Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Sejak kemerdekaan India dan Pakistan dari Inggris pada tahun 1947 wilayah Kashmir menjadi sumber sengketa yang telah memicu tiga kali perang terbuka antara kedua negara. Status geopolitik wilayah ini menjadi semakin rumit karena melibatkan dimensi etnis, agama, dan klaim kedaulatan yang saling bertentangan.
Serangan terbaru yang menewaskan puluhan warga sipil di wilayah Kashmir yang dikuasai India kembali mengguncang dunia, menyoroti ketegangan yang terus membara dan belum menemukan titik akhir. Situasi menjadi semakin tegang ketika India menuduh kelompok militan yang berbasis di Pakistan sebagai pelaku serangan diwilayahnya, sehingga menimbulkan serangan balasan yang disusul dengan aksi balasan militer dan ancaman terhadap perjanjian air lintas negara (kompas.com, 07-05-2025).
Pada masa perang dingin, konflik ini menjelma menjadi medan proyeksi kekuatan blok-blok besar dunia. Uni Soviet menjadikan India sebagai mitra strategisnya di kawasan Asia Selatan, sementara Amerika Serikat bersama Republik Rakyat China membangun aliansi militer dan intelijen dengan Pakistan. Rivalitas dua negara adidaya tersebut menjadikan kawasan ini sebagai panggung persaingan ideologis dan kekuatan militer global.
Pengkhianatan
Di antara negeri-negeri kaum muslim, Pakistan memiliki satu keistimewaan yang tidak bisa dipandang remeh yaitu kekuatan militernya. Militer Pakistan dikenal sebagai salah satu yang paling kuat di dunia Islam, baik dari sisi jumlah pasukan, pengalaman tempur, hingga kepemilikan persenjataan strategis, termasuk senjata nuklir.
Dengan rekam jejak militernya yang panjang dalam kancah internasional militer Pakistan sejatinya memiliki kapasitas besar untuk memainkan peran penting dalam membela umat Islam. Sementara itu, jauh di tanah suci para Nabi, Palestina terus bermandikan darah. Masjid al-Aqsha dinistakan, perempuan dan anak-anak dibantai, tanah-tanah muslim dirampas.
Namun Pakistan yang merupakan negeri muslim dengan kekuatan militer yang mumpuni justru diam, pasif dan gamang ketika yang harus dibela adalah Islam dan kehormatan umat, tetapi begitu mudah mengangkat senjata atas nama nasionalisme. Bukankah ini bentuk nyata dari ketundukan pada sistem sekuler yang menjadikan kepentingan negara bangsa lebih tinggi daripada ukhuwah Islamiah?
Belenggu Sekulerisme dan Demokrasi
Di bawah sistem demokrasi sekular kekuatan militer tidaklah diarahkan untuk membela akidah umat. kekuatan militer dikendalikan oleh elit politik yang tunduk pada konstitusi buatan manusia bukan syariat Allah Swt. Tidak mengherankan bila militer Pakistan lebih sigap dalam merespon tekanan dari India dibandingkan tangisan pilu anak-anak Gaza yang tak berdaya. Demokrasi telah menjadikan tentara sebagai alat pelindung Nasionalisme dan kepentingan geopolitik semu bukan pembela kemuliaan umat.
Di tengah penderitaan umat Islam yang tiada henti, Demokrasi sekular menunjukkan wajahnya yang paling keji dengan melumpuhkan potensi umat dengan fragmentasi negara-bangsa. Melahirkan barisan tentara yang tampak gagah di medan latihan namun mandul dalam berjihad, kuat secara fisik namun rapuh dalam keberpihakan terhadap Islam.
Inilah buah pahit dari sistem Demokrasi sekular yang diemban oleh Pakistan dan negeri-negeri muslim lainnya. Demokrasi telah menjadikan para jenderal dan politisi tunduk pada konstitusi yang memisahkan agama dari politik. Kapitalisme global telah menundukkan keputusan militer di bawah tekanan diplomasi bukan wahyu Ilahi. Maka tidak heran jika para pemimpin negeri muslim lebih memilih diam terhadap penjajahan atas al-Aqsha daripada dicap “radikal” oleh Barat.
Saatnya Mengangkat Panji Islam
Umat ini butuh transformasi mendasar dari loyalitas pada bangsa menuju loyalitas kepada Islam, dari ketaatan pada konstitusi Demokrasi menuju ketundukan total pada syariat Allah. Militer Pakistan dan seluruh tentara di negeri-negeri muslim harus sadar bahwa mereka bukan sekadar pelindung batas-batas negara, tetapi garda terdepan penjaga kehormatan umat. Mereka adalah para jundullah yang dipanggil untuk membela kaum tertindas dan menegakkan izzah Islam.
Allah Swt. berfirman yang artinya,
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian, menghinakan mereka, menolong kalian terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang mukmin.” (TQS. At-Taubah: 14).
Firman Allah yang lain, yang artinya, “Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu...” (TQS. Al-Baqarah: 191).
Ayat-ayat ini bukan puisi yang dibacakan saat krisis iman, melainkan perintah langsung dari Sang Pemilik langit dan bumi. Ini adalah panggilan kepada seluruh militer umat Islam untuk untuk menegakkan kemuliaan Islam dengan kekuatan. Maka saat dunia menanti pembela sejati, umat Islam butuh institusi yang menyatukan seluruh kekuatan yaitu Khilafah. Sebuah entitas politik global yang akan mengonsolidasikan kekuatan umat, menggerakkan pasukan untuk membela yang haq dan menumpas yang batil. Dalam naungan Daulah Islam, militer Pakistan tidak akan lagi berperang karena batas tapi demi akidah. Tidak lagi dikendalikan para politikus sekuler tapi dipimpin oleh Khalifah yang bertakwa.
Di Bawah Naungan Khilafah
Umat Islam membutuhkan lebih dari sekadar simpati. Umat ini membutuhkan Kepemimpinan Islam yang sejati yaitu Khilafah, yang akan mengintegrasikan kekuatan negeri-negeri muslim dalam satu panji, satu pasukan, satu arah. Dalam sistem Khilafah, militer tidak bergerak atas dasar perintah politisi sekular, tetapi atas dasar titah Khalifah yang memimpin atas dasar wahyu Ilahi. Dan tidak akan tunduk pada PBB atau NATO tetapi hanya tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Militer Pakistan, sebagaimana militer di Mesir, Turki, dan negeri-negeri muslim lainnya memiliki kewajiban besar dalam menghentikan loyalitas mereka kepada penguasa sekular dan mengalihkannya kepada Islam. Mereka wajib mengangkat senjata bukan untuk membela batas negara saja, tetapi untuk membebaskan saudara-saudara muslim mereka di Palestina, Suriah, dan di seluruh penjuru bumi yang sedang dijajah.
Kemenangan tidak akan datang dari meja diplomasi tetapi dari medan jihad yang terarah di bawah kepemimpinan yang lurus. Umat ini hanya akan kembali mulia jika kekuatan militer umat kembali dikonsolidasikan dalam naungan Khilafah Islamiah. [ry].
Baca juga:

0 Comments: