Oleh. Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
SSCQMedia.Com—Program andalan Presiden Prabowo Subianto, Makan Gizi Gratis (MBG) bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui asupan gizi yang cukup bagi anak-anak, sekaligus memutus rantai kemiskinan dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun pada kenyataannya, program ini menjadi contoh nyata kegagalan kebijakan publik. Alih-alih mencapai tujuannya, program MBG justru menimbulkan lebih banyak masalah daripada manfaat yang diberikan.
Sepanjang tahun 2025, serangkaian kasus keracunan MBG terjadi di berbagai daerah. Mulai dari Cianjur yang telah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) hingga Sukoharjo dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
(nasional.kompas.com/24/04/2025).
Program MBG, yang hanya fokus pada penyediaan makanan tanpa mengatasi akar masalah kemiskinan, merupakan solusi tambal sulam, bukan solusi berkelanjutan. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, MBG malah melahirkan masalah baru, termasuk potensi korupsi dan ancaman serius terhadap kesehatan anak-anak. Insiden keracunan ini mengungkap kelemahan sistemik, jauh melampaui sekadar pengawasan kualitas bahan makanan dan pengelolaan program. Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun tergerus, memicu gelombang kritik luas.
Selain masalah kesehatan, MBG juga dibayangi oleh dugaan korupsi dan praktik-praktik merugikan negara. Laporan-laporan mengenai penyelewengan anggaran, pengurangan harga per porsi makanan, dan penundaan pembayaran kepada mitra program menunjukkan lemahnya tata kelola dan pengawasan. Anggaran fantastis yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat justru berpotensi disalahgunakan.
Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) makin memperkuat kecurigaan ini. ICW mengungkap potensi konflik kepentingan, di mana penyedia makanan diduga berafiliasi dengan Presiden. Ketidakjelasan skema pengadaan dan duplikasi anggaran yang mencapai Rp238,147 triliun semakin menguatkan keraguan atas transparansi dan akuntabilitas program. ICW juga mencatat beberapa masalah utama MBG: dugaan kecurangan pengelolaan anggaran, penyaluran anggaran yang melanggar aturan, ketimpangan layanan dan kualitas makanan, dan proses pembentukan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang tidak transparan.
Dengan anggaran mencapai Rp71 triliun dalam RAPBN 2025, MBG lebih tampak sebagai program pencitraan daripada program kesejahteraan rakyat. Beban pajak masyarakat yang terus meningkat tidak diimbangi dengan jaminan kualitas dan manfaat yang sebanding. Kegagalan ini menunjukkan pendekatan kapitalistik yang salah dalam kebijakan publik. Keuntungan pihak swasta yang ditunjuk sebagai penyedia makanan diprioritaskan, mengorbankan kualitas demi memaksimalkan profit.
Sementara peran negara sebagai penjamin kualitas dan efektivitas program sangat minim. Pengabaian negara terhadap kesejahteraan rakyat sangat nyata dalam setiap solusi-solusi yang ditawarkan, dimana hanya mengatasi gejala, bukan akar masalah. Oleh karenanya kegagalan program MBG bukan hanya masalah teknis, melainkan kegagalan sistemik yang mencerminkan lemahnya tata kelola negara, pengawasan yang longgar, dan prioritas yang keliru dalam kebijakan publik. Tanpa perbaikan struktural dan pendekatan holistik, kegagalan akan terus berulang.
Solusi Islam dalam Mengatasi Kemiskinan dan Gizi
Dalam pandangan Islam, jaminan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban negara dan konsekuensi dari keimanan kepada Allah Swt. Kebijakan publik harus didasarkan pada prinsip-prinsip maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (kemudharatan), dengan prioritas utama pada kesejahteraan rakyat. Program-program yang berpotensi merugikan rakyat harus ditinggalkan.
Konsep raa’in (pengurus rakyat) dalam hadis Rasulullah saw., "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR al-Bukhari), menunjukkan tanggung jawab pemimpin dalam memastikan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Ini bukan hanya sebatas penyediaan makanan bergizi, melainkan mencakup seluruh kebutuhan pokok seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan keamanan, bagi seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin.
Sistem ekonomi Islam menawarkan kerangka kerja yang berbeda dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Kekayaan alam, yang merupakan karunia Allah Swt., dianggap sebagai milik umum, dan harus dikelola untuk kepentingan seluruh rakyat. Prinsip keadilan dan menghindari eksploitasi menjadi dasar dalam pengelolaannya. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang cenderung memprioritaskan keuntungan individu atau korporasi.
Sistem Islam juga menekan pada kedaulatan pangan. Di mana ketahanan pangan tidak hanya menjadi teori, tetapi diwujudkan melalui penyediaan lapangan kerja yang memadai di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan pertambangan. Dengan sumber daya alam yang melimpah, negara dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat tanpa harus bergantung pada impor.
Dengan demikian, sistem pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai Islam, seperti Khilafah dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Sebab, sistem ini menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, dengan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, serta sistem ekonomi yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat. Hingga masalah kemiskinan dan gizi bisa terselesaikan.
Wallahu'alam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: