Rakyat Disuruh Pintar, Tetapi Sulit Mendapatkan Akses Belajar?
Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi ketimpangan dalam kualitas dan akses pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2024, tercatat hanya 34,12% penduduk berusia di atas 15 tahun yang menyelesaikan pendidikan tingkat SMA. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi hanya mencapai 10,2% dari total populasi (Beritasatu.com, 02/05/2025).
Amalia Adininggar Widyasari, Kepala BPS, juga menyebutkan bahwa 24,72% masyarakat Indonesia hanya memiliki pendidikan terakhir hingga SD, dan 22,79% hanya sampai SMP. Di beberapa wilayah seperti Provinsi Papua Pegunungan, banyak penduduk yang bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali. Penyebab utama disparitas pendidikan ini meliputi tingginya tingkat ketidakhadiran guru, kondisi geografis yang sulit dijangkau, keterbatasan akses ke sekolah, hingga implementasi kurikulum nasional yang belum merata.
Kondisi ini memperlihatkan betapa perlunya perbaikan dari sisi kebijakan. Pendidikan seharusnya menjadi kebutuhan mendasar yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Namun, langkah pemerintah dalam menangani masalah ini tampaknya belum maksimal.
Sebagai contoh, pemangkasan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pada tahun 2025 menjadi salah satu kendala signifikan. Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama, Vivi Andriani, mengungkapkan bahwa anggaran yang semula direncanakan sebesar Rp15,3 triliun dipotong menjadi hanya Rp2,2 triliun. Anggaran ini sebenarnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), namun kini justru berkurang drastis (Kompas.com, 05/03/2025).
Masalah ini tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Akses pendidikan kerap kali bergantung pada kondisi ekonomi negara. Tingginya tingkat kemiskinan memperburuk situasi, di mana banyak masyarakat kesulitan memperoleh pendidikan bahkan pada tingkat dasar. Meski ada program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan sekolah gratis, cakupan manfaatnya belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, distribusi program tersebut masih belum merata dan terbatas pada wilayah tertentu.
Biaya pendidikan yang tinggi, ketidakmerataan akses, swastanisasi pendidikan, serta kurikulum yang berorientasi pada pasar, menghambat terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kebijakan efisiensi anggaran semakin memperparah kondisi ini.
Dalam pandangan Islam, pendidikan semestinya menjadi tanggung jawab penuh negara. Sistem Khilafah, misalnya, menekankan pentingnya pendidikan gratis yang merata bagi seluruh rakyat. Dana untuk pendidikan dapat diambil dari sumber yang sah seperti Baitulmal, termasuk fa’i, kharaj, dan hasil pengelolaan kepemilikan umum. Dengan pendidikan yang dikelola langsung oleh negara tanpa campur tangan asing, masyarakat diharapkan dapat menjadi insan yang berilmu, kompeten, dan bertakwa kepada Allah Swt.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: