Headlines
Loading...
Maraknya Budaya Kecurangan UTBK

Maraknya Budaya Kecurangan UTBK

Oleh. Mia Izzah
(Kontributor SSCQMedia.Com)


SSCQMedia.Com—Rangkaian Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT) 2025 telah berakhir. Seperti diketahui, UTBK SNBT telah berlangsung pada 23 April hingga 5 Mei 2025. Namun miris, pelaksanaannya disinyalir banyak ditemui modus kecurangan.

Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025 mengumumkan, telah terjadi berbagai macam upaya kecurangan pada pelaksanaan UTBK SNBT yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari peserta, oknum orang dalam _(orda)_ hingga berbagai bimbingan belajar (bimbel). Bahkan ketua umum tim penanggung jawab SNPMB 2025, Eduard Wolok mengatakan, pihaknya telah menemukan kecurangan di 13 pusat UTBK SNBT 2025. Modus kecurangannya, seperti mengambil soal UTBK dengan memotret layar komputer peserta, merekam layar komputer dengan aplikasi, menggunakan joki dengan cara mengganti foto peserta dengan foto joki saat buat akun SNPMB dan memalsukan dokumen seperti KTP, kopi ijazah, dan surat keterangan kelas 12 (kompas.com, 5/5/2025).

Tak ayal lagi, adanya berbagai kecurangan UTBK tersebut telah memantik reaksi dari pakar sekaligus kepala pusat riset pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trisna Fizzanty. Trisna menilai berbagai kasus kecurangan yang terjadi pada proses UTBK 2025 merupakan hal yang memprihatinkan dan mencerminkan bahwa masalah moral, karakter, dan integritas menjadi tantangan serius dalam dunia pendidikan Indonesia dan menandakan pembangunan karakter dan nilai pada anak didik masih belum berhasil. Maka penataan ulang orientasi pendidikan penting dilakukan (kompas.com, 5/5/2025).

Sungguh, fakta kecurangan UTBK menunjukkan betapa mahasiswa baru (maba) lihai memakai jurus "pokok e" untuk bisa lolos seleksi ke perguruan tinggi favorit, tanpa peduli batasan halal dan haram. Bisa jadi hal itu karena minimnya pemahaman agama (Islam) mereka atau karena sistem saat ini yang memaksa mereka untuk terseret pada rusaknya pusaran proses. Akhirnya nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab diamputasi demi menampakkan jati diri untuk tetap eksis dari tekanan status sosial di alam kapitalis sekuler seperti saat ini.

Sejatinya, potret fakta rusaknya generasi saat ini adalah keniscayaan penerapan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada pencapaian nilai tinggi untuk mengejar prestasi, dituntut mempunyai skill untuk bisa bersaing di dunia kerja tanpa dikuatkan penanaman akidah dan akhlak. Alhasil output generasi yang dihasilkan hanya bagus secara akademis namun minim/nol nilai kepribadian (agamanya).

Jika dipahami akar persoalan kecurangan di atas adalah sistemik, maka solusi yang ditawarkan tidak cukup hanya perbaikan individu peserta didik, namun perihal yang tak kalah urgen adalah perbaikan sistem pendidikan dengan kurikulum yang mengarah pada visi pembentukan kepribadian (syaksiyah Islam) di samping mengasah kecerdasan dengan keilmuan nilai kognitif. Dan sosok generasi seperti itu, hanya bisa terbentuk dengan sistem pendidikan Islam.

Sistem Pendidikan Islam

Islam memandang pendidikan sebagai sarana untuk membentuk individu yang bersyaksiyah Islam yang bermakna secara pola pikir dan pola sikap mereka menjadikan akidah Islam sebagai standar/tolak ukur ketika berpikir dan berperilaku. Maka nilai akidah dan akhlak, seperti kejujuran, amanah, tanggung jawab, dan integritas secara alami dan otomatis akan tertanam sejak dini. Di samping pembekalan/transfer tsaqofah dan keilmuan pada umumnya.

Maka keberhasilan pendidikan dalam Islam bukanlah yang hanya mampu melahirkan generasi berprestasi secara akademik, tetapi juga yang mampu melahirkan generasi beriman, jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Dan untuk menopang keberhasilan sistem pendidikan tersebut, negara hadir untuk memfasilitasi sebagai bagian dari riayah (pengurusan) dan tanggung jawabnya, dengan mekanisme sebagai berikut:

Pertama, negara akan menjamin adanya pendidikan gratis dan berkualitas tanpa diskriminatif guna menghilangkan ketimpangan yang menjadi akses kecurangan.

Kedua, negara memberi fasilitas yang memadai dalam proses pembelajaran, sehingga bisa mendorong peserta didik untuk mengakses keilmuan tanpa ada halangan/batas karena ketidakmampuan biaya.

Ketiga, negara akan menindak tegas tanpa pandang bulu pelaku kecurangan baik individu, kelompok atau instansi dengan sanksi yang membekas/memberi efek jera (zawajir) dan penebus dosa (jawabir).

Dengan mekanisme ini, maka akan lahir generasi tangguh dengan dasar akidah yang kuat dan berani menapaki jalan keberhasilan dengan proses yang bertanggungjawab dan fair (jujur).

Rasulullah saw. bersabda: "Barang siapa menipu, maka ia bukan golonganku.” (HR. Muslim)

Wallahualam bissawab. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: