl kala itu.
Sultan Abdul Hamid II secara tegas mengatakan bahwa, "Tanah Palestina bukanlah milikku, tetapi milik umatku. Aku tidak akan melepaskan walaupun hanya segenggam tanah ini, karena ia bukan milikku. Ia adalah milik umat Islam. Mereka telah berjihad untuk kepentingan tanah air, dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Maka, silahkan Yahudi menyimpan harta mereka."
Begitulah ketegasan Sultan Abdul Hamid II terkait dengan tanah Palestina. Tak seujung kuku pun bisa terusik. Begitu juga pada masa kemimpinan Shalahuddin Al Ayyubi, pasukan Islam dengan gagah berani membebaskan kembali Palestina setelah sempat direbut oleh tentara salibis.
Seperti itulah penjagaan Khalifah terhadap tanah Palestina. Jika sampai hari ini Palestina masih membara, tanah sucinya direbut dan dikuasai oleh orang-orang Yahudi dan orang kafir, maka solusi tuntas untuk Palestina adalah dengan mengirimkan pasukan kaum muslim untuk berjihad mengusir Zionis dari bumi Palestina.
Namun, sayangnya pemimpin kaum muslim saat ini telah lenyap. Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslim bersatu untuk mewujudkan pemimpin yang akan melindungi seluruh negeri-negeri muslim. [MA]
Baca juga:

0 Comments: