Kasino dan Lapas Premium dalam Perspektif Islam
Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah, seharusnya mampu menopang perekonomian negara dan menyejahterakan rakyat. Namun, ironisnya negara ini terus saja mengalami defisit anggaran. Munculnya usulan DPR untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pungutan dari kasino (Galih Kartasasmita, Fraksi Golkar) dan layanan Lapas premium (Fathi, Fraksi Demokrat) (cnbcindonesia.com/8/5/2025), menimbulkan keprihatinan mendalam, terutama dari perspektif Islam.
Usulan ini bukan sekadar perbedaan pendapat politik, melainkan dilema etis yang menuntut pertimbangan matang dan komprehensif. Terlebih, negara sebagai entitas yang seharusnya melindungi moralitas dan kesejahteraan rakyat, justru mengesampingkan prinsip halal-haram demi menutupi defisit anggaran yang membengkak. Situasi ini membuktikan dominasi paradigma kapitalisme yang mengutamakan keuntungan maksimal di atas nilai-nilai moral dan agama yang diyakini mayoritas masyarakat Indonesia.
Sebab, Islam secara tegas melarang perjudian (maisir), sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 219, yang menjelaskan bahwa khamar (minuman keras) dan maisir (perjudian) merupakan dosa besar. Selain itu, dampak negatif perjudian jauh lebih besar dari pada keuntungan finansial. Karena dapat merusak moral individu dan masyarakat, memicu kejahatan, bahkan hingga menghancurkan keluarga. Oleh karenanya, mengusulkan pungutan dari kasino jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan berpotensi merusak moralitas bangsa.
Selain itu, usulan akan layanan Lapas Premium, mencerminkan prioritas yang salah dalam sistem pemasyarakatan. Alih-alih fokus pada pembinaan dan koreksi perilaku, layanan ini justru memprioritaskan keuntungan finansial. Dengan menawarkan fasilitas mewah bak hotel bintang lima, lembaga pemasyarakatan seolah-olah menjadi bisnis yang mengejar profitabilitas, hingga mengesampingkan tujuan utama dari keberadaan lembaga tersebut. Hal ini menciptakan disparitas yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga berpotensi merusak integritas hukum secara keseluruhan.
Oleh karenanya, meningkatkan pendapatan negara bukanlah tujuan tunggal, karena harus tetap selaras dengan visi menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan beradab.
Dan akar masalah dari semua ini, disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di Indonesia. Sistem ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar, ketergantungan pada pajak yang tidak merata, praktik utang berbunga yang membebani negara, dan penguasaan sumber daya alam oleh segelintir pihak. Hal ini menghambat penerimaan negara dan menimbulkan kesulitan keuangan berkepanjangan.
Upaya mencari tambahan dana melalui cara-cara tidak etis, seperti usulan pungutan dari kasino dan layanan lapas premium, menunjukkan kegagalan sistem kapitalis dalam menyejahterakan rakyat dan memelihara moralitas. Sistem ini gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pengelolaan Ekonomi dalam Islam
Sebagai alternatif, sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah menawarkan solusi yang lebih adil dan berlandaskan nilai-nilai moral. Khalifah, sebagai pemimpin, bertanggung jawab atas seluruh urusan umat, termasuk pengelolaan ekonomi. Sistem ini menerapkan syariat Islam secara kafah, dengan pengelolaan keuangan negara dilakukan melalui Baitulmal atau kas negara yang menerima dan mengelola berbagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan umat.
Berbeda dengan sistem kapitalis yang bergantung pada pajak sebagai sumber utama pendapatan, sistem ini memiliki sumber pendapatan yang beragam dan berkelanjutan. Pajak dalam sistem Islam bersifat insidental dan temporer, diberlakukan hanya dalam kondisi darurat atau kebutuhan mendesak umat dan hanya dikenakan pada muslim yang mampu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan prinsip keadilan dan tidak memberatkan rakyat. Baitulmal memiliki berbagai sumber pendapatan yang telah ditetapkan syariat Islam, antara lain: Fai’ (harta rampasan perang tanpa pertempuran besar), ghanimah (harta rampasan perang setelah pertempuran), anfal (harta yang diperoleh tanpa usaha), kharaj (pajak tanah pertanian), jizyah (upeti dari non-muslim), dan hasil pengelolaan sumber daya alam milik negara (seperti tambang, hutan, dll).
Pendapatan insidental, seperti dharibah (pungutan darurat), hanya diberlakukan ketika Baitulmal mengalami defisit signifikan akibat keadaan darurat (misalnya, perang besar atau bencana alam) dan hanya dipungut sementara hingga kebutuhan terpenuhi. Dengan demikian, sistem keuangan negara dalam Khilafah memiliki sumber pendapatan yang beragam dan terstruktur, selain itu didasarkan pada prinsip keadilan dan keberlanjutan, dan kesejahteraan umat.
Oleh karenanya, Indonesia sebaiknya mempertimbangkan penerapan kembali nilai- nilai Islam, bukan hanya sebatas perbaikan ekonomi, melainkan kebutuhan akan transformasi menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menangani permasalahan defisit anggaran. Dengan prinsip keadilan, transparansi, dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab, niscaya, sistem Islam akan dapat menciptakan kesejahteraan, menjaga moralitas, dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. Wallahu'alam bissawab.[US]
Baca juga:

0 Comments: