Menilik Eksploitasi Raja Ampat dari Sudut Pandang Islam
Oleh. Wonlight
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kasus pertambangan nikel di Raja Ampat telah menyentuh dan menggerakkan banyak pihak di masyarakat. Mulai dari penduduk setempat, para ilmuwan, aktivis lingkungan, pemuka agama, artis, hingga masyarakat luas. Tagar #SaveRajaAmpat yang naik beberapa waktu terakhir menjadi langkah terdekat bagi masyarakat sebagai bentuk protes atas praktik ekploitasi nikel yang berpotensi besar merusak ekosistem alam dan sosial di Raja Ampat. Kampanye tersebut dinilai cukup berhasil, sebab setelah itu pemerintah mencabut izin 4 dari 5 perusahaan penambangan nikel di pulau tersebut setelah sebelumnya hanya dihentikan sementara (news.detik.com, 10/6/2025).
Pencabutan izin tersebut tidak semata-mata menghilangkan urgensi kita untuk menghentikan eksploitasi besar-besaran bahan tambang nikel di Indonesia. Aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berpendapat bahwa tindakan pencabutan izin tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya serius menangani kasus ini. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa PT Gag Nikel masih diberikan izin beroperasi dengan luas wilayah terbesar dibandingkan perusahaan lain, yaitu lebih dari 13 ribu hektar. Padahal, aktivitas penambangan oleh perusahaan tersebut terjadi di pulau-pulau kecil yang secara hukum telah menyalahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tetang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (walhi.or.id, 11/6/2025).
Dampak Aktivitas Penambangan
Tak ayal jika masyarakat adat dan pengamat lingkungan seolah ‘berisik’ terhadap kegiatan penambangan yang ada. Para pelaku berdalih proyek hilirisasi memiliki keuntungan dan manfaat yang nantinya akan dikembalikan kepada rakyat. Sebab realitanya, perusahaan penambangan ini lebih banyak abai terhadap kelestarian lingkungan, kesejahteraan ekonomi, serta tatanan sosial yang ada. Terlebih, manfaat dari hasil penambangan yang dijanjikan itu belum tentu dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Dari segi ekologi dan lingkungan, proses penambangan menyebabkan sedimentasi tinggi yang dapat merusak kehidupan laut, termasuk terumbu karang bahkan ikan dan hewan laut lainnya. Aktivitas penambangan juga menyebabkan buruknya kualitas air serta sanitasi dan akses jalan bagi masyarakat. Selain itu, tahap pembukaan lahan yang dilakukan melalui deforestasi dengan alat-alat berat juga menyebabkan kerusakan lahan dan hilangnya habitat berbagai jenis flora-fauna, hingga penurunan biodiversitas secara drastis. Hal ini juga berujung pada bencana seperti banjir dan longsor yang dialami oleh warga setempat.
Dari segi ekonomi dan sosial, dampak kerusakan lahan dan laut dari aktivitas tambang menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat dan sektor pariwisata yang dapat menjadi sumber pemasukan ekonomi. Selain itu, praktik prostitusi juga langgeng berjalan di wilayah pertambangan, termasuk dengan mengorbankan para gadis di bawah umur. Berdasarkan banyak fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas penambangan di era saat ini lebih banyak menimbulkan bahaya dan kerusakan dibandingkan manfaatnya.
Eksploitasi Tambang di Era Kapitalis
Prinsip yang dianut oleh sistem kapitalisme-liberalisme saat ini adalah kebebasan kepemilikan bahan tambang menjadi milik individu, terutama para kapitalis. Banyak perusahaan swasta yang mengeruk dan memanfaatkan bahan tambang dengan orientasi margin keuntungan yang sebesar-besarnya. Hasil eksplorasi dan eksploitasi pun digunakan semata untuk memenuhi permintaan pasar, bukan dikembalikan kepada rakyat. Dampak lingkungan yang disusun dalam perencanaan proyek pun hanya menjadi formalitas yang tidak dilakukan oleh para korporasi untuk menekan biaya produksi dari pengelolaan limbah dan kerusakan lingkungan.
Terlepas dari bahaya kerugian yang dirasakan rakyat, praktik penambangan yang serupa ‘monster’ ini pun tetap melenggang di sistem kapitalisme. Para kapitalis dan penguasa telah menjadi partner kerja sama mutualisme dengan mempertaruhkan sekian nominal uang serta jabatan kekuasaan. Dan lagi, rakyat tidak pernah menjadi orientasi dan pertimbangan dalam kebijakan yang dibuat.
Pengaturan Tambang dalam Syariat Islam
Islam hadir sebagai agama dan ideologi yang telah mengatur segala aspek dalam kehidupan, termasuk dalam hal pertambangan. Dalam syariat Islam, bahan tambang merupakan anugerah dari Allah Swt. yang boleh saja dimanfaatkan. Status bahan tambang adalah kepemilikan umum sehingga tidak boleh dimiliki secara perseorangan atau kelompok tertentu saja.
Terdapat hadis yang menceritakan bahwa Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah saw. dan meminta kepemilikan tambang garam kepada Rasul saw. dan beliau memberikannya kepada Abyad. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Lalu Rasulullah saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari Abyad bin Hammal.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Dasar ini yang menunjukkan bahwa bahan tambang yang diqiyaskan seperti ‘air mengalir’ tidak boleh menjadi milik individu.
Tidak dapat dinafikan bahwa proses penambangan dan pemanfaatan bahan tambang memerlukan sarana produksi dan pengelolaan yang besar dengan modal yang tinggi. Maka, dalam Islam, negara hadir sebagai pengelola pertambangan ini dengan modal dari baitulmal yang diperoleh dari hasil pengelolaan kekayaan milik umum ataupun milik negara. Negara boleh meminta bantuan pada perusahaan swasta dalam industri pertambangan dengan status sebagai pekerja (ajir) yang digaji oleh negara, bukan sebagai pemilik.
Penerapan dan pengaturan Islam senantiasa berdasarkan pada akidah dan syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga setiap apapun yang dilakukan akan selalu mempertimbangkan halal-haram serta kemaslahatan umat manusia dalam rangka menjemput rida Allah, termasuk dalam hal tambang. Maka, proses penambangan juga turut memperhitungkan dampak lingkungan, manusia, dan ekologinya agar tidak ada pihak yang terzalimi. Distribusi hasil dari penambangan juga bukan berorientasi untuk memenuhi permintaan pasar, tetapi dikembalikan manfaatnya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk.
Ketaatan pada Allah Swt. yang telah mengkristal dalam setiap individu umat di bawah naungan negara Islam, dapat menjamin seluruh tahap dalam proses penambangan, pengelolaan, dan distribusinya sesuai dengan syariat Islam, bukan manfaat materi dan individu semata. [My]
Baca juga:

0 Comments: