Headlines
Loading...
Mengurai Kasus Penelantaran Anak dari Akar Sistem

Mengurai Kasus Penelantaran Anak dari Akar Sistem

Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)

SSCQMedia.Com—Masyarakat Indonesia kembali dibuat geger. Setelah seorang anak berinisial M, yang diduga disiksa oleh orang tuanya di Surabaya, ditemukan terlantar di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Anak tersebut ditemukan oleh petugas Satpol PP saat patroli pada Rabu pagi, 11 Juni 2025, pukul 07.20 WIB, tidur di atas kardus di lorong pasar. Meski sempat mengaku disiksa, M mengalami kesulitan memberikan keterangan lebih rinci karena kendala berbicara. (tirto.id/13/6/2025)

Maraknya penelantaran dan kekerasan terhadap anak yang terjadi dewasa ini, bukan hanya sekadar persoalan individual semata, melainkan juga kegagalan negara dalam melindungi dan memberdayakan masyarakatnya. Tragedi yang menimpa anak-anak akibat penyiksaan atau pengabaian mencerminkan realitas kompleks yang disebabkan oleh faktor moral dan tekanan sistem yang luar biasa.

Salah satu akar penyebab yang paling fundamental adalah kemiskinan struktural. Sebagai konsekuensi sistem ekonomi kapitalis yang menimbulkan ketimpangan mencolok, membuat jurang pemisah ekonomi antara golongan mampu dan kurang mampu menjadi nyata. Keluarga miskin kerap terperangkap dalam siklus kemiskinan yang menindas, di mana kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan sulit terpenuhi. Tekanan ekonomi yang luar biasa inilah yang menimbulkan stres berkepanjangan, frustrasi, dan hilangnya kontrol emosi, yang pada akhirnya berujung pada tindakan kekerasan fisik maupun emosional terhadap anak. Meski latar belakang ekonomi M belum terungkap sepenuhnya, kemiskinan tetap layak diperhitungkan sebagai faktor penyebab potensial penelantaran tersebut.

Selain itu, paham sekularisme yang mengakar dalam masyarakat modern juga mengakibatkan melemahnya iman serta nilai-nilai spiritual. Di tengah tekanan ekonomi yang besar, banyak orang kesulitan dalam mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara bijak, bahkan membingungkan peran hakiki orang tua dalam mendampingi dan membimbing anak-anak. Tak jarang orang tua juga kehilangan kapasitas untuk memberikan perhatian dan kasih sayang yang krusial bagi perkembangan anak-anak mereka. Sistem sosial yang mengedepankan prinsip-prinsip sekuler dan kapitalis, dengan fokus pada individualisme dan persaingan ekonomi, nyatanya turut menyuburkan keretakan komunikasi serta menipiskan solidaritas  baik dalam keluarga maupun masyarakat luas.

Lebih jauh lagi, lemahnya penegakan hukum dan sistem perlindungan anak turut berkontribusi besar. Kurangnya pengawasan ketat, lambannya proses hukum, dan lemahnya sanksi terhadap pelaku kekerasan anak menciptakan iklim impunitas yang merajalela, sehingga banyak orang merasa bebas bertindak sewenang-wenang tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum. Padahal, hukum seharusnya menjadi deterrent bagi perilaku tersebut. Negara yang mestinya berfungsi melindungi anak-anak justru gagal menjalankan perannya secara optimal, sehingga membuka celah terjadinya penelantaran dan penyiksaan.

Meskipun Indonesia telah mengadopsi berbagai peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak, termasuk kekerasan seksual dan pembangunan keluarga, realitas di lapangan menunjukkan bahwa regulasi tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan kekerasan anak secara tuntas. Salah satu kendala utamanya adalah nilai-nilai dasar dalam regulasi ini masih terfokus pada kerangka sekuler dan kapitalis, tanpa menyentuh akar persoalan yang melekat pada aspek sosial, moral, spiritual, dan ekonomi secara simultan.

Sebagai alternatif dalam menangani persoalan keluarga dan kekerasan terhadap anak, Islam menawarkan pendekatan holistik yang sangat komprehensif. Dalam pandangan Islam, keluarga bukan sekadar unit sosial biasa, melainkan pondasi utama dalam membangun masyarakat yang kokoh dan harmonis. Setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas untuk menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang serta dilandasi oleh nilai-nilai iman dan ketakwaan kepada Allah Swt. Nilai-nilai ini menjadi dasar agar kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketenteraman jiwa dapat terjamin bagi seluruh anggota keluarga.

Dalam konteks ini, peran orang tua sangatlah strategis. Sebab, Islam tidak hanya memandang orang tua sebagai pemberi nafkah semata, tetapi juga sebagai pendidik utama yang bertanggung jawab menanamkan keimanan, hingga membentuk karakter yang kuat agar mampu menghindari perilaku negatif, serta siap menghadapi berbagai dinamika kehidupan dengan sikap yang positif dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu pendidikan dalam keluarga yang berlandaskan ajaran Islam akan menjadi fondasi kokoh untuk mencegah terjadinya kekerasan serta konflik dalam rumah tangga.

Di sisi lain, negara Islam (Khilafah) memiliki peran yang sangat vital dalam menciptakan kondisi sosial-ekonomi yang kondusif bagi terciptanya keluarga yang sehat. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam negara akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, sehingga orang tua dapat lebih fokus mendidik anak-anaknya tanpa terbebani masalah ekonomi yang kerap menjadi pemicu stres dan konflik dalam keluarga. Dengan adanya jaminan ekonomi yang adil dan merata, potensi terjadinya kekerasan dalam keluarga dapat diminimalisir karena kebutuhan dasar anggota keluarga terpenuhi secara layak dan tidak ada tekanan ekonomi yang memberatkan.

Selain itu, peran negara (Khilafah) dalam menjaga akidah umat juga sangat penting untuk mencegah masuknya paham-paham dan pemikiran yang merusak, yang dapat menjadi salah satu pemicu kekerasan dan disintegrasi sosial. Khilafah akan mengambil tindakan preventif dengan memblokir dan melarang penyebaran konten-konten berbahaya seperti kekerasan, pelecehan, dan pornografi melalui berbagai mekanisme teknologi dan hukum.

Pendekatan ini dilakukan dengan menerapkan sistem sosial yang sesuai dengan syariat Islam, yang tidak hanya bersifat represif tetapi juga edukatif, seperti melalui pendidikan berbasis Islam, pengamalan amar makruf nahi mungkar, dan penguatan nilai-nilai moral di masyarakat. Hal ini akan membangun kesadaran kolektif untuk menjaga keharmonisan dan keamanan dalam kehidupan berkeluarga serta bermasyarakat secara umum.

Sistem hukum dalam Islam juga sangat tegas dan jelas dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk kekerasan terhadap anak. Dalam hukum Islam, tindakan kekerasan tidak hanya dianggap pelanggaran terhadap individu korban, tetapi juga merupakan dosa besar di hadapan Allah Swt. dan kriminal yang harus diadili dengan sanksi yang setimpal. Dengan mengedepankan keadilan dan perlindungan bagi korban, sekaligus memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Oleh karena itu, dapat menjadi instrumen efektif dalam menegakkan keadilan dan memastikan bahwa kekerasan terhadap anak tidak mendapat tempat dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, kolaborasi keluarga, negara, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang bebas kekerasan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam sebagai pondasi penguatan dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, penerapan Islam secara menyeluruh akan mampu mengatasi masalah keluarga dan kekerasan, seperti penelantaran terhadap anak hingga ke akarnya.
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: