Kebijakan Jam Malam, di Tengah Krisis Generasi
Oleh. Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
SSCQMedia.Com—Terempas dalam arus deras modernitas, generasi muda kita bagaikan layangan tanpa tali, terombang-ambing oleh badai kapitalisme sekuler yang tak kasat mata. Mereka tumbuh dalam rimba kebebasan individual yang kebablasan, di mana standar kebahagiaan dipatok pada materi dan validasi semu media sosial.
Kebijakan jam malam yang baru-baru ini diterapkan oleh gubernur (detik.com/jabar, 28/05/2025), bak secercah harapan di tengah kegelapan, mencoba menarik kembali layangan yang hampir putus. Namun, hati nurani kita berteriak, kebijakan ini hanyalah pertolongan pertama pada luka yang menganga lebar. Akar masalahnya jauh lebih dalam, merasuk ke dalam sendi-sendi keyakinan dan cara pandang hidup.
Bayangkan seorang remaja, dahaganya tak lagi akan ilmu agama, tetapi akan likes dan followers. Pikirannya diracuni oleh iklan-iklan yang menjanjikan kebahagiaan instan lewat genggaman gadget dan konsumsi tanpa batas.
Sekolah yang seharusnya menjadi ladang pembentukan karakter, terkadang hanya berorientasi pada ijazah dan persaingan materi.
Malam-malam mereka yang seharusnya diisi dengan kehangatan keluarga dan ibadah, justru diwarnai dengan scrolling tanpa henti, terpapar konten yang jauh dari nilai-nilai luhur.
Kita menyaksikan dengan hati pedih, bagaimana identitas diri mereka terkikis, digantikan oleh tren-tren sesaat yang dangkal dan hampa.
Inilah buah pahit dari kapitalisme sekuler, sebuah ideologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya, bebas menentukan benar dan salah tanpa panduan ilahi. Agama terpinggirkan, nilai-nilai spiritual diabaikan, dan yang diagungkan hanyalah keuntungan materi.
Anak-anak kita menjadi pasar potensial, dijejali produk-produk industri yang menggerogoti waktu, pikiran, dan bahkan akhlak mereka. Kenakalan remaja bukan lagi sekadar urusan malam, namun telah merasuki setiap detik kehidupan mereka melalui layar-layar kecil yang selalu menemani.
Benarlah apa yang dikatakan para ulama, perubahan parsial tanpa menyentuh akar sistem, hanya akan menuai kegagalan berulang.
Kebebasan yang diagung-agungkan oleh sistem liberal kapitalis, nyatanya telah menjelma menjadi penjara tak terlihat. Pelajar merasa berhak melakukan apa saja yang mereka mau, meniru tanpa filter apa yang mereka lihat dari para influencer yang seringkali jauh dari nilai-nilai agama dan budaya kita.
Standar kebahagiaan mereka bergeser tragis. Senyum tulus orang tua, kehangatan persahabatan sejati, dan kedekatan dengan Sang Pencipta, kalah pamor dengan notifikasi likes dan tumpukan barang bermerek.
Pendidikan kehilangan ruhnya, hanya menjadi tangga menuju pekerjaan dan kekayaan, tanpa membekali mereka dengan kompas moral yang kokoh.
Di tengah pusaran kehancuran ini, Islam hadir sebagai oase penyejuk, menawarkan solusi yang holistik dan mendasar. Islam tidak hanya melarang perbuatan buruk secara kasat mata, namun juga memberantas akar penyebabnya.
Kebijakan jam malam mungkin dapat mengurangi potensi kenakalan di malam hari, namun Islam jauh melampaui itu. Islam membangun benteng pertahanan dari dalam diri setiap individu.
Firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar," adalah janji dan solusi nyata.
Islam menanamkan keimanan sejak dini, membentuk karakter yang kokoh berlandaskan ketaatan kepada Allah.
Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa setiap individu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ini adalah panggilan bagi orang tua, masyarakat, dan negara untuk bersama-sama mendidik generasi muda dengan nilai-nilai Islam yang luhur.
Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membersihkan jiwa dan memuliakan akhlak.
Tujuan pendidikan dalam Islam sangat jelas, yakni membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah Swt., menjadikan rida-Nya sebagai puncak kebahagiaan, dan menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat-Nya.
Kurikulum pendidikan Islam mengintegrasikan ilmu dunia dan akhirat secara seimbang. Anak-anak diajarkan aqidah yang benar, ibadah yang khusyuk, dan akhlak yang mulia.
Ilmu sains, matematika, dan bahasa diajarkan dalam bingkai tauhid, menyadarkan mereka akan kebesaran Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Sejarah tidak hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi juga pelajaran berharga tentang perjuangan para nabi dan orang-orang saleh.
Halal dan haram menjadi kompas dalam setiap aspek kehidupan remaja Muslim. Mereka diajarkan untuk berhati-hati dalam berpakaian, bergaul, memilih teman, dan bahkan dalam mencari hiburan. Kesadaran internal akan pengawasan Allah menjadi benteng terkuat dari segala bentuk kemaksiatan.
Lebih dari itu, Islam juga memiliki mekanisme yang jelas dalam mengatur interaksi di ruang publik dan media. Negara bertanggung jawab penuh dalam menjaga akhlak umat dan melindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing dan konten-konten merusak.
Media sosial dan platform digital diawasi dengan ketat, bukan untuk memberangus kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, tetapi untuk mencegah penyebaran pornografi, konten vulgar, promosi gaya hidup bebas, LGBT, dan segala bentuk kemaksiatan lainnya.
Lembaga sensor yang kuat dan berlandaskan syariat Islam akan memastikan bahwa media menjadi sarana dakwah, pendidikan, dan penyebaran nilai-nilai kebaikan.
Kisah-kisah teladan para nabi, sahabat, dan ulama akan menjadi inspirasi, membangun budaya malu untuk berbuat dosa dan menumbuhkan ketakwaan dalam hati setiap remaja.
Mari kita menoleh ke belakang, pada jejak peradaban Islam di masa keemasannya. Pendidikan tidak hanya menghasilkan para ilmuwan yang menguasai berbagai disiplin ilmu, tetapi juga hamba-hamba Allah yang taat dan zuhud. Mereka menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Standar kebahagiaan mereka bukan tumpukan harta, melainkan kedalaman ilmu dan ketundukan kepada Allah. Inilah buah manis dari sistem Islam yang terintegrasi, di mana pendidikan, keluarga, dan negara berjalan seiring sejalan dalam mewujudkan generasi yang gemilang dunia dan akhirat.
Kebijakan jam malam adalah langkah kecil yang patut diapresiasi, namun kita tidak boleh berhenti di sana. Perubahan mendasar harus segera dilakukan. Kita perlu kembali kepada sistem nilai Islam yang menyeluruh, yang menuntun generasi muda kita menuju cahaya kebenaran, menjauhkan mereka dari kegelapan hawa nafsu dan gemerlap dunia yang menipu.
Hanya dengan perubahan paradigma hidup yang berlandaskan Islam, kita dapat menyelamatkan generasi penerus bangsa dari kehancuran yang diakibatkan oleh kapitalisme sekuler yang semakin menggurita. Inilah saatnya untuk bertindak, sebelum layangan itu benar-benar putus dan terbawa angin kehancuran. [My]
Baca juga:

0 Comments: