Hipokrisi Global: Islamofobia dan Kebebasan Beragama
SSCQMedia.Com—Islamofobia merupakan rasa takut, kebencian, dan diskriminasi terhadap umat Islam dan agama Islam. Istilah ini, muncul dalam sastra Prancis awal abad ke-20, merujuk pada sentimen dan kebijakan anti-Muslim, dan dipopulerkan dalam bahasa Inggris pada akhir 1990-an. Sebagai bentuk xenofobia (rasa takut terhadap orang asing atau hal-hal asing) Islamofobia kerap dianggap sinonim dari rasisme anti-Muslim karena dampaknya yang serupa. Meningkatnya Islamofobia diperparah oleh narasi perang melawan terorisme yang disebarluaskan media Barat, pasca-9/11 hingga menciptakan citra negatif dan pelabelan teroris terhadap Muslim.
Bukan hanya serangan verbal dan fisik yang diterima oleh banyak muslim. Di beberapa negara terutama Eropa hingga melegalkan kejahatan berbasis kebencian terhadap Muslim tersebut melalui undang-undang, demi membatasi praktik keagamaannya, Sebagai contoh, Denmark memperluas larangan cadar ke sekolah dan universitas, serta berencana menutup musala di kampus. Perdana Menteri Mette Frederiksen beralasan langkah ini memprioritaskan demokrasi dan mencegah penindasan, khususnya terhadap perempuan. Kendati mengakui ketidakpastian seberapa luas penindasan tersebut, Frederiksen tetap menyatakan intoleransinya terhadap praktik keagamaan tersebut (sindonews.com/7/6/2025).
Merebaknya Islamofobia global bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan bukti nyata kegagalan sistem internasional dalam melindungi hak-hak dasar umat Muslim. Pernyataan Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, yang membatasi praktik-praktik keagamaan atas nama demokrasi, menunjukkan bagaimana sistem ini secara sistematis menargetkan umat islam dan mengabaikan janji kebebasan beragama yang seharusnya dijamin secara universal.
Dampak Kapitalisme-Sekuler dan Kegagalan Lembaga Internasional
Hubungan antara kapitalisme sekuler dan meningkatnya Islamofobia jauh lebih kompleks daripada sekadar memanfaatkan peristiwa 9/11. Sistem kapitalisme, dengan logika akumulasi keuntungan dan persaingan yang ketat, menciptakan lingkungan yang subur bagi sentimen anti-Muslim. Kebijakan ekonomi global yang menguntungkan negara maju seringkali merugikan negara-negara mayoritas Muslim, menghasilkan ketidaksetaraan dan kemiskinan.
Eksploitasi sumber daya alam dan praktik perdagangan yang tidak adil menguntungkan perusahaan multinasional di negara maju, sementara penduduk lokal menanggung kerugian, memicu ketidakstabilan dan kemarahan yang dimanfaatkan kelompok ekstremis. Diperkuat oleh paham sekuler yang memisahkan agama dari negara, yang seringkali mengabaikan atau bahkan mengkriminalisasi praktik-praktik keagamaan yang dianggap 'tidak sesuai' dengan norma-norma sekuler, (yang seringkali diinterpretasikan secara bias terhadap Muslim), memperburuk situasi.
Sementara media sebagai arus utama seringkali dikuasai konglomerat, menjadi sebuah produk dari kapitalisme dalam membentuk persepsi publik. Dengan fokus pada cerita sensasional dan menguntungkan, media ini cenderung memperkuat stereotip negatif tentang Muslim sebagai teroris atau ancaman keamanan, Ketimpangan ekonomi yang sistemik dan paham sekuler ini kemudian dipolitisasi untuk membenarkan diskriminasi terhadap Muslim.
Meskipun PBB telah mengeluarkan resolusi, termasuk penetapan Hari Internasional Melawan Islamofobia pada 2022, tindakan nyata untuk mengatasi pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap Muslim masih sangat kurang. Bahkan membuat negara-negara yang melakukan pelanggaran HAM terhadap Muslim bisa dengan mudah lolos dari konsekuensi. Genosida di Gaza, yang terus berlanjut tanpa intervensi internasional yang efektif, adalah sebuah bukti. Dengan kata lain kegagalan tersebut disebabkan oleh kurangnya kemauan politik dan struktur lembaga internasional itu sendiri. Keengganan negara-negara Muslim untuk bertindak tegas, sebab lebih terfokus oleh kepentingan pribadi, ekonomi, dan politik nasional, semakin memperburuk situasi dan mencerminkan ketidakadilan struktural dalam sistem global.
Solusi Pemulihan Kepemimpinan
Berbagai aksi anti-Islam dilatarbelakangi ketakutan dan kebencian, diperparah oleh hati nurani yang mati. Meskipun kebencian terhadap Islam telah ada sejak awal, Namun, dakwah adalah obat untuk ketidaktahuan , sebagaimana Allah Swt. berfirman agar umat Islam menyeru kebaikan, mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah mungkar. Namun, sekularisme yang mengikis pemahaman dan pengamalan ajaran Islam secara kaffah, serta prioritas duniawi yang menggeser aspek spiritual pada sebagian umat Islam, menjadi tantangan besar.
Situasi ini semakin diperparah pasca runtuhnya Khilafah pada tahun 1924 yang menandai babak baru dalam sejarah Islam, di mana penerapan syariat Islam di banyak negara digantikan sistem sekuler. Hal ini menyebabkan tergerusnya nilai-nilai Islam dan meningkatnya pengaruh paham sekuler yang merasuki umat Muslim. Akibatnya, meskipun jumlahnya besar, umat Islam menjadi tidak berdaya, terpecah menjadi negara-negara kecil yang hidup bergantung pada negara imperialis. Kendati kebencian kaum kafir terhadap Islam (QS Ali Imran: 118) merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Namun, akibat ketiadaan perisai yang kuat membuat mereka hanya diam ketika diperlakukan tidak adil dan tertindas.
Kondisi saat ini menjadi sangat kontras dengan masa kejayaan Islam di bawah Khilafah yang wilayah kekuasaan luas, hingga dua per tiga dunia, dengan kemakmuran ekonomi, politik yang tangguh, serta kemajuan pesat di bidang kesehatan dan pendidikan. Menjadikan Islam dan umatnya terhormat dan tak dapat dipandang remeh oleh dunia. Perbandingan ini menyoroti pentingnya kepemimpinan yang kuat dan sistem yang melindungi umat Islam.
Kesimpulannya, Islamofobia bukanlah sekadar masalah individu atau kelompok, melainkan cerminan kegagalan sistem internasional yang mendalam. Ketidakadilan struktural, diperparah oleh kapitalisme sekuler sebagai sistem global saat ini dan kepentingan geopolitik negara-negara adidaya, telah menciptakan lingkungan yang subur bagi penyebaran kebencian dan diskriminasi terhadap umat Islam. Khilafah, dengan sistem yang mengikuti metode kenabian dan penerapan syariah yang kaffah, dapat melindungi jiwa, harta, dan kehormatan umat Islam sesuai Al-Qur'an dan Sunnah, serta menegakkan keadilan global.
Wallahu a'lam bisshawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: