Headlines
Loading...
Jumlah Perceraian Tinggi dalam Sistem Sekularisme

Jumlah Perceraian Tinggi dalam Sistem Sekularisme

Oleh. Rina Herlina
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Saat saya asyik scrolling gawai mencari berita, eh, saya menemukan berita tentang tingginya angka perceraian di Indonesia. Hmm, hal ini tentu saja menjadi indikasi tentang lemahnya ketahanan rumah tangga pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Tentu saja hal tersebut butuh perhatian yang sangat serius dari negara.

Ini karena perceraian seringkali banyak melahirkan orang miskin baru. Oleh karena itu, negara harus hadir dan khawatir terhadap persoalan tersebut. Jadi, jangan hanya sekadar mengesahkan, tapi negara juga harus bisa menjaga keberlangsungan pernikahan setiap pasangan.

Nah, lucunya, Nasaruddin Umar yang merupakan Menteri Agama (Menag), justru mengusulkan untuk merevisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Jadi, Menag mengusulkan agar ada penambahan bab khusus guna mengatur tentang pelestarian perkawinan secara eksplisit. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Nasional Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) tahun 2025 di Jakarta. (detik.com 23-4-2025).

Mengapa saya merasa lucu dengan usulan Menag? Ya, karena menurut saya masalahnya bukan terletak hanya pada Undang-Undang yang mereka rumuskan, tapi terletak pada dipisahkannya agama dari kehidupan. Sehingga akibatnya sangat fatal bagi kehidupan manusia. Efeknya bukan hanya kepada masalah pernikahan, tapi berefek pada seluruh aspek kehidupan.

Saat agama dalam hal ini Islam, tidak lagi dibiarkan mengatur kehidupan maka kacaulah seluruh lini kehidupan. Faktanya bisa kita lihat hari ini. Kriminalitas meningkat, LGBT makin banyak, kasus-kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, judi online, korupsi, dan masih banyak lagi.

Sebagian dari kasus-kasus tersebut memang terungkap, tapi saya yakin banyak yang tidak terungkapnya. Seluruh persoalan tersebut yang tampak hanya yang di permukaan, persis seperti gunung es. Apalagi hukuman bagi para pelaku kejahatan juga cenderung ringan, makanya kadang saya berpikir, kok kejahatan ini makin marak bukannya berkurang. Miris memang jika agama sudah di jauhkan dari kehidupan. Persoalan makin banyak tapi solusi hanya tambal sulam. Ini karena solusi yang dihadirkan hanya menyentuh ranting-rantingnya saja dan tidak sampai menyentuh kepada akar permasalahan.

Ya, makanya wajar jika angka perceraian pun tinggi. Karena masalah yang dihadapi banyak pasutri hari ini sangat beragam dan kompleks. Misalnya saja, para suami yang sulit mencari pekerjaan karena minimnya lapangan pekerjaan. Padahal, suami adalah tulang punggung keluarga. Dia berkewajiban mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Nah, sementara lapangan pekerjaannya tidak ada. Lalu dengan apa sang suami tadi harus menafkahi keluarganya?

Belum lagi dipusingkan dengan biaya pendidikan buah hati yang mahal. Masalah keuangan ini jika tidak terpenuhi akhirnya memicu pertengkaran dengan pasangan. Apalagi kondisi para istri hari ini, mayoritas minim ilmu agama, efek dari sekularisme. Jadilah para istri tidak memiliki rasa sabar dan cenderung banyak menuntut. Kalau sudah seperti ini, timbullah pertengkaran yang dipicu dari sulitnya ekonomi. Suami merasa sudah maksimal mencari pekerjaan, meski tak kunjung dapat. Sementara si istri tidak bisa sabar dan tidak bisa menerima alasan sang suami. Akhirnya setiap saat rumah tangga tersebut hanya diisi dengan pertengkaran. Otomatis ujung-ujungnya berakhir di meja hijau.

Di sinilah pentingnya peran negara. Menyediakan lapangan pekerjaan adalah kewajiban negara. Kesejahteraan rakyat seharusnya menjadi prioritas negara. Masalahnya, kita tidak bisa berharap pada negara yang notabene menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Bagaimana mungkin kita berharap kepada negara yang menganut sistem kedaulatan di tangan rakyat?

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sebab di dalam negara Islam, kedaulatan adalah milik syarak. Artinya, yang berhak membuat hukum adalah Sang Pemilik Kehidupan yaitu Allah Swt. bukan manusia seperti yang ada dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini.

Sebagaimana firman Allah Swt, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.“ (QS. Al-An'am: 57). Wallahuallam. [MA]

Baca juga:

0 Comments: