Headlines
Loading...
Nasionalisme Memecah, Khilafah Menyatukan

Nasionalisme Memecah, Khilafah Menyatukan

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Kegagalan komunitas internasional dalam memberikan respon yang cepat dan adil terhadap penderitaan rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang telah mengalami blokade dan serangan militer sejak Oktober 2023, memicu gelombang kekecewaan global.

Keadaan ini kemudian melahirkan gerakan Global March to Gaza (GMTA) atau sebuah aliansi solidaritas yang melibatkan umat Islam dan kelompok kemanusiaan internasional, yang hendak menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza serta menuntut pengakhiran blokade.

Namun, sayangnya, upaya mulia tersebut menghadapi hambatan dari negara-negara tetangga Palestina, seperti terjadinya pendeportasian kepada lebih dari 30 aktivis internasional oleh Mesir dengan alasan administratif yang diklaim tidak lengkap. Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan hak kedaulatan negara mereka dalam menjaga keamanan nasional (kompas.tv, 12/6/2025).

Peristiwa tersebut tidak hanya menggarisbawahi kompleksitas politik regional, hal ini juga membuktikan bahwa solusi kemanusiaan konvensional tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan di Gaza. Saat ini di banyak negara muslim, prioritas kepentingan domestik atas kepentingan umat Islam global membuat dukungan politik, ekonomi, militer, dan kemanusiaan kepada negara-negara muslim tertindas, seperti Palestina, menjadi lemah. 

Masalah ini berakar pada penghalang sistematis, bukan hanya tembok fisik seperti tembok pembatas di Rafah, tetapi juga tembok ideologis berupa nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Paham-paham ini, yang sengaja dikonstruksi oleh kekuatan eksternal untuk menekan wilayah-wilayah muslim, telah menciptakan perpecahan geografis dan politis. Akibatnya, rasa kemanusiaan dan persaudaraan sesama muslim memudar. Kebersamaan umat Islam, yang seharusnya menjadi kekuatan utama, terkikis oleh batas-batas negara yang bersifat politis.

Paham nasionalisme dan negara-bangsa bukanlah fenomena spontan atau alami dalam masyarakat Islam. Munculnya kedua paham ini merupakan hasil strategi sistematis musuh-musuh Islam untuk meruntuhkan Khilafah, institusi yang kala itu menjadi pusat kekuatan politik dan spiritual umat Islam global. Khilafah, sebagai simbol persatuan dan kekuatan, dianggap sebagai ancaman.

Melalui strategi "pecah belah" para penjajah bertujuan memutus persatuan umat Islam, sehingga mereka tak mampu menghadapi tantangan bersama. Penggantiannya dengan negara-bangsa menjadi cara efektif untuk melemahkan pengaruh dan kekuatan umat Islam di dunia. Dengan membagi umat Islam ke dalam negara-negara yang terpisah secara politik, ekonomi, dan sosial, serta mendorong primordialisme, solidaritas universal perlahan sirna. Membuat umat Islam rentan terhadap intervensi dan dominasi kekuatan eksternal.

Dan kondisi ini juga, yang telah menyebabkan banyak penguasa muslim kehilangan daya dalam menghadapi penjajah demi mempertahankan kekuasaan mereka. Berbagai tragedi kemanusiaan, seperti pembantaian, hanya direspon dengan kecaman tanpa intervensi serius. Ironisnya, tak jarang para penguasa muslim justru melindungi kepentingan pelaku pembantaian demi mengamankan dukungan Amerika Serikat sebagai negara adidaya.

Sehingga, meskipun saat ini terdapat dukungan moral untuk Palestina, namun koordinasi politik dan militer yang terpadu masih sangat minim bahkan bisa di sebut tidak ada. Akibatnya, perjuangan umat Islam menghadapi penindasan dan penjajahan menjadi terbatas, bahkan memberi ruang bagi intervensi kekuatan asing yang memanfaatkan perpecahan ini untuk terus mempertahankan dominasinya.

Dari semua itu, dapat kita tarik kesimpulan penting, bahwa perpecahan yang diakibatkan oleh paham nasionalisme dan negara-bangsa bukan hanya sekadar persoalan politik sempit, tetapi merupakan akar fundamental yang melemahkan kekuatan umat Islam secara kolektif. Sekaligus menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan perpecahan dalam dunia Islam. Situasi ini bukanlah fenomena yang tidak disengaja, melainkan bagian dari agenda strategis yang lebih besar, yang dirancang oleh kekuatan luar untuk melemahkan umat Islam secara politik dan sosial. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan persatuan dan kekuatan umat Islam harus melibatkan kesadaran kritis terhadap sejarah dan dinamika yang telah terjadi, serta mencari cara-cara untuk mengatasi dampak negatif dari paham nasionalisme yang terfragmentasi.

Selain itu tantangan yang dihadapi Palestina dan umat Islam di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa solusi kemanusiaan yang bersifat parsial dan sporadis tidaklah memadai. Tantangan tersebut membutuhkan sebuah paradigma baru yang lebih luas dan holistik, yaitu melalui konsolidasi politik yang terorganisir dan kokoh, di bawah naungan kepemimpinan Islam yang universal, yaitu institusi Khilafah.

Pendirian kembali Khilafah adalah sebuah kebutuhan strategis dan solusi nyata untuk menghilangkan sekat-sekat yang selama ini memecah belah dan melemahkan umat. Khilafah sebagai institusi politik dan spiritual memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam mengintegrasikan keberagaman umat Islam, membangun peradaban gemilang, serta menghadirkan kekuatan yang mampu melawan hegemoni penjajah dan kekuatan asing lainnya. Dengan Khilafah, umat Islam dapat bersatu dalam satu payung hukum dan kepemimpinan, yang sekaligus mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan keamanan bagi seluruh kaum muslimin, serta mengembalikan kehormatan bangsa Islam di pentas dunia. Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: