Headlines
Loading...
Ayah yang Hilang di Tengah Peradaban

Ayah yang Hilang di Tengah Peradaban


Oleh. Hanif Eka Meiana
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.ComAyah, bapak, papa atau sebutan lainnya yang menggambarkan sosok seorang laki-laki yang menjadi pemimpin dalam keluarga, merupakan figur penting dalam keluarga. Ia memiliki tanggung jawab yang besar. Tak banyak yang bisa aku ceritakan tentang sosok ini. Bukan karena tidak ada kebaikan padanya, tetapi memang belum banyak hal yang bisa kuungkapkan. 


Papa adalah orang yang biasa. Di mataku beliau penanggung jawab dalam keluarga, pencari nafkah dan pengambil keputusan. Beliau yang juga selalu hadir mendampingi kami saat bepergian keluar rumah. Saat marah atau kadang bertengkar dengan mama, beliau memilih diam. Kami merasa bahagia ketika beliau mengajak kami jalan-jalan atau sekadar membawakan makanan. 


Memang ada beberapa sifat beliau yang tidak disukai olehku dan keluarga. Namun, kami tetap bersyukur atas kebaikan-kebaikan beliau yang lain. Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana dulu papa hanya sibuk dengan pekerjaannya, jarang mengajak kami mengobrol, jarang hadir di saat aku sedih dan sering bertengkar dengan mama karena pulang kerja larut malam. 


Selain masa lalu papaku, jika dilihat secara keseluruhan sosok ayah yang ada saat ini, banyak yang belum berperan secara maksimal dalam keluarga. Ini terlihat dari fakta yang menunjukkan banyaknya anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Dalam istilah umum dikenal dengan fatherless


Era kekinian, di tengah kemajuan teknologi dan peradaban, menjadikan manusia hari ini jauh dari nilai-nilai moral dan agama. Derasnya arus pemikiran dan budaya Barat yang masuk membawa kehidupan ke arah yang sangat berbeda dibanding masa lalu. Ditambah lagi dengan individu, masyarakat dan negara yang mengadopsi sistem sekuler (pemisahan antara kehidupan dan agama), menjadikan kehidupan jauh dari kata ideal. 


Lihat saja,  betapa sulitnya hidup yang kita rasakan hari ini: kejahatan marak, kemaksiatan merajalela, keadilan menjadi barang mahal, kejujuran sangat sulit ditemukan dan berbagai kerusakan lainnya terjadi. Hal ini juga berdampak pada sosok penanggung jawab dalam keluarga. 


Beberapa kerabat dekatku,  mengalami kondisi fatherless. Sepupuku misalnya, menjadi anak yang sulit diatur, sulit diajak taat, sulit diajak kompromi. Ini bukan tanpa sebab. Selain karena ia dimanja oleh ibunya, ia juga tidak merasakan kehadiran pendidikan dari seorang ayah. Ia tidak mengenal sifat bijak, tegas, bertanggung jawab dan sebagainya. 


Demikian pula halnya dengan anak-anak lainnya. Ayah masa kini menanggung beban yang berat. Mereka harus bersaing mencari nafkah dengan para perempuan, karena banyak lapangan pekerjaan yang lebih terbuka untuk perempuan. Sementara itu, gaji yang diperoleh sering kali hanya cukup untuk kebutuhan dasar, sedangkan tuntutan hidup terus bertambah. 


Dalam kondisi seperti itu, peran ayah pun bergeser. Beberapa dari mereka merasa putus asa dalam mencari nafkah dan bergantung pada pendapatan istrinya. Mereka tidak lagi menjadi pemimpin dalam keluarga, bahkan perannya diremehkan oleh anak-anak. Ada juga yang terlalu sibuk bekerja hingga melalaikan peran mereka sebagai ayah. 


Banyak yang menganggap tugasnya hanya mencari nafkah dan melupakan tanggung jawab lain seperti mendidik istri dan anak-anak, mengajarkan agama dalam keluarga, membantu pekerjaan rumah tangga, menemani anak-anak bermain dan lainnya. Kesibukan di dunia kerja membuat para ayah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Ketika pulang ke rumah, tenaga mereka telah terkuras habis. 


Waktu rehatnya seringkali digunakan untuk bermain media sosial, scrolling WhatsApp, memancing, nongkrong bersama teman, bermain gim dan aktivitas lain  yang tidak melibatkan anggota keluarga. Hal ini bukan berarti aku menggeneralisasi semua ayah seperti itu. Tidak. Namun, kenyataannya memang sebagian besar berada dalam kondisi serupa. 


Dampaknya pun dirasakan oleh anak dan istri. Anak-anak yang haus akan sosok ayah akan mencari figur lain sebagai pengganti, atau bahkan tumbuh dengan minim kasih sayang. Beberapa anak kehilangan arah dan tujuan hidupnya. Minimnya komunikasi dengan ayah, semakin menguatkan kondisi anak-anak menjadi mudah rapuh dan depresi. 


Aku pernah menemui anak laki-laki yang mudah menangis, bersikap gemulai, atau menjadi agresif dan liar. Sementara anak perempuan menjadi mudah percaya pada laki-laki, hingga berpacaran dan terjerumus pada zina. Para istri pun tak jarang bertengkar dengan suami, berujung pada perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 


Yang ingin kusampaikan adalah bahwa kita dihadapkan pada masalah besar: hilangnya sosok ayah dalam pembentukan generasi calon pemimpin peradaban. Ini adalah akibat dari sistem kapitalisme sekuler yang menggerus peran ayah dan merusak kehidupan keluarga. Sistem ini harus digantikan oleh sistem yang telah terbukti mampu membentuk generasi berkualitas, yaitu sistem Islam. 


Aku bersyukur, setelah papaku mulai mengikuti kajian Islam kafah, perlahan-lahan beliau berubah. Ia lebih rutin mengikuti pengajian, lebih sering mengajak diskusi masalah umat, melibatkan istri serta anak-anak dalam aktivitas keislaman. Beberapa sosok ayah lainnya juga masih bertahan di tengah gempuran sistem sekuler. Mereka berusaha menjaga akal sehat dengan rutin mengikuti kajian, berusaha membagi waktu untuk keluarga, menjaga pernikahan mereka, serta mengajak istri dalam ketaatan. 


Jika kita ingin berharap lahirnya generasi yang mulia, maka perlu adanya perubahan dan kebangkitan. Dimulai dari diri sendiri untuk terus berbenah, mengajak keluarga dalam ketaatan, melakukan amar makruf nahi munkar, membentuk lingkungan islami dan berdakwah. Kebangkitan ini harus diawali dari proses berpikir, menjadikan Islam sebagai pedoman kehidupan baik pada individu, masyarakat maupun negara. 


Para orang tua khususnya ayah, perlu menuntut ilmu tentang bagaimana mendidik anak, menjadikan mereka generasi saleh, pejuang Islam serta menjadi anak yang tangguh. Ibu sebagai ummu warabatul bait juga berperan penting mendidik putranya menjadi calon ayah yang bertanggung jawab saat dewasa nanti. 


Aku berharap, papa selalu belajar menjadi ayah yang baik. Aku pun ingin mendampingi suamiku agar menjalankan perannya, tak sekadar sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai pembimbing dalam keluarga. Semoga segala pengorbanan para ayah dilihat oleh Allah Swt., diberikan pahala dan mampu mencetak generasi terbaik umat Nabi Muhammad saw. Aamiin


Mari, kita mulai dari rumah sendiri. Jadilah ayah yang hadir, bukan sekadar ada. Karena dari pangkuan keluarga, peradaban dibentuk.[US]
 

Klaten, 23 Mei 2025

Baca juga:

0 Comments: