Headlines
Loading...
Wajah Buram Kapitalisme di Meja Makan Anak Negeri

Wajah Buram Kapitalisme di Meja Makan Anak Negeri

Oleh. Siti Nur Faridah, S.K.M.*
(Kontributor SSCQMedia.Com)


SSCQMedia.Com—Baru-baru ini, jagat media kembali ramai oleh kabar tak sedap. Ratusan siswa di Bogor diduga mengalami keracunan setelah mengonsumsi minuman kekinian berlabel MBG. Jumlahnya melonjak drastis hingga 210 orang (cnnindonesia.com, 11/5/2025).

Miris, produk yang mestinya menyegarkan, justru mencelakakan. Dan yang lebih menyedihkan, ini bukan kejadian pertama.

Ironisnya, alih-alih mengusut tuntas dan memperkuat kontrol keamanan pangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru menggulirkan wacana agar minuman seperti MBG diasuransikan. Loh, jadi solusi negara terhadap risiko keracunan massal adalah asuransi? Bukannya mencegah, kok malah seolah memberi lampu hijau untuk risiko tetap ada asal ada premi yang dibayar.

Inilah potret buram dari sistem kapitalisme yang sedang berjalan. Ketika keuntungan jadi prioritas utama, keselamatan dan kesehatan masyarakat hanya jadi nomor sekian. Produk bisa beredar luas di pasaran tanpa pengawasan ketat, selama memenuhi target pasar dan cuan.

Jujur saja, kita tidak sedang kekurangan aturan. Tapi sayangnya, pengawasan sering kali longgar. Para pelaku usaha kecil atau besar berlomba-lomba menciptakan produk menarik, namun sering mengabaikan aspek keamanan dan kandungan gizi, yang penting laku, yang penting viral.

Di sisi lain, kenapa sih masyarakat begitu mudah tergiur dengan jajanan seperti ini? Salah satunya karena kondisi ekonomi yang kian sulit. Banyak orang tua yang bekerja seharian, hingga tak sempat mengawasi bekal anak. Banyak keluarga yang memilih makanan cepat saji karena praktis dan murah. Lapangan kerja yang sempit juga memaksa banyak orang membuka usaha makanan tanpa edukasi gizi yang memadai. Semua ini saling terkait dan akar masalahnya ada pada sistem yang membiarkan pasar bebas mengatur segalanya.

Lalu, apa alternatifnya?

Kita butuh sistem yang benar-benar peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyat, bukan cuma soal untung rugi. Dalam pandangan Islam, negara punya tanggung jawab penuh memastikan pangan yang beredar aman dan bergizi. Negara bukan hanya regulator, tapi pelayan yang mengontrol distribusi makanan dan melindungi masyarakat dari bahaya.

Sistem Khilafah Islamiah misalnya, bukan sekadar mimpi masa lalu. Dalam sistem ini, negara akan memastikan setiap makanan dan minuman yang beredar memenuhi standar syariat dan kesehatan. Tak ada ruang bagi produk berbahaya untuk masuk pasar. Edukasi gizi dimasifkan. Lapangan kerja dibuka luas lewat pengelolaan sumber daya dan industri produktif, agar masyarakat tak perlu bergantung pada usaha kecil yang tak aman.

Kita butuh perubahan. Bukan tambal sulam, apalagi solusi yang makin menjadikan rakyat sebagai objek bisnis, seperti asuransi keracunan. Mari kembali merenung, mau sampai kapan anak-anak kita dijadikan korban pasar yang tak bermoral?

Mari kita berhenti menormalisasi tragedi demi tragedi yang terus berulang. Anak-anak kita berhak mendapatkan makanan dan minuman yang aman, bergizi, dan terjangkau. Mereka bukan sekadar target pasar, bukan konsumen yang bisa dijadikan kelinci percobaan oleh industri yang tak bertanggung jawab.

Kita sebagai orang tua, guru, tenaga kesehatan, dan bagian dari masyarakat harus lebih peduli. Edukasi tentang gizi dan keamanan pangan harus terus digencarkan. Gerakan membawa bekal sehat dari rumah bisa dihidupkan kembali, sebagai langkah kecil namun bermakna dalam menjaga generasi masa depan.

Tak kalah penting, kita juga harus berani bersuara, menuntut negara agar benar-benar berpihak pada rakyat. Jangan sampai urusan makanan anak-anak pun diserahkan pada logika pasar bebas. Negara harus hadir, melindungi dan mengatur. Jika sistem yang ada tak mampu memberikan rasa aman bahkan untuk makanan harian anak kita, maka sudah waktunya kita mempertimbangkan sistem alternatif yang lebih adil, manusiawi, dan berpihak pada keselamatan umat.

Bukan saatnya lagi hanya reaktif saat ada korban. Kita perlu solusi sistemik, perubahan paradigma, dan keberanian untuk berbenah dari akar. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi makan generasinya, bukan sekadar mengenyangkan, tapi menyehatkan dan menyelamatkan. [An]

*)Tenaga kesehatan di Surabaya, aktif mengedukasi masyarakat dan keluarga tentang kesehatan. Menulis opini sebagai bentuk kontribusi pemikiran terhadap perbaikan sistem kesehatan dan kehidupan masyarakat.

Baca juga:

0 Comments: