SSCQMedia.Com—Pada awal Mei dan akhir Juni 2025, terdapat dua kasus pembunuhan yang terjadi di negeri "Serambi Mekkah". Kasus pertama adalah seorang guru berusia 31 tahun yang tewas dibunuh suaminya di Desa Butar, Kecamatan Kuta Baharu, Kabupaten Aceh Singkil dengan mengalami delapan luka tusuk. Kejadian ini terjadi saat korban melintasi perkebunan sawit dengan adiknya. Pelaku menendang motor korban dan membacoknya berkali-kali (Detik.com, 03-06-2025).
Kasus kedua adalah ibu rumah tangga berusia 43 tahun yang dibunuh suaminya di kamar dipicu cemburu karena sering live di Tiktok. Insiden itu terjadi di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Pertengkaran keduanya tidak bisa dihindari lagi hingga puncaknya pelaku mengambil sarung lalu melilitkannya ke leher korban (Detik.com, 31-05-2025).
Kasus pembunuhan demi pembunuhan yang terjadi biasa kita lihat di luar, tetapi hari ini sudah menjalar hingga ke negeri Aceh, yang konon katanya sangat taat syariatnya.Tentu saja bukan syariatnya yang salah, tapi sistemnya sehingga syariat seolah tak berlaku di negeri ini. Apalagi untuk menghukum para kriminal membutuhkan banyak dana.
Hari ini rasanya begitu murahnya nyawa manusia, sehingga mudah sekali bagi mereka hanya karena marah lantas membunuh, seolah selesai masalahnya dan reda amarahnya. Padahal itu adalah awal dari semua penyesalan dan pasti ada sanksinya. Meski sanksi di negeri ini tidak menjadi sebuah solusi untuk mengatasi kriminalitas.
Meningkatnya kriminalitas dipicu oleh negara yang tidak tegas memberlakukan hukum. Wajar saja ini terjadi, karena negara ini menganut sistem kebebasan. Sehingga hukuman yang dianggap tak berperikemanusiaan pasti akan ditentang oleh penguasa, mungkin memang kriminalitas itu ingin dipelihara.
Mengapa demikian? Karena negara tak pernah serius untuk memberantas kriminalitas. Hukuman penjara tidak akan menjerakan mereka, malah setelah bebas mereka akan melakukannya lagi. Jika ada yang menyesal dan bertobat pun, hanya sedikit sekali yang mau melakukannya.
Andaikan mereka tahu bagaimana besar dosa membunuh manusia, niscaya mereka tak akan mungkin melakukannya. Namun, begitulah tabiat manusia yang ditunggangi oleh emosinya, hingga tak bisa lagi melihat dengan penuh kasih sayang. Apalagi jika mereka mengetahui firman dari Allah swt. Yang artinya,
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan" (TQS. Al-Isra: 33).
Dalam Islam, membunuh manusia adalah dosa besar, bahkan hukumnya tidak main-main yaitu nyawa dibayar nyawa. Itulah yang sering kita dengar, saat para wali korban berada di pengadilan untuk meminta keadilan bagi keluarganya. Ini berdasarkan firman Allah Swt. yang artinya, "Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalas nyawa, mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi, dan luka-luka ada qishashnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qishash) nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (TQS Al-Maidah: 45).
Namun qishas ini hanya boleh dilakukan oleh seorang Khalifah yang memimpin Daulah dalam sistem Islam. Dengan Khilafahlah hukum bisa diterapkan di muka bumi. Bahkan dalam sejarahnya kriminal hanya ada
200 kasus per tahun, itu adalah hasil dari betapa adilnya Khilafah menerapkan hukum.
Qishas ini bisa menjadi zawajir dan zawabir, penebus dosa bagi pelaku dan efek jera bagi siapa yang ingin melakukan. Jadi bukan hanya dosa yang menakutkan namun juga azab dari Allah. Syariat menetapkan, harga nyawa manusia yang mahal itu harus diganti dengan 100 ekor unta yang bila dikalkulasikan sekarang mungkin harganya Rp50.000.000 per ekor kalikan saja 100 ekor, maka itulah harganya. Syariat ini tidak kemudian menjadikan nyawa manusia sebagai komoditas, melainkan menekankan betapa nyawa manusia dalam Islam sangat dihargai, terlebih jika dia seorang muslim.
Seperti diriwayatkan Rasulullah saw. dalam hadis ini, dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa membunuh seseorang secara tidak sengaja, maka dia wajib mengganti darahnya dengan seratus ekor unta, seratus ekor kambing, dan juga memberikan seratus dinar kepada ahli waris korban (HR. Bukhari Muslim).
"Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan bahwa barang siapa tidak sengaja membunuh, maka diyatnya adalah 100 ekor unta dengan perincian 30
ekor unta betina yang induknya sedang bunting, 30 ekor unta betina yang induknya sedang menyusui, 30 ekor unta betina yang induknya sedang bunting, 30 ekor hiqqah, dan 10 unta jantan yang induknya sedang menyusui. [Shahih Sunan Ibni Majah (no. 2128)], Sunan Abi Dawud (XII/283, no. 4518), Sunan Ibni Majah (II/878, no. 2630), Sunan an-Nasa-i (VIII/43).
Jadi bisa membayangkan bukan, bagaimana manusia berani untuk membunuh, jika harus membayar harga sedemikian banyak, bahkan taruhannya nyawa? Wallahualam bissawab. [ry]
Baca juga:

0 Comments: