Aktivis Internasional Ditahan, Suara Kemanusiaan Dibisukan
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Di tengah perairan internasional, harapan kemanusiaan yang dibawa Kapal Madleen sirna. Berlayar dari Italia pada 1 Juni 2025 menuju Gaza, kapal tersebut dihadang dan dialihkan paksa ke pelabuhan Ashdod oleh Angkatan Laut Israel pada 9 Juni 2025. Di antara 12 penumpang kapal, terdapat tokoh-tokoh penting seperti aktivis Greta Thunberg dan anggota Parlemen Eropa Rima Hassan, serta beberapa aktivis dari Jerman, Prancis, Brasil, Turki, Spanyol, dan Belanda. Jurnalis Al Jazeera Mubasher, Omar Faiad, juga turut berada di kapal. Selanjutnya, mereka dipenjarakan di Givon, akses komunikasi dan simbol-simbol Palestina di tangan mereka dirampas. (antaranews.com/9/6/2025).
Penangkapan Kapal Madleen bukan hanya menghalangi bantuan kemanusiaan vital ke Gaza, tetapi juga merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk memberikan pertolongan. Pembatasan komunikasi dan penyitaan simbol-simbol Palestina yang menyertai penahanan para aktivis menunjukkan upaya sistematis untuk membungkam kritik terhadap blokade dan pendudukan Israel. Kecaman internasional yang berdatangan gagal menghentikan tindakan represif Israel. Ini menunjukkan lemahnya komitmen global terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.
Bukan Pertama Kali
Fenomena penangkapan aktivis internasional bukanlah kejadian yang baru. Sebab, sejak awal 1990-an, Israel telah memberlakukan blokade darat, laut, dan udara terhadap Gaza. Blokade yang kerap disebut sebagai “penjara terbuka” ini, secara drastis membatasi akses warga Gaza terhadap kebutuhan pokok dan kebebasan bergerak mereka. Berbagai upaya pengiriman bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut telah beberapa kali dihentikan atau dicegat oleh Israel, meski tidak semua terdokumentasi secara luas.
Namun, salah satu peristiwa yang paling mendapat perhatian dunia terjadi pada 31 Mei 2010, yaitu ketika Angkatan Laut Israel melancarkan serbuan brutal terhadap sebuah konvoi kapal yang mengangkut bantuan kemanusiaan menuju Gaza. Dalam konvoi yang disebut "Armada untuk Gaza" terdiri dari sekitar 600 aktivis internasional, termasuk 12 relawan Indonesia dari MER-C (medical emergency rescue commiittee) dan seorang wartawan. Tragisnya, dalam kejadian tersebut, sembilan aktivis Turki tewas, sementara banyak diantaranya mengalami luka-luka
Kelemahan Internasional dan Gagalnya Diplomasi
Meski kejadian serupa berulang kali terjadi, reaksi internasional terhadap penangkapan kapal Madleen masih tetap berupa kecaman verbal tanpa sanksi yang berarti. Hal ini dipicu oleh dominasi Israel di panggung internasional, yang diperkuat oleh dukungan kuat Amerika Serikat dan penggunaan hak veto di Dewan Keamanan PBB, membuatnya mampu menahan tekanan internasional secara efektif. Kompleksitas kepentingan dan banyaknya aktor yang terlibat juga menghambat terbentuknya konsensus global untuk menentang kebijakan-kebijakan Israel. Hai tersebut menciptakan sebuah paradoks antara retorika kecaman yang menggebu dan minimnya tindakan nyata, menggambarkan ketidakberdayaan dunia dalam menegakkan keadilan.
Solusi Hakiki: Jihad dan Khil4fah
Berbagai upaya diplomasi dan perjanjian terus ditempuh. Namun, senantiasa menemui kegagalan, termasuk solusi dua negara yang jelas tidak memberikan keadilan bagi Palestina. Di sisi lain, ekspansi permukiman Israel yang semakin merajalela menambah penderitaan rakyat Palestina. Hal ini menegaskan bahwa pendekatan konvensional tidak akan menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas. Solusi sejati harus berlandaskan pada prinsip keadilan yang mendalam serta persatuan umat, bukan sekadar kompromi politik sementara.
Konflik Gaza dan Palestina sesungguhnya bermuara pada perebutan tanah yang diklaim oleh Yahudi. Hal ini bermula setelah migrasi Yahudi yang difasilitasi oleh Inggris dan berujung pada pendirian negara Israel pada tahun 1948. Dengan sejarah panjang Palestina sebagai tanah suci dan pusat perjuangan Islam sejak era Umar bin Khattab, pembebasan Palestina hanya dapat terwujud melalui "jihad fi sabilillah" di bawah naungan sistem pemerintahan Khil4fah yang menerapkan hukum Islam (syariah) secara menyeluruh.
Misalnya dalam kemandirian ekonomi Khil4fah yang dicapai melalui pengembangan industri domestik dan sistem moneter berbasis emas dan perak yang terbebas dari inflasi dan intervensi asing, dipadukan dengan kebijakan luar negeri yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam, memberikannya kebebasan dari tekanan kekuatan global. Kemandirian inilah, memperkuat posisi Khil4fah dalam melawan penjajahan dan penindasan, memungkinkan mobilisasi sumber daya baik material, logistik, maupun strategis untuk mendukung perjuangan pembebasan Palestina dan negara-negara Muslim lainnya. Dukungan ini melampaui sekadar dukungan moral, tapi juga memberikan landasan bagi persatuan dan aksi nyata dalam mempertahankan hak-hak mereka, sehingga mengarah pada terwujudnya keadilan dan perdamaian, dan mencegah terulangnya insiden penangkapan aktivis seperti yang telah terjadi.Wallahu'alam bisshawab. [MA]
Baca juga:

0 Comments: