Oleh. Mufidah Huda
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Koperasi digadang-gadang mampu untuk mendongkrak ekonomi rakyat Indonesia. Saat ini, program ambisius Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai pilar utama pemberdayaan ekonomi desa menuju visi Indonesia Emas 2045 diluncurkan pemerintah. Inpres (Instruksi Presiden) nomor 9 tahun 2025 yang ditandatangi 27 Maret lalu, menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan.
Pada rapat terbatas di Istana Negara (3 Maret 2025) ditetapkan Kopdes Merah Putih ini akan diluncurkan bertepatan pada Hari koperasi Nasional pada 12 Juli 2025 (merahputih.kop.id). Namun, program ini akan resmi direalisasikan pada 28 Oktober 2025 bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda (tempo.co, 12/05/2025).
Ide ini sebagai solusi mewujudkan kemandirian pangan dan pemerataan ekonomi berawal dari desa. Dengan anggaran yang cukup fantastis, yaitu Rp400 triliun dari APBN, APBD, APBDes, kredit bank dan sumber lainnya seperti CSR, dengan alokasi Rp3-5 miliar per koperasi (katadata, 16/04/2025).
Bercermin pada Kasus Penyimpangan
Belajar dari berbagai kasus penyimpangan yang menimpa koperasi, salah satunya terjadi di kota Magetan. Polres Magetan sedang menangani kasus dugaan penipuan Koperasi Mitra Sejahtera Indonesia (MSI) di Desa Driyorejo, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang merugikan nasabah hingga miliaran rupiah. AKBP Raden Erik Bangun Prakarsa selaku Kapolres Magetan, Selasa (29/04/2025) menjelaskan bahwa Koperasi MSI merupakan koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah.
Sejumlah 2.241 anggota MSI tersebar di seluruh Magetan. Adapun jumlah total pengaduan yang masuk ke posko polres setempat mencapai sebanyak 1.645 pengaduan. Sementara, berdasarkan laporan dari para nasabah, kerugian atas kasus dugaan penipuan Koperasi MSI tersebut mencapai Rp77 miliar (jatim.antaranews.com, 29/04/2025).
Tak hanya kasus MSI, secara nasional ditemukan beberapa jejak buram, seperti beberapa program bantuan koperasi yang mengalami kegagalan dikarenakan adanya praktik korupsi. Kasus-kasus korupsi tersebut di antaranya: Skandal KSP Indosurya sebesar Rp106 triliun raib dengan memakan korban sebanyak 23.000 orang, Bantuan Presiden (Banpres) UMKM yang mana banyak koperasi fiktif yang menerima dana, ditemukannya dana bergulir LPDB-KUMKM serta banyak kasus macet dan salah sasaran.
Terlebih lagi di tengah seretnya penerimaan APBN pada 2025, alokasi Rp400 triliun bukanlah nilai yang kecil. Tentunya akan semakin membebani APBN dan APBD, terlebih jika bergantung pada kredit bank. APBDes juga sebenarnya tidak bisa banyak diandalkan. Faktanya, banyak desa yang memiliki keterbatasan dana.
Berbagai kalangan memprediksi bahwa Kopdes Merah Putih sangat berpotensi menjadi lahan basah para koruptor. Terlebih lagi dengan target besar dan terkesan ide dadakan. Jika mau menelaah lebih lanjut akan didapati banyak desa minim SDM yang mampu dalam manajerial dan mengelola keuangan. Dikhawatirkan hal ini akan meningkatkan risiko buruknya tata kelola, seperti yang terjadi pada Dana Desa. Pada tahun 2022, misalnya menurut ICW, desa menjadi sektor dengan korupsi terbanyak. Program ini berpotensi pula bernasib sama dengan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang kacau dalam implementasinya. Sekaligus akan menjadi pesaing Bumdes yang sudah ada.
Koperasi dari Kacamata Islam
Menurut Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul-Iqtishady fil Islam, koperasi batil karena tidak memenuhi syarat syirkah secara syar’i. Dalam Islam, syirkah harus berbasis akad syar’i, seperti syirkah ‘inan, abdan, wujuh dan mudharabah serta mufawadhah. Adapun koperasi adalah konsep kapitalisme yang tidak selaras dengan Islam.
Dalam koperasi, tidak ada badan yang jelas, hanya kumpulan modal anggota. Seluruh anggota menyetorkan modal, kemudian mencari dan menunjuk pengelola atau pengurus. Pengelola ini statusnya hanya sebagai pekerja yang digaji, bukan sebagai badan yang berakad di awal pembentukan koperasi. Padahal secara syar’i, syirkah disyaratkan memiliki badan (pihak pemodal dan pengelola harta) sebagai subjek hukum. Demikian pula akad kemitraan harus terjadi antara pihak-pihak yang akan berperan aktif dalam bisnis tersebut. Ada yang berkontribusi modal dan ada yang berkontribusi kerja, atau gabungan keduanya. Semua pihak yang berakad ini merupakan bagian integral dari kemitraan itu sendiri.
Demikian pula dalam masalah pembagian keuntungan. Dalam koperasi pembagian keuntungan dihitung berdasarkan jumlah transaksi atau pembelanjaan pada koperasi konsumsi. Sedangkan pada koperasi produksi dihitung berdasarkan jumlah produksi, ini tidak sesuai dengan pandangan Islam. Syirkah Islam mengharuskan pembagian keuntungan berdasarkan proporsi modal atau kerja yang disertakan, atau kombinasi antara keduanya.
Walhasil, meskipun koperasi seolah merakyat dengan janji indah pembawa perubahan ekonomi desa, namun pelaksanaannya tidak akan mudah. Dan yang terpenting, praktik koperasi tidak sesuai dengan syariat. Kondisi ini juga menjadi problem tersendiri bagi penduduk desa di Indonesia yang mayoritas muslim. Jelas, dalam sistem Islam koperasi tidak akan pernah menjadi solusi bagi negara untuk menyejahterakan rakyatnya. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: